Hujan deras malam itu mengguyur perkampungan kecil di pinggiran kota. Lampu jalan yang redup hanya mampu menerangi genangan air di jalanan becek, sementara suara kendaraan yang melintas sesekali memecah sunyi. Di balik dinding rumah sederhana beratap seng berkarat, seorang gadis remaja duduk memeluk lututnya.
Alendra Safira Adelia.
Murid kebanggaan sekolahnya, panutan bagi teman-temannya, gadis berprestasi yang selalu dielu-elukan guru. Semua orang mengenalnya sebagai bintang yang bersinar terang di tengah gelap. Tapi hanya dia yang tahu, bintang itu kini nyaris padam.
Tangannya gemetar menggenggam secarik kertas—hasil tes yang baru saja ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Tulisan kecil itu menghantam seluruh dunia yang telah ia bangun: positif.
Air mata jatuh membasahi pipinya. Piala-piala yang tersusun rapi di rak kamar seakan menatapnya sinis, menertawakan bagaimana semua prestasi yang ia perjuangkan kini terasa tak berarti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itz_zara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23. Perasaan Lega Atau Takut?
Tak seperti biasanya, suasana kelas pagi ini mendadak hening ketika pintu kelas dibuka pelan. Semua kepala otomatis menoleh, sebagian bahkan berhenti menulis.
Rayven Aurelio Evander Mahendra.
Nama itu cukup untuk membuat detik waktu di ruang kelas berhenti sejenak. Siswa kelas tiga yang dikenal paling dingin, paling sulit didekati, dan paling jarang terlihat duduk di bangku sekolah. Biasanya, kalau pun datang, langkahnya hanya sampai di lapangan basket atau markas geng Ravenclaw yang terkenal di seluruh sekolah. Tapi pagi ini berbeda. Rayven benar-benar masuk kelas. Duduk di bangkunya. Membuka buku pelajaran.
Guru yang baru saja menulis di papan sampai menghentikan spidolnya. “Rayven… kamu nggak salah kelas, kan?” tanya Bu Amanda dengan nada setengah bercanda tapi matanya masih penuh rasa tidak percaya.
Rayven hanya mengangkat wajah sekilas, menatap datar, lalu menjawab, “Nggak, Bu.” Suaranya rendah, dingin, tenang seperti biasa.
Beberapa siswa nyaris tak bisa menahan diri untuk tidak saling berbisik.
“Gila, dia beneran masuk kelas?”
“Rayven? Belajar? Gue nggak salah lihat, kan?”
“Kayaknya dunia bakal kiamat nih.”
Rayven mendengar semuanya, tapi tak satu pun ia tanggapi. Tangannya membuka buku, matanya menatap lurus ke papan tulis, meski pikirannya tidak di sana. Ia mencoba membaca tulisan di depan, tapi huruf-huruf itu seperti kabur, berganti menjadi bayangan wajah seseorang.
Alendra.
Gadis yang pagi tadi ia temui. Gadis yang sempat ia tarik ke dalam mobil tanpa pikir panjang hanya karena khawatir. Gadis yang sekarang memenuhi pikirannya tanpa izin.
Masih jelas dalam ingatannya ekspresi terkejut Alendra ketika pintu mobil tertutup, lalu suara lembutnya yang bergetar, “Rayven, kamu ngapain sih narik aku kayak gini? Orang-orang bisa lihat, loh!”
Rayven hanya diam waktu itu, tangannya masih menggenggam kantong plastik berisi susu berbagai rasa. Ia menatap Alendra sebentar, lalu menyodorkannya tanpa banyak bicara. “Ini buat lo.”
Alendra menatap kantong itu bingung. “Susu?”
Rayven mengangguk pelan. “Gue nggak tau lo suka rasa apa, jadi gue beli semua.”
Suara itu datar, tapi di baliknya ada sesuatu yang tulus. Alendra tahu itu, meski tak berani menatap lama-lama. Ia sempat hendak menolak, tapi tatapan mata Rayven yang tajam dan seolah menyimpan sesuatu membuatnya urung. Akhirnya, dengan senyum tipis ia berkata, “Makasih. Tapi aku titip di mobil kamu aja ya? Gak mungkin aku bawa ke kelas, bisa heboh nanti.”
Rayven hanya mengangguk, bibirnya nyaris tak bergerak. Tapi di dadanya ada sesuatu yang aneh—perasaan lega sekaligus takut. Lega karena Alendra tidak marah, tapi takut karena masih belum bisa memperbaiki apa pun yang sudah ia rusak.
Kini, duduk di bangku sekolah, Rayven kembali memikirkan semua itu. Jantungnya berdetak pelan namun berat. Ia menatap kosong ke arah papan tulis, tapi yang ia lihat hanyalah senyum lembut Alendra di pagi yang cerah.
Sementara itu, di kelas sebelah, Alendra sedang duduk bersama Nayla, Selena, dan Elvira. Tawa mereka pecah memenuhi ruangan. Nayla sedang bercerita tentang guru matematika yang tadi pagi salah menghitung, dan Selena menirukan gayanya dengan cara yang kocak.
Alendra ikut tertawa, tapi di sela tawanya, pikirannya sedikit melayang ke peristiwa tadi pagi. Tatapan mata Rayven, genggaman tangannya di pergelangan Alendra, dan cara cowok itu terlihat gugup—sesuatu yang sangat jarang ia lihat dari seorang Rayven Aurelio.
“Len, lo kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya Nayla sambil menyenggol bahunya.
“Hah? Enggak kok, cuma keinget hal lucu aja,” jawab Alendra cepat, menunduk sedikit agar wajahnya tidak ketahuan memerah.
Elvira menatapnya curiga. “Hal lucu? Dari siapa? Jangan-jangan…”
“Jangan-jangan apa, Vir?” potong Alendra cepat.
Elvira mengangkat alis. “Jangan-jangan lo lagi deket sama seseorang nih? Mukanya tuh loh, kayak habis ketemu pangeran pagi-pagi.”
Selena langsung menimpali, “Wah, pangeran yang bawa bunga apa kopi, Len?”
Alendra menahan tawa, tapi pipinya makin merah. “Bukan apa-apa, sumpah. Kalian suka halu deh.”
Namun di dalam hati, ia tahu mereka tidak sepenuhnya salah.
Sementara itu di kelas Rayven, suasana sedikit berubah. Bu Amanda sedang menulis soal latihan di papan, dan Rayven yang biasanya keluar sebelum jam pertama selesai justru masih duduk tenang. Guru-guru yang lewat depan kelas pun sempat berhenti melihat ke dalam, memastikan kalau penglihatan mereka tidak salah.
Di luar kelas, tiga orang murid geng Ravenclaw—Axel, Kenzo, dan Julian—baru saja tiba. Mereka menatap pintu kelas Rayven yang tertutup dengan bingung.
“Zo, itu beneran Rayven di dalam kelas?” bisik Axel.
Kenzo menyipitkan mata, mengintip lewat jendela kecil di pintu. “Sial, iya. Dia duduk di bangkunya. Belajar.”
Julian melipat tangan di dada. “Nggak mungkin. Kapten kita belajar? Jangan-jangan dia sakit?”
Axel nyengir. “Atau lagi jatuh cinta.”
Ucapan itu membuat dua temannya langsung menoleh bersamaan. “Gila lo, Xel. Rayven jatuh cinta? Sama siapa?”
Axel hanya mengangkat bahu dengan ekspresi misterius. “Feeling gue sih… ada sesuatu yang dia sembunyiin.”
Kenzo menghela napas panjang. “Whatever it is, gue harap bukan masalah berat. Rayven itu kalo udah kepikiran sesuatu, bisa berhari-hari nggak ngomong sama siapa pun.”
Mereka bertiga akhirnya memilih pergi ke markas seperti biasa, tapi suasana pagi itu terasa janggal tanpa sosok pemimpin mereka. Biasanya, Rayven sudah duduk di sofa kulit hitam di ruang itu sambil memegang minuman dingin, memberi perintah santai dengan wajah dingin dan tatapan tajam. Tapi hari ini, ruangan itu kosong. Sunyi.
Di kelas, Rayven menutup bukunya pelan ketika bel istirahat berbunyi. Semua siswa langsung berdiri, beberapa mendekat ke arah kantin. Tapi Rayven tetap duduk. Ia melirik ke arah jendela, menatap halaman sekolah di mana Alendra dan teman-temannya berjalan sambil tertawa kecil.
Untuk sesaat, sudut bibirnya terangkat sedikit—senyum nyaris tak terlihat.
Namun dalam hati, ia tahu… dunia Alendra terlalu terang untuk disentuh oleh orang sekelam dirinya.
Tapi meski begitu, Rayven berjanji pada dirinya sendiri: selama dia masih bisa melihat Alendra tertawa seperti itu, maka cukup.
Ia mungkin tidak bisa memperbaiki semuanya hari ini. Tapi setidaknya, ia bisa mulai dengan satu langkah kecil — tetap di sekolah, dan memastikan gadis itu baik-baik saja.
Markas Ravenclaw—tempat nongkrong paling terkenal di sekolah. Ruangan luas di belakang gedung olahraga itu sudah seperti “wilayah kekuasaan” geng paling ditakuti di SMA. Dindingnya dipenuhi coretan grafiti, sofa hitam panjang tergeletak di tengah ruangan, dan ada meja billiard di sudut kanan. Biasanya, tempat ini sudah ramai sejak pagi, tapi hari ini suasananya agak aneh.
Pintu markas tiba-tiba dibuka keras oleh seseorang.
“RREN!!!” suara Kenzo menggema di seluruh ruangan.
Aksa yang sedang rebahan di sofa langsung melotot, Alvaro yang baru membuka kaleng soda sampai hampir menumpahkannya, sementara Darren yang lagi asik scroll ponsel langsung mengangkat kepala dengan alis mengerut.
“APAAAN, Zo?!” seru Darren kesal karena kaget.
Kenzo berlari ke tengah ruangan, napasnya terengah-engah seperti habis lari marathon. “Gue… gue barusan liat sesuatu yang nggak masuk akal!”
“Zo, lo lagi halu ya?” Aksa mengernyit curiga, duduk dari posisi rebahan.
“Bukan, bro! Ini serius! Rayven…” Kenzo menahan napas sejenak, berusaha membuat mereka semua fokus. “RAYVEN MASUK KELAS!”
Ruangan itu langsung hening. Aksa, Darren, dan Alvaro saling pandang. Lalu serempak mereka tertawa ngakak.
“HAH?! Rayven? Yang kita kenal?” Darren sampai terbahak-bahak sambil memegang perut.
Aksa nyengir, “Lo pasti salah liat, Zo. Gak mungkin Rayven. Pagi-pagi gini biasanya dia nongkrong di sini atau cabut ke lapangan.”
“Gue gak salah liat!” Kenzo menunjuk ke arah pintu, matanya membulat. “Gue, Julian, sama Axel liat langsung dia masuk kelas tiga, duduk manis, buka buku. BU-KA BUKU!”
Alvaro bahkan sampai berhenti mengunyah permen karetnya. “Lo serius?”
Belum sempat Kenzo menjawab lagi, Axel masuk dari pintu diikuti Julian. “Woy, ribut amat. Gue baru nyusul nih,” ujar Axel cuek sambil melempar tasnya ke sofa.
Darren langsung nyamperin Axel. “Lo beneran liat Rayven masuk kelas?”
Julian hanya mengangguk pelan. “Iya. Kita liat sendiri. Dia duduk, buka buku pelajaran, nggak ngomong apa-apa.”
“Dan mukanya kayak… ya, Rayven banget. Dingin,” tambah Axel sambil nyengir. “Tapi… serius. Dia belajar.”
Aksa berdiri dari sofa. “GILA. Dunia udah mau kiamat kayaknya.”
“Beneran,” gumam Darren, matanya masih tak percaya. “Rayven Aurelio Evander Mahendra, si kapten basket paling dingin, cowok yang cuma nongkrong di markas dan bikin semua guru pusing karena jarang masuk kelas… sekarang BELAJAR?”
Kenzo mengangkat tangan tinggi-tinggi. “Makanya gue heboh! Ini bukan Rayven yang kita kenal!”
Alvaro geleng-geleng kepala, tapi ekspresi wajahnya berubah serius. “Tapi kalau itu bener, berarti ada sesuatu yang lagi dia pikirin. Lo semua tau sendiri kan, Rayven nggak bakal ngelakuin sesuatu tanpa alasan.”
Aksa menatap Alvaro dengan alis terangkat. “Lo pikir ada apa?”
“Gue gak tau,” jawab Alvaro pelan. “Tapi dia bukan tipe yang berubah tiba-tiba tanpa sebab kuat.”
“Eh, jangan-jangan…” Axel tiba-tiba nyeletuk dengan nada jahil. “Jatuh cinta.”
“GILE LU,” seru Darren sambil nyenggol bahu Axel. “Rayven jatuh cinta? Sama siapa?”
Julian yang dari tadi diam hanya melirik mereka datar. “Bukan gak mungkin sih.”
Kenzo langsung heboh lagi. “Wah… jangan bilang, semua ini gara-gara cewek?”
Ruangan itu mendadak ramai.
“Cewek mana yang bisa bikin Rayven yang cuek setengah mati itu rela masuk kelas?” ujar Aksa sambil menghela napas dramatis.
“Pasti cewek spesial,” sahut Axel.
“Pasti cantik,” tambah Kenzo cepat.
“Pasti bukan lo, Zo,” sahut Axel sinis dan langsung membuat semua tertawa.
Tawa mereka menggema, tapi dalam hati mereka semua sadar: ini bukan sekadar lelucon. Rayven bukan tipe cowok yang mudah berubah. Kalau sampai dia melakukan sesuatu yang ‘tidak biasa’—seperti datang ke kelas dan benar-benar belajar—berarti ada sesuatu yang sangat kuat mendorongnya. Sesuatu yang… mungkin berkaitan dengan seseorang.
“Eh, gimana kalau kita intip aja nanti waktu istirahat?” usul Axel sambil mengunyah permen karet.
Kenzo langsung mengangkat jempol. “Gue setuju! Kita harus cari tahu cewek mana yang bikin sang ‘panglima’ kita jadi rajin sekolah.”
“Panglima kita,” Aksa menyeringai. “Udah kayak pahlawan aja lo ngomongnya.”
Julian yang paling tenang hanya menghela napas, tapi sudut bibirnya sedikit terangkat. “Kalau kalian mau stalking, hati-hati. Rayven nggak bakal suka kalau tau kalian ngikutin dia.”
“Tenang, Jul,” Axel menepuk bahunya. “Kita ini profesional.”
“Profesional apaan, Xel? Lo aja sering ketahuan ngintip nilai cewek kelas dua,” balas Darren dan membuat semua ngakak lagi.
Di tengah riuh rendah itu, Alvaro hanya bersandar pada meja billiard, menatap langit-langit. Rayven, lo lagi mikirin apa sih sebenarnya? pikirnya.
Karena di antara semua anggota Ravenclaw, Alvaro yang paling lama kenal Rayven. Ia tahu betul, kalau Rayven mulai berubah, maka ada sesuatu yang sangat serius.
“Gue penasaran banget,” gumam Aksa sambil melirik ke arah jam dinding. “Biasanya jam segini dia udah nongkrong di sini bareng kita, bukannya duduk di kelas.”
“Yah, mungkin panglima kita lagi punya prioritas baru,” sahut Kenzo sambil tertawa kecil.
Axel mengangkat dagu. “Atau orang baru.”
Suasana markas itu berubah riuh dengan tawa dan celetukan asal mereka, tapi di antara semua kegaduhan itu, mereka tahu satu hal—hari ini bukan hari biasa. Rayven Aurelio Evander Mahendra… berubah. Dan itu membuat semua anggota gengnya tak tenang.
Tak jauh dari sana, di kelas tiga, sosok yang jadi bahan pembicaraan itu duduk dengan tatapan datar di kursinya, sama sekali tak peduli dunia di luar sana sedang geger karena keputusannya.
Rayven menunduk, menggenggam pulpen di tangannya, dan menatap buku pelajaran dengan wajah dingin khas dirinya. Tapi pikirannya… tetap berputar pada satu nama.
Alendra.
Gue nggak boleh kehilangan fokus… tapi kenapa tiap kali lo ada di kepala gue, semua hal lain kayak nggak penting? gumamnya dalam hati.
Bagi teman-temannya, ini hanya kejadian langka. Tapi bagi Rayven, pagi ini hanyalah awal dari sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar “masuk kelas.” Sesuatu yang bahkan ia sendiri belum berani akui sepenuhnya.