Dikhianati dan difitnah oleh selir suaminya, Ratu Corvina Lysandre terlahir kembali dengan tekad akan merubah nasib buruknya.
Kali ini, ia tak akan lagi mengejar cinta sang kaisar, ia menagih dendam dan keadilan.
Dalam istana yang berlapis senyum dan racun, Corvina akan membuat semua orang berlutut… termasuk sang kaisar yang dulu membiarkannya mati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arjunasatria, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Di kediamannya, Theon berdiri di depan jendela besar, menatap halaman yang diselimuti kabut. Pikirannya melayang jauh, mengenang semua yang telah terjadi. Sejak terakhir kali di sidang kekaisaran, ia belum sempat lagi bertemu dengan Corvina. Ia berusaha menahan rasa rindunya, seperti yang selalu ia lakukan.
Sejak ia tahu Corvina menikah dengan Cassian, Theon telah berusaha mengubur perasaannya, mengalihkan segala yang ia rasakan ke medan perang. Padahal, jauh sebelum Corvina bertemu dengan Cassian, Theon sudah menyukai wanita itu. Tapi apalah daya, jika ternyata Corvina jatuh hati pada Cassian, bukan dirinya.
Dan sekarang, saat ia tahu Corvina menderita di dalam istana, bukannya bahagia seperti yang seharusnya, Theon merasa sebuah dorongan kuat untuk mengubah segala hal. Ia memutuskan, untuk pertama kalinya, bahwa ia akan merebut Corvina dari Cassian.
Beberapa saat kemudian, pintu diketuk, seorang prajurit masuk dengan tergesa, dan buru-buru membungkuk.
Ketika pintu diketuk, seorang prajurit masuk dengan tergesa, buru-buru membungkuk.
“Laporan dari istana, Yang Mulia,” katanya hati-hati. “Ratu memberi izin untuk perayaan kehamilan Selir Meriel… dengan syarat pesta diadakan kecil dan sederhana.”
Theon menoleh perlahan, ekspresinya datar, tapi matanya tetap mengeras. “Dan Cassian menerimanya?”
“Ya, Yang Mulia. Tapi… setelah pertemuan itu, Ratu tampak marah. Beberapa pelayan bilang beliau mengurung diri cukup lama.”
Theon terdiam, bahunya kaku. “Dia tak akan menunjukkannya di depan siapa pun,” gumamnya pelan. “Tapi aku tahu, itu pasti sangat menyakitinya.”
Prajurit itu menunduk, tak berani bicara lagi. Theon berjalan pelan menuju meja, membuka gulungan laporan, meski matanya tak benar-benar melihat kata-kata di atasnya.
Di pikirannya, bayangan Corvina terlintas wanita yang selalu berdiri tegak di tengah-tengah segala penghinaan dan rumor. Dia memilih diam, padahal bisa saja menghancurkan semuanya dengan satu kalimat.
“Corvina….” bisiknya, hampir seperti doa. “Sampai kapan kau selalu menahannya sendirian.”
Ia menatap keluar, melihat kabutķi yang masih melayang rendah. Rahangnya mengeras. “Kalau Cassian terus memberinya luka, maka aku akan menjadi obat untuknya.”
Beberapa jam kemudian, di istana Ratu.
Malam turun lebih cepat dari biasanya. Di menara timur, lilin-lilin sudah hampir habis ketika langkah Theon melompat masuk lewat jendela kamar Corvinayang terbuka lebar. Ia tidak menunggu diundang. Begitu ia masuk, aroma teh melati bercampur aroma dari tubuh corvina menyambutnya, terasa menenangkan meskipun suasananya menjadi tegang.
Corvina yang duduk di tempat tidurnya, mengenakan gaun tidirnya yang tipis, rambutnya terurai bebas, seolah-olah ia tak peduli lagi siapa yang melihat.
“Kau datang tanpa di undang,” katanya dengan suara pelan, namun penuh arti. "Apa kau lupa kalau kamarku ada pintunya? sampai-sampai kamu masuk lewat jendela?"
Theon menatap wajahnya yang pucat dalam cahaya lilin. “Maaf kalau aku datang dengan cara yang tidak sopan dan di waktu yang tidak tepat.”
“Benar katamu, kau sungguh tidak sopan.” jawab Corvina, dengan suara yang lemah. “Tapi rupanya kau akan keras kepala jika aku mengusirmu.”
Theon berjalan mendekat ke arah Corvina dan duduk di atas tempat tidur, matanya tak lepas dari sosok Corvina yang tenang "Kau nampak terlihat lelah, Yang Mulia.”
Corvina tersenyum kecil. “Lucu, semua orang mengatakan hal yang sama. Apa karena berita kehamilan selingkuhan suamiku?”
Theon menghela napas pelan, mencoba untuk lebih hati-hati. “Kau baru saja memberi izin untuk pesta Meriel. Apa kau yakin dengan itu?”
“Yakin.” potong Corvina, suaranya datar, tanpa emosi. “Sudah terlalu banyak yang kusesali, Theon. Satu pesta kecil tidak akan menambah beban yang sudah terlalu berat ini.”
Theon terdiam, menimbang kata-kata Corvina. “Dia sedang hamil di tengah konflik pengkhianatan yang dia lakukan?”
“Kau benar, Th3on. Terlalu kebetulan sekali. Tapi Cassian selalu begitu,” gumam Corvina, suaranya terdengar lelah. “Selalu lebih percaya Meriel daripada aku.”
Theon menatapnya lama, seakan mencoba membaca lebih dalam ke dalam diri wanita itu. “Kamu kecewa dengannya? apa kamu mencintainya?”
Corvina menoleh, matanya terlihat sayu. “Cinta?” Ia menggeleng pelan, “Yang tersisa sekarang cuma bekas luka. Kadang berdarah kalau disentuh, tapi tak akan sembuh jika tak ada obatnya.”
Suasana hening sejenak. Di luar, hujan mulai turun perlahan, memberi ketenangan yang kontradiktif dengan kerumitan yang terjadi di dalam.
Theon menatap Corvina , suaranya rendah, hampir seperti bisikan. “Biarkan aku yang menjadi obat atas lukamu.”
Corvina menatapnya sebentar, lalu tersenyum samar. “Jangan jadi orang bodoh kedua, Theon. Aku sudah dengan si bodoh satu Cassian di hidupku.”
Theon tak melepaskan tatapannya. “Kau tak tahu seberapa jauh aku bisa melangkah untuk membuatmu berhenti terluka.”
Corvina hanya menatap keluar jendela, pada titik-titik hujan yang mulai turun dengan sangat deras. “Tak ada yang bisa menghentikan lukaku selain waktu....”
Suara Corvina hilang perlahan, saat secara tiba-tiba Theon mendaratkan bibirnya di bibir Corvina. Waktu seakan terhenti, Corvina di terpa kebingungan.
bertele2