Indira pikir dia satu-satunya. Tapi ternyata, dia hanya salah satunya.
Bagi Indira, Rangga adalah segalanya. Sikap lembutnya, perhatiannya, dan pengertiannya, membuat Indira luluh hingga mau melakukan apa saja untuk Rangga.
Bahkan, Indira secara diam-diam membantu perusahaan Rangga yang hampir bangkrut kembali berjaya di udara.
Tapi sayangnya, air susu dibalas dengan air tuba. Rangga diam-diam malah menikahi cinta pertamanya.
Indira sakit hati. Dia tidak menerima pengkhianatan ini. Indira akan membalasnya satu persatu. Akan dia buat Rangga menyesal. Karena Indira putri Zamora, bukan wanita biasa yang bisa dia permainkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda SB, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kejutan
Indira dan Rani baru saja melewati lobby mewah dengan chandelier kristal yang berkilauan saat suara yang sangat familiar... sangat tidak diinginkan menghentikan langkah mereka.
"INDIRA!"
Indira membeku. Tubuhnya menegang. Rani langsung melirik dengan wajah yang berubah dari santai menjadi siaga.
"Itu Rangga," bisik Rani dengan nada warning.
"Aku tahu," jawab Indira dengan suara yang sangat tenang... terlalu tenang.
Langkah kaki yang tergesa mendekat dari belakang. Lalu tangan menarik lengan Indira dengan kasar membuatnya berbalik paksa.
Rangga berdiri di sana, wajahnya merah, mata melotot, napas terengah. Masih dengan tuxedo yang rapi tapi ekspresinya sama sekali tidak elegan. Ia terlihat seperti orang yang baru saja melihat hantu.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Rangga dengan nada menuduh, seolah Indira yang salah. "Kenapa kamu di acara ini?"
Indira menatapnya dengan tatapan datar, tidak terkejut, tidak takut. Hanya... bosan. "Lepaskan tanganku."
"Tidak sampai kamu jawab..."
"LEPASKAN," ulang Indira dengan nada yang membuat beberapa tamu di sekitar mereka menoleh. "Atau aku akan teriak dan bilang kamu melakukan harassment di acara ini."
Rangga melepaskan genggamannya tapi tidak mundur. Ia tetap berdiri menghalangi jalan Indira dengan wajah yang penuh amarah dan... ketakutan?
"Kamu kabur," ucap Rangga dengan suara bergetar. "Kamu kabur dari rumah. Aku kunci pintu untuk bicarakan masalah kita, tapi kamu malah kabur lewat jendela seperti... pencuri!"
"Aku tidak kabur," Indira menjawab dengan sangat tenang. "Aku pergi. Ada perbedaan. Kabur itu untuk orang yang takut. Aku tidak takut padamu, Mas Rangga. Aku hanya tidak mau buang waktu lagi dengan orang yang tidak menghargaiku."
"Tapi rumah itu rumahmu..."
"Rumah itu bukan rumahku lagi," potong Indira dingin. "Saat kamu bawa Ayunda tinggal di sana, saat kamu usir aku dari kamar utama, saat kamu kunci aku di kamar tamu seperti tahanan... rumah itu berhenti jadi rumahku. Itu jadi penjara. Dan tidak ada yang bisa menahan aku di penjara."
"Aku tidak bermaksud..."
"Kamu tidak pernah bermaksud," Indira memotong lagi dengan senyum sinis. "Kamu tidak bermaksud mengkhianati aku. Kamu tidak bermaksud menyakiti aku. Kamu tidak bermaksud menghina aku. Tapi semua itu tetap kamu lakukan. Jadi 'tidak bermaksud' itu tidak ada artinya, Mas Rangga."
Rangga terdiam, setiap kata Indira adalah pukulan yang tepat mengenai sasaran.
"Sekarang minggir," Indira berbicara dengan nada final. "Aku ada acara penting. Aku tidak punya waktu untuk drama mu."
"Tunggu.. " Rangga mencoba menghalangi lagi. "Aku masih mau bicara..."
"Tidak ada yang perlu dibicarakan," Indira menatapnya dengan tatapan yang membuat Rangga mundur selangkah. "Di dunia ini tidak ada yang bisa menghentikan aku, Mas Rangga. Tidak ada. Kecuali kematian. Dan kamu... bukan siapa-siapa untuk menghalangi jalanku."
Kata-kata itu terdengar seperti ancaman. Atau mungkin janji. Atau mungkin keduanya.
Indira hendak berjalan melewati Rangga, tapi pria itu dengan kepanikan yang semakin membesar menghalangi lagi.
"Tunggu!" kali ini suaranya lebih memohon daripada marah. "Kenapa kamu bisa datang ke acara ini? Ini acara keluarga Suryatama... keluarga terkaya di Indonesia! Yang diundang hanya orang-orang elite! Kenapa kamu..." ia berhenti, menatap Indira dari atas sampai bawah... gaun mewah, perhiasan asli, aura yang berbeda, "kamu kan cuma..."
"Cuma apa?" Indira tersenyum yang tidak hangat. "Cuma ibu rumah tangga sederhana? Cuma istri yang patuh dan tidak punya apa-apa?"
Rangga tidak menjawab tapi wajahnya mengatakan ya untuk semua itu.
Indira menggelengkan kepala... gerakan yang sangat tenang, sangat terkontrol. "Rangga, kamu menikah denganku tiga tahun. Tapi ternyata kamu tidak benar-benar tahu siapa aku. Kamu tidak tahu apa yang aku punya. Kamu tidak tahu dari keluarga mana aku berasal. Kamu tidak tahu kemampuan apa yang aku miliki. Karena kamu tidak pernah bertanya. Kamu tidak pernah peduli. Kamu hanya lihat apa yang kamu mau lihat... istri yang akan melayani mu, istri yang akan diam dan patuh, istri yang tidak akan menghalangi egomu."
"Aku... aku tidak..."
"Tapi sekarang kamu tahu," Indira memotong dengan senyum yang semakin lebar membuat Rangga merasa sangat,m kecil. "Sekarang kamu tahu bahwa aku bukan wanita sederhana yang kamu kira. Dan itu membuat kamu takut, kan? Karena kamu mulai menyadari... kamu bukan menikahi wanita di bawahmu. Kamu menikahi wanita yang jauh di atasmu. Dan sekarang wanita itu pergi. Dan kamu tidak bisa berbuat apa-apa."
Rangga berdiri mematung... tidak bisa bergerak, tidak bisa berbicara. Karena Indira benar. Sangat benar. Dan itu menakutkan.
"Sekarang, untuk terakhir kalinya," Indira berbicara dengan nada yang sangat dingin, "minggir."
Rangga masih berdiri di sana, mulut terbuka tapi tidak ada kata yang keluar. Dan Indira tidak menunggu lagi. Ia berjalan melewatinya dengan kepala terangkat tinggi, gaun yang berkibar indah, seperti ratu yang melewati rakyat jelata.
Rani yang sudah menunggu dengan sabar langsung mengikuti. Tapi sebelum melewati Rangga, ia berbisik dengan nada yang sangat, sangat dingin.
"Kalau kamu berani ganggu Indira lagi, aku akan pastikan kamu menyesal. Sangat menyesal."
Lalu ia juga pergi meninggalkan Rangga berdiri sendirian di tengah lobby yang mulai ramai dengan tamu-tamu yang melirik dengan penasaran.
"Rangga?"
Suara familiar membuat Rangga menoleh. Ayunda berdiri di sana menatap suaminya dengan wajah bingung.
"Itu... itu Indira?" tanya Ayunda dengan suara tidak percaya. "Kenapa dia ada di sini?"
"Aku... tidak tahu," jawab Rangga dengan suara serak.
Ayunda melirik ke arah Indira dan Rani yang sudah berjalan menuju grand ballroom. "Tapi... kenapa dia bisa diundang? Ini acara keluarga Suryatama! Apa hubungannya Indira dengan..."
"Aku tidak tahu!" Rangga membentak, frustrasinya meledak. Beberapa tamu menoleh dengan tatapan tidak suka.
Ayunda tersentak, terluka dengan bentakan itu. Tapi ia tidak punya waktu untuk marah karena matanya menangkap pemandangan yang membuat mulutnya terbuka lebar.
Di ujung lobby tepat di pintu masuk grand ballroom... seorang pria tua berdiri dengan postur tegak meskipun usianya sudah lanjut. Rambut putih yang rapi. Jas hitam yang sempurna. Tongkat emas di tangannya... lebih untuk gaya daripada kebutuhan.
Harto Suryatama. Sang pemilik acara. Sang patriark keluarga terkaya Indonesia.
Dan di sampingnya, wanita tua yang anggun dengan kebaya tradisional berwarna biru royal dan selendang yang berkilauan, Aminah Suryatama, istrinya.
Mereka berdiri di sana, menyambut tamu-tamu VIP yang datang.
Dan kemudian...
Indira berjalan mendekat.
Rangga dan Ayunda menatap dengan napas tertahan.
"INDIRA!" suara Harto Suryatama... suara yang keras, penuh kehangatan memecah keheningan. Pria tua itu membuka tangannya lebar.
Dan Indira yang tadi begitu dingin pada Rangga... tiba-tiba tersenyum lebar. Senyum yang tulus. Senyum yang hangat.
"KAKEK!" ia berteriak dengan senang, lalu berlari kecil dengan gaun yang berkibar, memeluk pria tua itu dengan erat.
Harto tertawa yang penuh kasih sayang membalas pelukan dengan erat. "Akhirnya cucu ku datang juga! Sudah berapa lama kita tidak ketemu? Setahun?"
"Lebih," jawab Indira sambil melepaskan pelukan. "Maafkan aku, Kek. Aku sibuk dengan... banyak hal."
"Aku tahu, aku tahu," Harto menepuk pipi Indira dengan lembut, gesture kakek pada cucu kesayangannya. "Yang penting sekarang kamu ada di sini. Di ulang tahunku yang ke-80. Tidak ada hadiah yang lebih baik dari kehadiranmu."
Aminah yang sudah menunggu giliran langsung memeluk Indira dengan hangat. "Dira sayang, kamu semakin cantik! Nenek kangen sekali!"
"Nek," Indira membalas pelukan dengan mata yang sedikit berkaca. "Aku juga kangen."
Di kejauhan, Rangga dan Ayunda berdiri dengan mulut terbuka... tidak percaya dengan apa yang mereka lihat.
"Cu-cucu?" Ayunda tergagap. "Indira... cucu Kakek Harto Suryatama?"
Rangga tidak bisa menjawab. Otaknya tidak bisa memproses informasi ini. Indira... istrinya yang ia kira hanya wanita sederhana ternyata cucu dari keluarga terkaya Indonesia?
"Ayo masuk," Harto menarik tangan Indira. "Ada seseorang yang ingin aku perkenalkan padamu."
"Siapa, Kek?" tanya Indira sambil berjalan bersama kakeknya, Rani mengikuti di belakang dengan senyum yang puas melihat wajah shock Rangga tadi.
"Cucu ku yang lain," jawab Hartono dengan senyum misterius. "Yang satu ini pemalu. Tidak pernah mau ikut acara keluarga. Tapi untuk ulang tahunku, aku paksa dia datang."
Mereka memasuki grand ballroom... ruangan besar dengan langit-langit tinggi, chandelier raksasa yang berkilauan, meja-meja bundar dengan taplak putih dan centerpiece bunga yang indah, stage dengan backdrop bertuliskan "Happy 80th Birthday Harto Suryatama" dengan huruf gold.
Di pojok ruangan dekat dengan bar, seorang pria berdiri dengan tuxedo hitam yang sempurna. Tinggi. Tegap. Tampan dengan cara yang mature dan berwibawa.
Harto menuntun Indira mendekat. "Indira, ini cucu ku. Adrian. Adrian, ini Indira... cucuku dari sahabat karibku yang sudah meninggal, Abraham Zamora."
Pria itu berbalik.
Dan waktu berhenti.
Indira membeku.
Rani yang baru saja menyusul hampir tersedak ludahnya sendiri.
Karena pria itu adalah
"Adrian?" Indira berbisik dengan suara yang hampir tidak terdengar.
Adrian Mahendra...mantan pacarnya, cinta pertamanya, pria yang ia temui di reuni menatapnya dengan mata terbelalak. Juga shock. Juga tidak percaya.
"Indira?" ucapnya dengan suara yang sama terkejutnya.
"Kalian... kenal?" Hartono menatap mereka berdua dengan bingung tapi juga... sedikit senang?
"Kami..." Adrian mencoba mencari kata-kata. "Kami teman SMA dulu, Kakek."
"Oh!" Hartono tertawa. "Dunia memang kecil! Ternyata kalian sudah kenal! Ini lebih mudah kalau begitu!"
Tapi Indira dan Adrian tidak tertawa. Mereka hanya saling menatap dengan campuran shock, bingung, dan... sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih dalam.
"Tunggu," Rani akhirnya berbicara setelah shock-nya mereda. "Adrian... Adrian Mahendra... adalah cucu Kakek Hartono Suryatama?"
"Ya," jawab Hartono bangga. "Dari jalur ibu. Nama keluarga Mahendra, tapi darah Suryatama. Dia arsitek yang sangat sukses sekarang. Punya firma sendiri. Buat aku bangga."
Adrian tersenyum tipis mendengar pujian kakeknya tapi matanya tidak lepas dari Indira.
Dan Indira juga tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Adrian.
"Jadi," Hartono merangkul mereka berdua, satu tangan di pundak Indira, satu tangan di pundak Adrian, "kalian berdua adalah cucu-cucu kesayangan ku. Dan sekarang kalian bertemu lagi setelah sekian lama. Ini pasti takdir!"
Aminah yang mendengar dari samping tertawa. "Kakekmu ini suka sekali ngomong takdir. Tapi mungkin memang benar. Indira dan Adrian... keduanya single, keduanya sukses, keduanya orang baik. Siapa tahu ini jodoh?"
"NEK!" Indira langsung merona, wajahnya memerah sampai ke telinga.
Adrian juga terlihat tidak nyaman tapi ada senyum kecil di bibirnya.
Harto tertawa puas. "Ayo, ayo. Kita ke meja VIP. Aku mau kalian duduk berdampingan malam ini. Ngobrol. Catch up. Siapa tahu..." ia mengedipkan mata dengan nakal.
Indira tidak tahu harus tertawa atau menangis. Malam ini semakin tidak terduga.
Sementara di pintu ballroom, Rangga dan Ayunda akhirnya masuk, masih dengan wajah shock yang tidak hilang-hilang.
Mereka melihat Indira duduk di meja VIP... meja paling depan, paling dekat dengan stage, paling terhormat bersama Harto, Aminah, dan... seorang pria tampan yang duduk tepat di samping Indira, berbicara dengan senyum yang hangat.
"Siapa itu?" bisik Ayunda dengan rasa cemburu yang tidak masuk akal.
Rangga tidak menjawab. Ia hanya menatap dengan perasaan yang sangat, sangat kompleks.
Indira... wanita yang ia kira sederhana ternyata cucu keluarga Suryatama.
Indira... wanita yang ia kira tidak punya apa-apa... ternyata punya koneksi dengan orang-orang terkaya Indonesia.
Dan sekarang Indira duduk di sana, tertawa, berbincang, terlihat bahagia bersama pria lain yang jelas bukan dirinya.
Sementara Rangga? Rangga hanya bisa berdiri di kejauhan. Dengan istri kedua yang tidak berguna. Dengan perusahaan yang hampir bangkrut. Dengan harapan untuk bertemu pemilik Zamora Company yang semakin tipis.
Dan untuk pertama kalinya, Rangga menyadari dengan sangat jelas...
Ia sudah kehilangan segalanya.