NovelToon NovelToon
Lucid Dream

Lucid Dream

Status: sedang berlangsung
Genre:Berondong / Nikah Kontrak / Beda Usia / Fantasi Wanita / Enemy to Lovers
Popularitas:329
Nilai: 5
Nama Author: Sunny Rush

Sebuah kumpulan cerpen yang lahir dari batas antara mimpi dan kenyataan. Dari kisah romantis, misteri yang menggantung, hingga fantasi yang melayang, setiap cerita adalah langkah di dunia di mana imajinasi menjadi nyata dan kata-kata menari di antara tidur dan sadar.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sunny Rush, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kutukan Milik Tuan Sean

“Apa kamu bekerja di sini juga?” tanya Zia, matanya menelusuri gerak-gerik Dara yang sudah sibuk di kasir supermarket dekat sebuah kantor besar.

“Ya, pekerjaan tetapku di sini, sedangkan pekerjaan sampingku, tahu sendirilah!” Dara masuk sambil tersenyum nakal, matanya berbinar melihat Zia.

Sebenarnya Zia disuruh bekerja di perusahaan yang dekat supermarket ini, tapi lebih baik ia bekerja di supermarket daripada harus berada di perusahaan yang sama dengan pacarnya itu. Wajahnya menegang membayangkan David.

“Kebetulan sekali ,kamu langsung kerja saja di sini karena kemarin ada yang resign karena sedang hamil besar,” kata Dara sambil menelpon atasannya, menepuk bahu Zia ringan-lirih sebagai dorongan semangat.

“Shif kapan?” tanya Zia sambil menatap Dara yang sudah berada di kasir.

“Shif kedua!” sahut Dara dengan senyum lebar, diangguki oleh Zia dengan sedikit tawa canggung.

Zia mulai berkeliling sambil belanja sedikit, mencoba tetap fokus. Sebagai mantan pekerja supermarket, gerakannya cekatan, namun hatinya masih terasa tegang.

Saat handphonenya berdering, Zia menatap layar dan melihat panggilan Mama. Ia menitipkan barang belanjaannya ke Dara, lalu cepat keluar untuk video call.

“Ya, Mam!” seru Zia dengan senyum dipaksakan.

“Kapan kamu akan kembali?” tanya Mama dengan nada tegas.

“Aku akan di sini saja, Ma!” Zia menjawab sambil menghela napas panjang.

“Zia, jangan keras kepala! Kamu sudah seharusnya menikah tapi masih kelayapan tidak jelas.”

“Ini sudah jelas, Ma. Aku kesini untuk mengejar calon suamiku tapi..." Zia mencoba menjelaskan, tangannya mengepal sedikit.

“Tapi dia malah selingkuh, biar Mama yang carikan calon suami untukmu!”

“Tidak, Mama saja carikan calon suami buat Mama atau enggak carikan calon untuk ka Zio!” Zia menjawab cepat, matanya menatap lurus ke kamera dengan tekad.

“Menjawab saja kamu bisanya,” sahut Mama dengan nada kesal.

“Hmm,” Zia menunduk, menahan perasaan campur aduknya.

“Zio akan ke sana untuk pertemuan bisnis nanti.”

“Kapan?” Zia menelan ludah.

“2 mingguan lagi.”

“Baiklah, aku akan menemuinya!” Zia mengangguk, menatap gedung di depannya dengan perasaan campur aduk.

“Ya, pulanglah! Mama akan memperkenalkanmu kepada seseorang.”

“Hmmm,” Zia menutup teleponnya, matanya menatap gedung di depan. Sebuah mobil melaju menuju perusahaan itu jantungnya berdegup kencang.

“Ohhh shit!!!” Zia spontan berlari saat melihat orang keluar dari mobil. “What the fuck?” bisiknya, kaget dan panik.

Sial! Apakah ini sebuah takdir yang dimaksud Sean? Bayangan masa SMA mereka berputar cepat di ingatannya, membuat dadanya sesak.

“Sean, jangan membuatku kaget!” ucap Zia, tangan kanan menekan dadanya, napasnya terengah.

“Berlebihan!” sahut Sean sambil menatap Zia dengan senyum tipis tapi menantang.

“Jangan menatapku karena aku tidak bisa bertanggung jawab kalau kamu menyukaiku,” ucap Sean. Zia menekuk bibirnya, kesal dan bingung.

“Terlalu percaya diri membuatmu gila, Sean!” umpat Zia sambil menepuk bahu Sean ringan-lirih.

“Percaya diri itu perlu daripada selalu mengeluh karena berbeda dengan yang lain,” sindir Sean, matanya menembus Zia.

“Apa yang kamu lakukan?” tanya Zia, pikirannya kembali ke saat makan tadi, alisnya berkerut.

“Lakukan apa?” Sean balik menatap sambil menahan senyum, tanpa melihat ke arah Zia.

“Kenapa kamu menukarkan makananku?” Zia menatap tajam, adu pandang dengan Sean yang kini menatap lurus ke matanya.

“Tanpa ku beritahu kamu tahu alasannya kenapa,” jawab Sean sambil melangkah pergi, meninggalkan Zia yang masih memutar otaknya.

“Apakah sesakit itu?” tanya Sean saat menatap mata Zia yang memancarkan emosi campur aduk.

“Apa maksudmu?” Zia menoleh cepat, kesal.

“Jangan pura-pura tidak tahu dengan pertanyaanku itu!” Sean menatapnya intens, nada suaranya menuntut.

“Kamu tidak akan mengerti, Sean, karena kamu belum pernah merasakannya,” sahut Zia, menunduk, menahan napas panjang.

“Aku tidak ingin merasakannya karena—”

“Karena kamu pencinta sesama, kan?!” tebak Zia spontan, menatap tajam Sean.

“Darimana kamu mendapat argumen itu?!” Sean mengepalkan tangan dan mencekal lengan Zia kasar, wajahnya serius.

“Semua orang bahkan membicarakanmu karena kamu tidak pernah merespon cewek sama sekali dan hanya dekat dengan Zio saja,” ujar Zia, matanya menatap tajam, menghadapi Sean.

“Kamu akan mengerti setelah ini!” Ucap Sean tegas, lalu tanpa aba-aba, menciumnya.

Deg deg deg… Dug dug dug…

“Sean, apa yang kamu lakukan?!” Zia terkejut, tubuhnya kaku.

“Milikku tidak bisa disentuh orang lain kecuali aku sendiri yang menyentuhnya!” Sean berbisik dengan nada penuh kepemilikan.

“Berhentilah bercanda, Sean!” teriak Zia, mencoba menepisnya tapi gagal.

“Inilah aku saat aku bersamamu!” Sean membisikkan ke telinga Zia, napasnya hangat menyentuh kulitnya.

“Gila kamu, Sean!” Zia mencoba menyingkir, wajahnya memerah, tapi Sean menahan lembut namun kuat.

“Jangan pernah melirik lelaki lain saat kamu tidak berada bersamaku!” larang Sean, matanya menatap tajam.

“Apa hakmu?” tanya Zia, matanya membulat, dada terasa sesak.

“Jangan tanyakan hak jika kita sudah pernah ciuman!” Sean menegaskan, membuat Zia terkejut setengah mati.

“Kita tidak pernah ciuman, Sean!” Zia menepis tangan Sean, napasnya tercekat.

“Apa benar kamu akan pergi?” tanya Sean, matanya menatap Zia penuh tekad.

Zia menoleh, wajahnya tegang, memeriksa ekspresi Sean.

“Kamu kenapa, Sean? Apa kamu masih tidak waras saat liburan itu? Apa penunggu di sana masih mengikutimu dan membuatmu menjadi seperti ini?” Zia menelusuri wajah Sean dengan cermat.

Sean tiba-tiba mengecup leher Zia, meninggalkan tanda merah.

“Sean, apa...” Zia ingin menjerit, tapi Sean menaruh jari telunjuknya di bibirnya.

“Ingat, Zia, ini adalah sebuah kutukan dariku. Kemanapun kamu pergi, kamu akan kembali kepadaku!” ujar Sean dengan tatapan maut.

“Kutukan apa maksudmu?!” Zia sewot, mendorong tangan Sean dengan keras.

“Kutukan sebuah kepemilikan dariku, jadi jangan harap kamu bisa dimiliki dan memiliki orang lain. Jika kamu melakukan pelanggaran, kamu akan terkena sial!” jelas Sean, membuat mulut Zia menganga dan tubuhnya gemetar.

“Apa kamu menyukaiku?” tanya Zia, bingung.

“Tidak, tapi mulai sekarang kamu milikku!” tegas Sean.

“Aku bukan milikku jika kamu tidak menyukaiku!” Zia akan pergi, tapi ditahan Sean dengan lembut namun tegas.

“Kamu tetap milikku, ingat, jika melanggarnya, kamu akan terkena sial seumur hidupmu!” Sean melepaskan tangannya lalu berjalan pergi, meninggalkan Zia terpaku.

“Semoga saja kita tidak bertemu lagi,” gumam Zia.

“Kita akan bertemu lagi karena takdir,” Sean membalas dari jauh.

“Aku berharap takdir berpihak kepadaku dan tidak bertemu lagi denganmu,” Zia menunduk, hati sesak.

“Tapi kutukan itu akan membuatmu bertemu lagi denganku. Apa kamu percaya?”

“Tidak, karena kamu bukan takdirku!” Zia menjawab cepat, marah tapi sedih.

“Percayalah, Zia, bahwa kamu akan bertemu lagi denganku dan menikah denganku,” Sean menegaskan, matanya menembus tatapan Zia.

“Isshhhh berisik!” Zia memasang headset, menutupi wajahnya.

“Aku menunggumu kembali!” bisik Sean, membuat Zia menoleh, tatapan mereka bertemu sekejap.

“Tetaplah menjadi dirimu yang seperti ini, Zia. Aku akan menunggu mu dan kamu harus kembali ke takdirmu,” tambah Sean.

“Pembicaraanmu semakin kemana-mana, Sean,” Zia menghela napas, memasang headset lebih rapat, mengacuhkan Sean.

“Kamu akan mengerti saat kita akan bertemu dan dewasa nanti, Zia! Aku mencintaimu!” Sean berbisik, tanpa Zia sadari karena ia hanya mendengar musik di headset.

Dia adalah Sean Denandra, lelaki bajingan yang katanya mencintainya tapi ternyata manis di mulut saja. Kenapa harus bertemu lagi setelah sekian lama?

Tunggu dulu… Kenapa dirinya harus kabur? Sean mungkin tidak mengenali wajahnya sekarang dan mungkin sudah melupakannya karena sudah bersama Tuan Putri Aluna.

“Ada apa, Zia?” tanya Dara, menghampiri Zia yang masih menatap Sean masuk ke kantor.

“Tidak ada,” sahut Zia dengan wajah biasa, menahan perasaan bergejolak.

“Emmm, apa kamu mengenalnya?” tanya Dara, matanya menatap Sean yang baru masuk.

“Kenal siapa?” Zia menyipitkan mata.

“Sean Denandra, lelaki tampan yang barusan masuk itu,” ujar Dara, sedikit berbisik sambil tersenyum.

“Tidak, tapi dengan itu ya… pakai gandengan lagi itu bajingan!” Zia kesal, menatap pacarnya David yang masuk bersama selingkuhannya.

“Apa kamu akan membuatnya tertunduk terhadapmu lagi?” tanya Dara memastikan, menepuk punggung Zia.

“Slow respon sajalah!” jawab Zia cengir tipis, menerima sentilan Dara.

“Ayo masuk!” ajak Dara. Zia kembali ke supermarket untuk melanjutkan belanjaannya sebelum shif kedua dimulai.

“Sayang, kamu kerja di sini?” tanya David, saat masuk sendiri.

“Ada lagi, Pak?” balas Zia dingin, tidak menghiraukan pertanyaannya.

“Zia, aku tidak selingkuh tapi—”

“Totalnya 70 ribu, Pak! Mau bayar cash atau debit?” Zia bertanya sambil tetap fokus pada transaksi.

“Cash saja,” jawab David, menghela napas.

David menyerahkan uang pas dan mengambil tas belanjaannya.

“Terima kasih, Pak! Mohon untuk bergeser karena kasihan yang sedang mengantri,” kata Zia sopan. David pergi, meninggalkan Zia yang menghela napas lega.

Bukannya tidak bisa melupakan, tapi memang dirinya sangat menyukai David. Satu tahun lebih mereka berpacaran dan berniat bertunangan tahun ini, tapi ternyata sial menimpa dirinya.

“Emmm, enak!” Zia menyeruput mie cup di luar, mencoba menenangkan hati yang campur aduk.

Dia melihat mobil Sean masih terparkir. Dorongan amarah muncul, ingin membalas Sean dengan pukulan. Tunggu! Aluna, dia yang harus tanggung jawab atas semuanya!

Zia berlari menuju mobil Sean tapi berhenti beberapa langkah sebelum sampai. Ia menatap dirinya di kaca mobil, menyesuaikan wajah yang kini berbeda. Dengan cemas, ia memeriksa giginya, lubang hidungnya, takut ada kotoran atau mie yang menempel.

Tiba-tiba kaca terbuka, menampilkan Sean. Wajahnya terpampang di sana, tatapan sinis tapi penuh perhatian.

“Apakah sopan berkaca sembarangan dengan menampilkan wajah yang sangat menjijikan itu?!” Sean bersuara, nada sinis tapi ringan.

Zia menelan ludah, wajahnya memerah.

“Maaf, Tuan!” gugup Zia.

“Bertingkahlah seperti seorang perempuan, bukan seperti preman!” kata Sean, matanya menembus Zia.

“Apa maksudmu, Tuan?” tanya Zia, kesal tapi sedikit grogi.

“Wanita barbar!” sindir Sean, melihat Zia berkacak pinggang.

“Cihhhhh, lelaki kurang sopan!” balas Zia, tatapannya menantang.

Begitupun Sean, yang menatap mata Zia dengan rasa tidak asing, campur penasaran dan emosi.

“Zia, ayo pulang!” teriak Dara.

Zia menoleh, melihat Dara, lalu berlari ke arah temannya, meninggalkan Sean yang menatapnya dengan tekad.

“Zia, apakah itu kamu? Tapi aku harus mencari tahu,” tekad Sean.

Apapun yang dilakukan Sean, biarkan keberuntungan berpihak pada Zia…

1
Idatul_munar
Tunggu kelanjutan thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!