Kevia tak pernah membayangkan hidupnya berubah jadi neraka setelah ayahnya menikah lagi demi biaya pengobatan ibunya yang sakit. Diperlakukan bak pembantu, diinjak bak debu oleh ibu dan saudara tiri, ia terjebak dalam pusaran gelap yang kian menyesakkan. Saat hampir dijual, seseorang muncul dan menyelamatkannya. Namun, Kevia bahkan tak sempat mengenal siapa penolong itu.
Ketika keputusasaan membuatnya rela menjual diri, malam kelam kembali menghadirkan sosok asing yang membeli sekaligus mengambil sesuatu yang tak pernah ia rela berikan. Wajah pria itu tak pernah ia lihat, hanya bayangan samar yang tertinggal dalam ingatan. Anehnya, sejak malam itu, ia selalu merasa ada sosok yang diam-diam melindungi, mengusir bahaya yang datang tanpa jejak.
Siapa pria misterius yang terus mengikuti langkahnya? Apakah ia pelindung dalam senyap… atau takdir baru yang akan membelenggu selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30. Usil
Panas siang itu terasa makin menyengat saat Joni dan Janto duduk di atas motor tuanya yang terparkir agak jauh dari gerbang kampus. Keduanya menyipitkan mata, menatap kerumunan mahasiswa yang lalu-lalang seperti semut keluar masuk sarang.
“Coba lihat, Jon,” Janto menunjuk sekumpulan mahasiswi yang baru keluar sambil tertawa-tawa. “Itu rambutnya panjang. Pasti Kevia.”
Joni menghela napas berat, menyambar rokok lalu menyalakannya. “Banyak cewek yang rambutnya panjang. Kalau cuma lihat rambutnya, kita bisa salah culik tiap hari.”
Janto mendecak, lalu merenggangkan kaki pegalnya. “Ya gimana, orang nggak jelas jadwal kuliahnya. Kadang masuk pagi, kadang siang, kadang malah nggak nongol. Kita ini disuruh cari jarum di tumpukan jerami.”
Joni menyipitkan mata, memerhatikan lagi kerumunan yang makin ramai. “Diamlah. Fokus cari dia. Kalau gak ketemu juga, bisa-bisa gaji bulan ini bukan hanya di potong kayak kemarin, tapi lenyap.”
“Ya tapi… kalau nongkrong di sini terus, aku bisa jadi patung, Jon.” Janto memegangi perutnya yang bunyi keroncongan. “Lagipula, lihat aja, mahasiswa keluar masuk kayak arus mudik. Gimana kita bisa yakin kalau Kevia udah lewat atau belum?”
Joni meliriknya sekilas, lalu menepuk kepala Janto dengan bungkus rokoknya. “Ya makanya pakai mata, bukan pakai perutmu itu.”
Janto manyun, tapi tak bisa menahan tawa getirnya sendiri. “Serius, kalau gaji dipotong lagi, aku nggak kebayang muka istriku di rumah. Udah pasti dia ngomel seminggu karena uang belanja kurang. Apalagi kalau sampai gak gajian. Tamat!”
Joni mendengus, menghembuskan asap rokok ke udara. “Aku juga sama. Anak-anakku masih butuh susu. Kalau gaji hilang, mampus aku.”
Hening sejenak. Mereka berdua sama-sama menatap kerumunan mahasiswa, yang semakin lama semakin membingungkan.
“Jon…” bisik Janto tiba-tiba, nadanya waspada.
“Apa?”
“Itu… itu dia, bukan?” Janto menunjuk seorang gadis berambut panjang yang melangkah cepat keluar dari gerbang dengan kepala tertunduk.
Joni menyipitkan mata, menatap seksama. Beberapa detik kemudian ia menggeleng pelan. “Bukan. Cuma mirip postur tubuh sama rambutnya doang. Kita harus teliti. Salah orang, sama aja buang waktu.”
Frustrasi, Janto menggaruk kepalanya. “Yah, berarti kita harus nongkrong lagi besok, lusa, minggu depan, bulan depan—”
“Dan tahun depan kalau perlu!” potong Joni tajam. “Ingat, hidup kita bergantung di sini. Tahan aja, Jan. Nggak ada jalan lain.”
Janto mendesah panjang, lalu menjatuhkan kepalanya ke setang motor. “Hidup ini keras. Kenapa kita nggak buka warung bakso atau warung kopi aja sih, Jon?”
Joni terkekeh hambar. “Warung kopi butuh modal. Warung bakso butuh skill bikin bakso plus modal. Emang kau punya dua-duanya?”
“Kalau tahu begini, dulu aku nggak bakal bolos sekolah apalagi ikut tawuran. Pasti sekarang udah jadi pejabat. Tinggal korupsi, dihukum ringan, penjaranya kayak hotel. Keluar penjara masih bisa hidup mewah.”
“Jangan berisik, kebanyakan halu lo! Kayak otak lo encer aja mimpi jadi pejabat. Hadapi realita.” Joni mendengus, menatap ke arah gerbang lagi. “Cepat bangun. Kita nggak boleh lengah.”
Hening kembali menyelimuti. Suara klakson, langkah mahasiswa, dan deru motor bersahut-sahutan, tapi dua pria itu tetap diam. Hanya bayangan dua orang dewasa yang terjebak dalam nasib, mencari seseorang yang tak kunjung mereka temukan.
***
Ruang kerja itu sunyi, hanya terdengar suara ketikan cepat dari jari-jari Yoga di atas laptopnya. Tumpukan berkas tergeletak di sisi meja, beberapa masih terbuka dengan sticky note menempel.
Tanpa suara ketukan, pintu terbuka begitu saja. Ari, kepala HRD sekaligus sahabat Yoga, melangkah masuk dengan gaya santainya. Yoga sempat melirik sekilas, lalu kembali fokus pada layar.
“Ada apa?” tanyanya datar, matanya tak lepas dari dokumen digital yang ia koreksi.
“Tenang dulu, bro. Gue mau bahas soal jadwal sama agenda SDM,” jawab Ari sambil menjatuhkan diri ke kursi di depan meja.
Yoga mengangkat satu tangannya, memberi isyarat tunggu sebentar. Jarinya masih menari cepat. “Sebentar… tinggal dikit lagi.”
Beberapa menit kemudian, ia menutup laptopnya dengan napas panjang. “Oke, sekarang ngomong. Ada apa?”
Ari menyodorkan beberapa catatan. “Minggu depan ada interview kandidat manajer regional, terus training staff baru masih bentrok sama evaluasi bulanan. Aku rasa jadwalnya harus diatur ulang. Kalau nggak, CEO kita bakal keteteran.”
Yoga mengangguk pelan, menatap catatan itu serius. “Kalau gitu, kita bikin prioritas. Kandidat manajer regional nggak bisa ditunda, itu posisi krusial. Training bisa dialihin ke pekan berikutnya.”
“Setuju,” timpal Ari. “Soal evaluasi bulanan, menurutmu gimana?”
“Biar aku yang bicarakan sama Zayn,” jawab Yoga akhirnya, suaranya tegas. “Jangan ada yang sampai ke dia dalam kondisi berantakan. Kita rapikan dulu.”
Ari mengangguk, lalu menyandarkan tubuhnya di kursi. Senyum nakal tiba-tiba tersungging di wajahnya. “Oke, beres. Nah, sekarang ganti topik. Malam ini kita ke klub, yuk. Udah lama nggak nongkrong. Cari hiburan.”
Yoga mendesah, memutar kursinya hingga bersandar penuh. “Kau ini udah punya istri, Ri. Masih aja ngajakin nongkrong ke tempat kayak gitu.”
Ari berdecak, menepuk kecil meja di depannya. “Cuma hiburan, bro. Lagian lo nggak bosan apa tiap hari lihat laptop sama berkas?”
Yoga menatap langit-langit sejenak, lalu menutup mata sepersekian detik. “Ini semua demi masa depan,” gumamnya tenang.
Senyum Ari makin melebar, kini penuh godaan. “Masa depan, ya? Masa depan sama… sugar baby lo itu?”
Kalimat itu membuat alis Yoga terangkat sedikit. Hanya sedikit. Namun cukup menunjukkan kalau ucapan sahabatnya barusan mengenai titik rawan yang ia sembunyikan.
Ia menatap Ari dengan mata menyipit, nada suaranya merendah namun penuh tekanan.
“Apa maksudmu?”
Ari mengibaskan tangan santai, seolah hal itu bukan sesuatu yang besar. “Halah… jangan ngeles. Aku lihat kamu tempo hari di mall sama gadis muda. Gebetanmu, ya? Ternyata selera kamu masih unyu-unyu. Nggak apa-apa sih, biar awet muda. Secara kau sudah kepala tiga tapi belum juga ada gandengan. Anakku aja udah dua.” Ari menyeringai bangga.
Yoga mendengus kecil. “Gandengan… truk kali. Soal anak, kebutuhan anak itu nggak sedikit, Ri. Tapi kau masih aja doyan nongkrong di klub malam.”
“Sesekali aja, bro. Cuma refreshing,” bela Ari sambil mengangkat bahu.
Yoga menghela napas panjang, lalu menyandarkan tubuh ke kursi, suaranya terdengar datar tapi tegas. “Kalau refreshing, jangan di klub malam. Mending liburan sama anak-bini. Lebih faedah, lebih sehat, dan jelas bikin mereka senang.”
Ari berdecak, setengah kesal. “Ngomongmu kayak udah berkeluarga aja.”
Mata Yoga melunak, tapi ada gurat lelah yang terpancar. Ia menunduk sejenak sebelum berkata lirih, “Sejak muda aku jadi tulang punggung keluarga. Biayain pengobatan ayahku, nyekolahin adik-adikku. Aku tahu persis apa yang bikin mereka bahagia. Nggak harus mewah… sederhana aja. Kebersamaan. Makan bareng, mancing, atau sekadar main ke pantai. Itu udah bikin mereka lebih erat dan lebih bahagia daripada foya-foya.”
Ari terdiam sejenak, wajahnya kehilangan gurat nakalnya. Ia menghela napas, menyerah. “Ya… ya… akan kupikirkan idemu.”
Namun beberapa detik kemudian, senyumnya kembali muncul, penuh rasa ingin tahu. Ia mencondongkan tubuh, menatap Yoga tajam.
“Tapi… btw, gimana sama gadis yang aku bilang tadi?”
“Kepo, lo!” Yoga menghela napas panjang, menutup sebentar matanya. Laptop di hadapannya kembali ia buka, jemarinya siap menekan keyboard. Namun tatapan Ari tak kunjung lepas darinya, tajam, penuh rasa usil.
“Bukannya kamu yang paling kepo di antara kita? Bedanya sekarang, kau kepo dengan gaya elegan. Pake jabatan sebagai tangan kanan Zayn,” Ari menyeringai, mencondongkan tubuh. “Tapi serius, cewek yang sama kamu kemarin itu… unyu-unyu banget. Siapa namanya? Awas, jangan sampai keburu diembat cowok lain cuma gara-gara kau sibuk sama berkas dan laptop. Patah hati itu obatnya susah, Bro.”
Nada suaranya lirih, penuh tekanan. Seolah menantang.
Yoga terdiam. Jemarinya membeku di atas keyboard, seolah kehilangan arah. Hanya sepersekian detik, tapi cukup untuk membuat Ari tergelak puas.
“Lah, tuh 'kan! Wajahmu nggak bisa bohong. Pasti ada sesuatu. Kau suka, 'kan, sama gadis itu?” Ari makin menekan, dagunya ditopang tangan, sorot matanya nakal. “Ayolah, siapa namanya? Masih sekolah atau kuliah?"
Ari terdiam sejenak lalu wajahnya berubah serius. "Tapi kau harus waspada, Bro. Jangan sampai dia deketin kamu cuma karena kamu tajir. Cewek zaman sekarang banyak yang matre. Awas diporotin cuma karena wajahnya unyu—”
“Diem lo, Ri!” suara Yoga meninggi, lebih keras dari biasanya.
Sekilas, bibirnya nyaris menyebut sesuatu. “Kev—”
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Yoga apa tidak kangen sama Kevia.
Kevin terus mendekati Kevia, Yoga sudah tidak menegur Kevia lagi
apa yg jauh dr orang tua trs kena banjir bandang, apa satu orang ??
duuuh gak bisa flashback nih otak gue wkwkwkwk
nah Yoga jadi resah setelah Ari ngomong gitu...ayo datangin lagi Kevia dengan sosok Dirimu Yoga jsngan jadi Pria misterius