Senja Ociana, ketua OSIS cantik itu harus menjadi galak demi menertibkan pacar sekaligus tunangannya sendiri yang nakal bin bandel.
Langit Sadewa, badboy tampan berwajah dingin, ketua geng motor Berandal, sukanya bolos dan adu otot. Meski tiap hari dijewer sama Senja, Langit tak kunjung jera, justru semakin bandel. Mereka udah dijodohin bahkan sedari dalam perut emak masing-masing.
Adu bacot sering, adu otot juga sering, tapi kadang kala suka manja-manjaan satu sama lain. Kira-kira gimana kisah Langit dan Senja yang punya kepribadian dan sifat bertolak belakang? Apa hubungan pertunangan mereka masih bisa bertahan atau justru diterpa konflik ketidaksesuaian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LiaBlue, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. Malah Debat
“Yo, suruh mereka berenti! Ini udah gak bener, suruh mereka berenti, Yo!” Senja berteriak sekaligus memberontak untuk masuk ke dalam gerombolan pria yang sedang adu pukul.
Neo terus menahan Senja untuk tetap berada di sana, cukup jauh dari kekacauan. “Sorry, Ja. Ini udah bukan kuasa gue lagi, ya kali gue bisa hentiin orang-orang sebanyak itu. Sekarang mending lo do’a aja biar Langit kagak terlalu babak belur. Kalo masalah menang, gue yakin si Langit pasti menang lawan si Hengky.”
Senja menggeram mendengar kalimat santai Neo. Tentu saja pemuda itu sangat santai, pasalnya hal seperti ini sudah sangat biasa bagi Neo. Mereka bahkan terbilang hampir setiap hari tawuran dan adu pukul dengan perkumpulan preman komplek lainnya.
Kondisi di arena balapan saat ini memang sudah sangat kacau. Bahkan akibat aksi pukul antara geng Berandal dengan geng preman komplek Hengky, membuat balapan tak jadi. Orang-orang malah sibuk berteriak bahkan bertaruh siapa pemenang di antara dua kelompok tersebut.
Melihat semua ini, Senja semakin geram. “Gimana bisa sebanyak ini cowok, mereka malah ketawa-ketawa bahkan nonton, jadiin ajang taruhan? Harusnya mereka semua pisahin dan hentiin kekacauan ini,” geramnya.
Neo menghembuskan napas pelan. “Bu Ketos, orang-orang di sini rata-rata para berandal yang emang pecinta ketidakdamaian, alias pecinta keributan. Saat ada yang adu otot kayak gini, mereka bakal jadiin tonton yang mengasikkan. Ini ‘lah dunia malem anak berandal, sahabatku tersayaang.”
Senja berdecak, ia tentunya tak peduli akan semua itu. “Gue mau lo tarik Langit sama Ace ke sini! Biar semua ini juga berenti.”
“Gak bisa, Ja. Kalo gue masuk dan narik Langit ataupun Ace, yang ada gue bonyok. Lo gak tau aja gimana ngerinya keadaan di dalem sana. Tangan gue udah gatel sebenernya ini, mau ikutan, tapi karna harus jagain lo, gue harus mengalah malem ini gak ikutan adu tonjok,” celoteh Neo membuat Senja menatapnya tajam.
“Kalo lo gak mau, biar gue aja yang tarik Langit sama Ace. Gue gak perlu dijagain, gue bisa jaga diri sendiri. Lepasin gue, biar gue yang masuk dan tarik mereka.” Senja kembali memberontak sembari misuh-misuh.
Neo masih memegang tangan Senja supaya gadis itu tak benar-benar nekat. “Kalo lo lepas, dan lecet dikit aja, bukan cuma bonyok gue, bisa-bisa masuk ICU gue karna dipukulin Langit, Ja. Please, deh, kita kerjasama sekali ini aja. Kalo Langit udah puas mukulin si bangsat, dia pasti berenti kok nanti.”
Senja mengusap wajahnya kesal. Ia tak dapat berbuat apa-apa selain memperhatikan perseteruan panas antara geng Berandal dengan geng preman komplek.
“Ini kenapa gue gak pernah mau ijin kalian pergi malem-malem, kayak gini bahaya. Kalo ada yang bawa senjata tajem gimana? Gak ada yang tau ‘kan niat dan otak orang kayak apa? Pokoknya setelah ini gak ada keluar-keluar malem lagi, awas aja kalian, gue aduin,” gerutu Senja kesal.
“Ntar kalo lo kasih tau, lo juga ketahuan ikut kita ke sini, loh. Bisa-bisa kena omel Mama, mau lo?” balas Neo tersenyum lebar.
Senja mendelik. “Maksudnya kalo kalian berani keluar malem lagi setelah ini, langsung gue aduin!” ketusnya.
“Kalo gitu kita keluarnya diem-diem, lewat jendela gitu?” celetuk Neo, sebelum akhirnya ia melotot. “Lah, anjir, sejak kapan gue ketularan Ace, nyablak terlalu jujur?” gumamnya merasa bodoh.
Membahas masalah Langit dan Rance. Dua inti Berandal itu memang saat ini masih sibuk dengan aksi adu jotosnya. Langit masih melawan Hengky, tetapi dibantu oleh beberapa preman lain ketika Hengky kesulitan dan lebih banyak mendapat pukulan.
Awalnya Rance berada di jarak cukup jauh dengan Langit. Namun, Rance bergerak mendekat ketika melihat Hengky mulai bermain licik, pria itu mengeroyok Langit bersama teman-temannya.
Bugh ...
“Jangan mampus!” cetus Rance setelah ia berhasil memukul satu preman.
Langit menoleh dan menatap Rance malas. “Gak usah dikasih kata ‘jangan’ di depannya, ege.”
Bugh ...
“Mampus!” umpat Langit setelah memukul satu preman lain. “Gitu caranya, apaan jangan mampus?”
Rance tetap tenang sembari memukul lawan, wajahnya juga cukup babak belur. “Gue emang gak pengen dia mampus, kalo dia mati, gue jadi pembunuh, terus masuk penjara, dong? Makanya gue bilang, jangan mampus, bahaya.”
Langit mendengkus gemas mendengar ucapan Rance. Memang ada benarnya, tetapi tidak begitu juga, yah, namanya juga Rance.
Meski sempat disulut dan dikuasai emosi, kedatangan Rance yang menggeramkan membuat Langit sedikit lebih tenang. Apalagi ia melihat Hengky mundur dengan kaki sedikit pincang, itu hasil dari tendangannya.
“Lo udah mukul berapa, Ngit?” tanya Rance di sela pergerakannya.
“Anjir, lo ngitungin?” balas Langit tak percaya.
“Gue nanya elu, gue gak sempet ngitung tadi, padahal niatnya mau ngitungin. Eh, udah gue itung, sih, tapi baru sampe tujuh, ada yang panggil nama gue, jadi gue langsung linglung, gue ‘kan gak jago matematika,” terang Rance jujur.
“Sempet-sempetnya lo, anying.”
Bugh ...
“Bangsat!” Langit mengumpat ketika rahangnya mendapat pukulan dari seseorang ketika ia tak fokus karena mendengarkan celotehan Rance.
“Kena pukul?” tanya Rance tak penting.
“Gak, kena tonjok, bangke lo,” umpat Langit. “Senja masih aman? Neo ajak Senja ke mana?”
“Ada deket motor, mereka masih aman. Malah yang gak aman itu kita, setelah ini siap-siap aja kena semprotan Senja,” balas Rance santai.
“Iya, ini gue dari tadi juga mikirin alesan biar gak kena semprot. Tapi kayaknya percuma, orang Senja liat langsung kita berantem. Pasrah aja kena jewer, tapi gue bakal coba puji-puji Senja, biar hukuman lebih ringan,” ujar Langit dengan rencananya membujuk sang tunangan.
Mungkin ini bisa disebut aksi tawuran antar dua kubu perkumpulan. Orang-orang pun sudah sangat tahu jika geng Berandal dengan perkumpulan preman komplek Hengky memang tak pernah berdamai. Jadi bagi anggota pengunjung arena balapan itu sudah tak merasa terkejut akan baku hantam antar dua kubu ini.
Wiu ... wiu ...
Semua orang heboh ketika mendengar sirine polisi, tak terkecuali Senja. Neo langsung menoleh ke belakang dan mengumpat.
“Anjai, malah dateng sekarang. Padahal lagi seru-serunya,” gerutu Neo.
Plak ...
Senja memukul kepala belakang Neo. “Lo yang anjai! Kenapa masih diem, seret Langit sama Ace sekarang ke sini! Mau berakhir di kantor polisi, hah!” gerutunya.
Neo mengusap kepala belakangnya. “Iya, Ja, iya. Lo galak amat, dah, heran gue. Darah tinggi mulu apa, yak?”
Senja mendengkus, ia menoleh ke balakang, sirine polisi terdengar semakin mendekat. “Langiiit! Aceee! Udah, ada polisii!” teriaknya kesal.
Orang-orang sudah heboh melarikan diri dengan kendaraan masing-masing. Aksi tawuran pun mulai terpecah, anggota Berandal dan para preman komplek tadi juga langsung bubar mencari kendaraan masing-masing.
Langit berlari cepat ke arah Senja. Rance pun ikut berlari mendekat ke arah motornya.
“Ja,” panggil Rance sembari memasang helmnya.
Senja menoleh dan menatap Rance dengan mata tajamnya. “Apaa!”
“Lo cantik, deh, pake baju itu.” Rance tersenyum lebar.
Kening Senja berkerut. “Lo muji gue biar gak kena marah? Iya?”
“Iya, kata Langit dia bakal muji-muji lo biar hukuman lebih ringan.”
Langit melotot mendengar kalimat Rance. “Si bangke, anying emang lo!”
“Udah, bangsul! Kenapa kalian debat di saat polisi udah makin deket? Cepet kabur, elah!” sela Neo gemas.
pi klo kelen percaya satu sama lain pst bisa
klo ada ulet jg pst senja bantai
kita lanjut nanti yaaahhhhh