NovelToon NovelToon
MERRIED WITH YOUNG BOY

MERRIED WITH YOUNG BOY

Status: sedang berlangsung
Genre:Dijodohkan Orang Tua / Nikahmuda / CEO / Berondong
Popularitas:3.9k
Nilai: 5
Nama Author: LaruArun

"Kenapa harus aku yang menikah dengannya?”


Ava Estella tak pernah membayangkan hidupnya akan berubah sedrastis ini. Setelah kehilangan kekasihnya—putra sulung keluarga Alder—ia hanya ingin berduka dengan tenang. Namun keluarga Alder terlanjur menaruh rasa sayang padanya; bagi mereka, Ava adalah calon menantu ideal yang tak boleh dilepaskan begitu saja.

Demi menjaga nama baik keluarga dan masa depan Ava, mereka mengambil keputusan sepihak: menjodohkannya dengan Arash, putra kedua yang terkenal keras kepala, sulit diatur, dan jauh dari kata lembut.

Arash, yang tak pernah suka diatur, menanggapi keputusan itu dengan dingin.
“Kalau begitu, akan kubuat dia meminta cerai sebelum satu bulan.”

Dua pribadi yang sama sekali berbeda kini dipaksa berada dalam satu ikatan.

Apakah pernikahan ini akan membawa mereka pada jalan yang diharapkan keluarga Alder?
Atau justru membuka luka, rahasia, dan perasaan yang tak pernah mereka duga sebelumnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 25 EGO YANG TINGGI

Ava mematung di tengah dapur. Suara pintu kamar yang dibanting Arash masih bergetar di udara, seperti gema yang menghantam dadanya berulang kali. Hela napasnya tersendat ketika ia akhirnya menunduk, lalu mulai memunguti sayuran yang tadi berjatuhan ke lantai karena kekacauan kecil yang ia buat.

Satu per satu ia pungut—perlahan, hati–hati—seolah sayuran itu adalah pecahan dirinya sendiri. Setiap kali ia jongkok untuk mengambil satu helai, matanya tiba-tiba memanas. Pandangannya buram oleh air mata yang tak ia izinkan keluar.

“Jangan menangis… jangan…” bisiknya pada diri sendiri, mendongakkan kepala ke langit-langit dapur. Ia berharap gravitasi mengembalikan air matanya. Tapi mustahil. Setetes pertama sudah turun melewati pelipisnya, hangat dan menyakitkan.

Segalanya terasa sunyi, bahkan terlalu sunyi. Ava menahan suara sekuat tenaga, menutup rapat bibirnya agar isaknya tak keluar. Ia takut—takut jika Arash mendengar ia menangis, pria itu akan kembali marah. Dan ia tidak sanggup menghadapi bentakan malam ini lagi.

Ia menghapus pipinya dengan punggung tangan, tapi air itu muncul lagi. “Kenapa aku menangis? Dia sering membentakku,” gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada dapur yang kosong. “Lalu kenapa sekarang sakit sekali?”

Ia meraih helai terakhir dari lantai, menaruhnya di mangkuk, lalu membereskan kompor yang masih menyala. Api kecil itu padam dalam sekali putar, namun sesaknya tidak ikut padam.

Apa karena aku membuatnya terluka? batinnya. Apa karena itu bentakannya terasa… lebih menyakitkan dari biasanya?

Ia menarik napas panjang, menghembuskannya perlahan untuk menenangkan dada yang terasa sesak. Tangannya kembali meraih pisau, menggenggamnya erat meski jemarinya sedikit bergetar. Ia melanjutkan memotong sayuran, memaksakan tubuhnya bergerak normal. Setidaknya memasak bisa membuat pikirannya tetap sibuk.

Tapi suara pisau yang beradu dengan talenan justru terasa seperti gema yang kosong.

Di kamar, Arash berdiri di depan wastafel dengan wajah menegang. Ia menekan pelipisnya menggunakan tisu, dan beberapa tisu yang sudah penuh darah tergeletak sembarangan di samping wastafel. Pemandangannya sendiri membuat mood-nya semakin buruk.

“Persetan…” desisnya kesal. Luka itu kecil, namun entah kenapa emosinya sedang tidak waras malam ini. Dan lebih membuatnya terganggu, bayangan wajah Ava tadi—yang ketakutan karena kecoa—melintas jelas di benaknya, lalu ekspresinya saat ia membentaknya.

Ia membentak terlalu keras. Ia tahu itu. Dan sekarang, penyesalan membuat dadanya panas, tapi egonya terlalu besar untuk sekadar mengetuk pintu dan mengatakan ‘maaf’.

Ia meraih kotak P3K, membuka antiseptik, lalu mengoleskannya ke luka. “Ah… sial.” Cairan itu menyengat, membuatnya makin kesal. “Kenapa darahnya tidak mau berhenti?!” Ia membanting kotak P3K itu ke meja kecil, hampir menjatuhkannya ke lantai.

Dengan napas memburu dan perban yang dipasang asal-asalan, Arash meninggalkan kamar mandi. Emosinya masih naik-turun, tapi perlahan mulai mereda. Dan saat itu, terdengar ketukan kecil di pintu kamarnya.

“Arash…” suara Ava. Lembut. Ragu. Gemetar.

Arash memejamkan mata sebentar. Tidak sekarang. Ia tidak ingin menghadapi wanita itu dalam keadaannya seperti ini. Ketukan kedua terdengar. Lalu ketukan ketiga. Dan keempat.

“Apa lagi!” balasnya akhirnya, suaranya terdengar tajam melalui pintu.

“Aku membawa makanan untukmu…” suara Ava begitu kecil, seolah takut menyerbu udara.

Arash mendengus malas. Ia bangkit dari tempat tidur, melangkah ke arah pintu. Tangannya sempat terhenti di pegangan. Bagian dirinya ingin mengusap wajah dan bersiap menerima Ava dengan lebih tenang, tapi egonya mengalahkan semuanya.

Ia membuka pintu. Ava berdiri di sana, membungkuk sedikit, kedua tangannya memegang nampan berisi makanan dan secangkir kopi. Rambutnya sedikit berantakan, matanya sembap—dan ia berusaha keras menunduk agar Arash tidak melihatnya. Jemarinya gemetar sedikit.

“Aku tidak lapar,” kata Arash kaku.

“Tapi… kau belum makan apa pun.” Suara Ava bahkan lebih lembut dari sebelumnya. “Setidaknya makan sedikit. Kau terluka karenaku. Anggap saja ini… permintaan maaf dariku.”

Ava mengulurkan nampan, namun Arash mundur sedikit. Menolak tanpa ragu.

“Aku mohon…” Ava berbisik.

“Aku bilang tidak!” bentak Arash—dan dalam gerakan refleks yang terlalu cepat, lengannya menyentuh nampan itu.

Nampan terlepas dari tangan Ava. Segalanya jatuh serentak: suara cangkir pecah, piring berantakan, kopi menyiprat ke lantai, mengotori kaki Ava. Aroma makanan langsung hilang, tergantikan bau logam dan serpihan beling.

Ava menatap lantai—membeku—seolah tubuhnya tidak tahu harus menarik napas atau berhenti bernapas.

“Lihat?” Arash menunjuk kekacauan itu. “Berhenti membuat masalah. Sekarang bersihkan itu! Dan jangan ganggu aku lagi.”

Pintu ditutup keras. Untuk kedua kalinya malam itu, Ava tersentak. Dunia terasa hening. Hanya ada dia… lantai yang berantakan… dan hatinya yang ikut pecah seperti cangkir di kakinya.

Ava tetap berdiri di depan pintu beberapa detik setelah hantaman terakhir itu menggema. Suaranya seperti guruh yang terlambat menggetarkan dadanya—perlahan, menyakitkan, mengguncang sesuatu yang tidak ia mengerti.

Ia menunduk pelan. Pecahan kaca menyebar di lantai seperti bintang-bintang kecil yang mati, kopi mengalir dalam warna coklat hangat yang kini tampak muram, makanan yang ia siapkan dengan tangan gemetar perlahan mendingin di lantai dingin.

Ava menghembuskan napas pelan, napas yang terdengar seperti seseorang yang mencoba tidak hancur. Ia berjongkok dengan hati-hati, tangan mungilnya memunguti pecahan mangkuk satu per satu. Ia memastikan tidak ada suara berlebih—tidak ada gesekan, tidak ada benturan, tidak ada sesuatu yang membuat Arash kembali keluar.

“Sudah… jangan menangis,” bisiknya pada diri sendiri, padahal matanya sudah menggenang lagi.

Dalam ruang di balik pintu, Arash terdiam. Ia berdiri mematung, tangan menekan perban di pelipis. Kata-kata yang baru saja ia lontarkan masih menggema di kepala, terdengar lebih kasar ketika ia mengulangnya dalam versi hati nuraninya.

Sial. Kenapa aku begitu…?

Arash memijat pangkal hidungnya, mencoba menenangkan dadanya yang sesak tapi tetap keras membatu. Ia menoleh ke arah cermin di kamarnya—tatapan matanya penuh kemarahan yang bahkan tidak tahu kemana harus diarahkan.

Lalu suara itu terdengar. Bukan tangisan keras, bukan sesenggukan. Hanya suara napas tertahan… sangat pelan, seperti seseorang yang mencoba memadamkan suara sakit. Dan justru itu yang menusuk.

Arash menegakkan tubuhnya. Ia tidak bermaksud mendengarkan… namun dinding tipis itu membuat semua garis rapuh yang Ava sembunyikan terdengar.

“Kambing hitam lagi,” gumamnya sinis pada dirinya sendiri. “Dia cuma takut kecoa, bodoh. Kau yang membuat kepalamu berdarah sendiri.”

Tapi penyesalan adalah makhluk sombong—ia selalu datang terlambat, saat semua sudah berantakan.

Di luar kamar, Ava perlahan bangkit setelah membersihkan pecahan beling. Lantai kini basah oleh sisa kopi dan kuah makanan. Ia mengambil lap, memerasnya, lalu kembali jongkok untuk mengusap lantai.

Air matanya menetes tanpa suara, jatuh ke tumpukan pecahan kecil yang ia sisihkan. Ia berhenti sejenak, menatap refleksinya yang terdistorsi di permukaan kaca yang tergores.

“Aku selalu berusaha tapi kenapa selalu… begini?” bisiknya lirih.

Ia tidak marah pada Arash. Anehnya—ia marah pada dirinya sendiri: karena lalai, karena ceroboh, karena membuat kesalahan saat ia sudah tahu kepribadian lelaki itu.

Ava menyeka pipinya cepat-cepat. “Sudahlah, Ava…”

Tangan kecilnya kembali bergerak, mengeringkan lantai dengan tekun. Ia seperti ingin menghapus jejak kejadian itu secepat mungkin—seakan jika lantai bersih, hatinya pun akan mengikuti.

Saat ia berdiri hendak membuang pecahan kaca ke tempat sampah, kakinya sedikit terpeleset. Ia tersentak, tangan mencengkeram pinggiran meja untuk menahan tubuh. Detik itu saja cukup untuk membuat napasnya terengah dan lehernya memanas karena terkejut.

Ia memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam. “Tolong… cukup untuk hari ini.”

Di kamar, Arash menghantam dinding dengan punggung tangannya—bukan keras, hanya sekadar letupan frustrasi yang tidak tahu harus ke mana.

Ia berjalan bolak-balik, menatap pintu kamar yang tertutup. Ada dorongan kuat untuk membukanya, untuk melihat keadaan Ava, untuk sekadar memeriksa apakah ia terluka. Namun ego Arash menahan langkahnya seperti rantai.

“Dia baik-baik saja,” desisnya, meski ia tahu itu hanya pembelaan kosong.

Ia menggeram pelan. Emosi yang meledak tadi bukan hanya karena luka kecil di kepalanya atau kecoa sialan itu… tapi karena dirinya sendiri yang terlalu cepat naik darah ketika kenyataan tidak berjalan sesuai kehendaknya. Dan sekarang… ia menciptakan kekacauan lain.

Sedangkan Ava telah selesai membersihkan lantai. Ia menata kembali meja, menghapus cipratan yang tidak sengaja mengenai kaki meja, lalu mencuci tangan dengan air dingin cukup lama hingga kepalanya sedikit dingin.

Di kursi makan, ia duduk pelan. Tidak berani bergerak terlalu banyak. Tidak berani membuat suara. Ia membuka telapak tangannya yang mulai memerah karena pekerjaan tadi. Ava meniupnya perlahan, mencoba menenangkan rasa perih kecil itu.

“Apa aku harus memasak lagi untuknya…?” gumamnya sangat pelan. Tanya itu bukan tentang makanan—itu tentang bagaimana cara memperbaiki malam yang sudah runtuh.

Ava memejamkan mata sejenak. Ia merasa sangat kecil, sangat tipis. Seperti lembar kertas yang bisa sobek jika disentuh sedikit saja.

Namun tetap saja… ia bangkit, mengambil ayam dari kulkas, dan kembali menyiapkan makan malam. Tangannya bergerak lambat tapi pasti—seperti ritual pengabdian yang tidak pernah diminta namun ia jalani dengan tulus.

Karena begitulah Ava.

Ia selalu mencoba memperbaiki sesuatu… bahkan ketika dirinya sendiri yang patah.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

📌Jangan lupa like komen dan tambahkan ke favorit kalian yaa🥰

1
Sri Peni
ceritanya bagus aq lebih tertarik pd diksinya.
Sri Peni
updatenya jgn lama2
Sri Peni
apakah ini novel terjmahan? krn diksinya benar2 pas bagiku. . benar2 bahasa sastra. maaf baru kali ini aq bc , cerita yg bhsnya bagus .. sulitdibahas dgn tertulis
Ig ; LaruArun: Bukan ka, ini bukan novel terjemahan. cerita ini pure isi kepala aku. btw, terimakasih banyak karena udah mampir dan mohon dukungannya 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!