NovelToon NovelToon
Gu Xiulan, Harapan Dan Pembalasan

Gu Xiulan, Harapan Dan Pembalasan

Status: sedang berlangsung
Genre:Mengubah Takdir
Popularitas:6.3k
Nilai: 5
Nama Author: samsuryati

Dulu aku menangis dalam diam—sekarang, mereka yang akan menangis di hadapanku.”

“Mereka menjualku demi bertahan hidup, kini aku kembali untuk membeli harga diri mereka.”

“Gu Xiulan yang lama telah mati. Yang kembali… tidak akan diam lagi.”
Dari lumpur desa hingga langit kekuasaan—aku akan memijak siapa pun yang dulu menginjakku.”

“Satu kehidupan kuhabiskan sebagai alat. Di kehidupan kedua, aku akan jadi pisau.”

“Mereka pikir aku hanya gadis desa. Tapi aku membawa masa depan dalam genggamanku.”

“Mereka membuangku seolah aku sampah. Tapi kini aku datang… dan aku membawa emas.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon samsuryati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

25

Namun tepat ketika Ulan hendak menutup layar transparan, matanya terbelalak.

*Tulang domba!”

Ia buru-buru kembali menelusuri daftar dagangan.

Bagaimana bisa ia lupa sesuatu yang begitu sederhana tapi begitu menghangatkan? Tulang kaki domba,meski tak berisi banyak daging,adalah bahan dasar sup yang bisa direbus lama dan menghasilkan kaldu kaya rasa. Apalagi jika dipadukan dengan kentang ,cabai kering dan bumbu hotpot siap saji ,itu akan menjadi makanan mewah di musim kelaparan.

Tulang kaki domba 40 potong besar @ 18 sen \= 172 sen

Kentang segar 10 buah besar @ 3 sen \= 30 sen

Cabai merah kering 2 genggam @ 4 sen \= 8 sen

Bumbu siap saji hotpot 2O bungkus @ 12 sen \= 240 sen

Total tambahan: rp100 dan 340 sen

Dengan pembelian itu, saldonya benar-benar habis tinggal beberapa sen yang tak cukup untuk membeli sebiji telur pun.

Oh tidak dia lupa dengan telur.

Tapi dia masih tersenyum puas.

"Kalau nanti suhu turun dan semua orang makan bubur hambar... aku akan menyesap sup panas ini, pelan-pelan," pikirnya sambil membayangkan aroma kuah gurih dan rasa pedas yang menggigit.

Dengan langkah ringan, ia membenamkan diri kembali ke bawah selimut, memeluk tubuh sendiri. Dunia mungkin kelaparan, tapi dia telah menimbun banyak hal.

Di bawah cahaya redup dari lampu minyak di sudut kamar, Ulan masih menatap kosong ke langit-langit. Selimut menutupi tubuhnya, namun pikirannya terus berputar seperti roda gilingan tua yang tidak mau berhenti.

Tiba-tiba, matanya terbelalak. Ingatannya menangkap kembali satu potongan penting.

“Nenek… dia juga mengambil uang perjamuan… seratus rupiah dan lima puluh sen.”

Dan besok, uang mahar dari Jiang Weiran, sebesar seribu rupiah juga akan jatuh ke tangan keluarga Gu ,tepatnya ke dalam genggaman nenek yang rakus itu.

Ulan mengerjapkan matanya. Mulutnya menyeringai tipis, hampir tak kentara.

“Uang itu... milikku. Aku yang membayar semuanya dengan harga yang tidak bisa dilihat orang lain. Maka aku pula yang akan mengambilnya kembali."

Dia menggenggam ujung selimutnya dengan erat. Di dalam hatinya, perlahan-lahan sebuah rencana mulai terbentuk, matang dan rapi.

Besok… dia akan bertindak.

Jika dunia ini tidak pernah adil padanya, maka dia akan menciptakan keadilan sendiri, bahkan jika itu berarti mencuri dari orang-orang yang mengaku sebagai keluarganya.

Dan dengan raut tenang namun penuh tekad, Ulan menutup matanya.

Besok akan menjadi hari yang panjang.

Pagi itu, Ulan bangkit jauh sebelum ayam berkokok. Suasana rumah kepala desa masih sunyi, hanya suara desiran angin pagi yang menyentuh dedaunan bambu di luar jendela. Dengan langkah ringan, ia menuju dapur dan mulai menyiapkan sarapan.

Tangannya terampil meracik papeda dari tepung jagung sisa semalam. Ia tambahkan sedikit garam dan merebus beberapa potong sayuran dari dapur ,beberapa helai daun sawi dan potongan kecil labu. Aroma hangat mulai mengisi udara.

Tak lama kemudian, istri kepala desa terbangun dan tertegun melihat Ulan yang sedang mengaduk papeda di atas tungku.

“Astaga, Ulan... kau bangun lebih pagi dari ayam,” ucapnya sambil tersenyum. “Keluarga Gu benar-benar buta. Mereka kehilangan seorang gadis sepertimu, mereka pantas menyesalinya.”

Ulan hanya tersenyum kecil. Tidak menjawab, tidak menyangkal.

Setelah semua siap, mereka duduk bersama di meja makan kecil. Kepala desa akhirnya turun bergabung, masih mengenakan baju dalamnya dan tampak baru selesai cuci muka.

Saat mereka makan, Ulan memberanikan diri bertanya, “Kepala desa... apakah aku juga akan ikut ke ladang hari ini? Karena... aku sudah bukan lagi bagian dari keluarga Gu. Aku rasa aku harus mulai mengumpulkan poin sendiri.”

Kepala desa menoleh padanya, mengangguk pelan sambil menyesap sarapan hangatnya. “Itu sebenarnya tidak perlu. Kapten Weiran menitip pesan... dia akan memberikanmu tunjangan pribadi sebagai istrimu,meski hanya sementara.”

Ulan mengangguk mengerti, meskipun di dalam hati, pikirannya tetap waspada.

“Dia tidak ada sejak kemarin sore,” lanjut kepala desa, “tapi akan kembali sebelum makan siang hari ini. Kau tahu, biasanya warga akan berkumpul sendiri kalau ada pernikahan. Tapi karena keluargamu tidak mengadakan perjamuan, tak ada yang akan datang kecuali untuk melihat-lihat.”

Ulan mendengarkan dengan tenang, tidak menunjukkan reaksi apapun.

“Jadi sebelum makan siang, kau harus kembali ke rumah keluarga Gu,” lanjut kepala desa. “Weiran akan datang ke sana membawa uang mahar. Setelah itu, kau akan dibawa pergi ke rumah adik saya,itu akan menjadi rumah barumu. Di sana pernikahan akan dianggap selesai.”

Ucapan itu ditutup dengan tegukan terakhir dari mangkuk papeda di tangannya.

Ulan mengangguk sopan. “Baik, aku mengerti.”

Dia juga tidak keberatan dengan itu.

Kepala desa pasrah dengan Ulan yang keras kepala.

"Oke setelah selesai di sini maka pulanglah"

"Baik "jawab ulan .

Matahari sudah tinggi ketika Ulan kembali ke rumah keluarga Gu. Jam menunjukkan pukul sepuluh pagi,saat di mana seluruh warga desa baru saja pulang dari ladang dengan wajah penuh peluh dan kulit yang mulai menggelap karena sengatan musim panas. Panen masih jauh dari kata berhasil, tapi ladang tak pernah bisa dibiarkan kosong.

Ulan datang dengan langkah tenang dan pakaian bersih, senyumnya kecil, nyaris tak tampak. Namun sambutan dari keluarganya jauh dari hangat. Nenek mendengus, lalu mengumpat karena Ulan pulang terlalu cepat, membuat suasana rumah yang semula gaduh dengan suara panci dan senda gurau berubah menjadi tegang.

“Cepat masuk ke kamar! Bersihkan dirimu dan pakai baju yang pantas, jangan mempermalukan keluarga ini!” ibu Ulan berseru dengan nada tajam.

Ulan menunduk, lalu melangkah masuk.

Di dalam kamar kecil yang menjadi miliknya sejak kecil, ia mengganti pakaian dengan yang paling layak,baju lengan panjang dari kain kapas warna merah pudar , yang tidak robek, tidak ada tambalan, dan paling tidak masih terlihat baru dari kejauhan. Ia menyisir rambutnya sendiri, tetapi ibunya masuk dan mengambil alih.

Ibu Ulan menyisir rambut itu perlahan, bibirnya melengkung dalam senyum palsu, seperti menyentuh seekor babi yang akan dijual ke pasar. Tangannya lembut, tapi perkataannya dingin seperti batu yang jatuh ke sumur.

“Meski kau menikah, jangan lupa... keluargamu tetap keluarga kelahiranmu. Kalau nanti punya uang, kirim ke rumah. Adik-adikmu butuh sepatu baru. Bibi Kedua ingin beli panci baru untuk dapur. Jangan pelit.”

Ia tersenyum lebih lebar. “Nanti kalau kau diganggu di rumah suami, adik-adikmu yang akan membelamu, tahu?”

Ulan tidak menjawab. Ia hanya memandang bayangan dirinya di kaca kecil yang tergantung miring di dinding. Dalam hatinya, ia berkata lirih "Yang paling banyak menggangguku justru rumah ini...

Waktu terus berjalan.

Ketika mendekati tengah hari, Ulan diminta berdiri di halaman depan rumah, tepat di bawah pohon jambu besar. Warga desa mulai berdatangan satu per satu.

Ulan berdiri di kamar mengenakan baju sederhana dengan bunga kain warna merah tua di dada,sebagai tanda pengantin perempuan.

Seorang tetua desa berkata singkat, “Pernikahan di desa kita tak perlu bertele-tele. Kalau sudah berdiri dengan bunga merah, dan pengantin pria datang menjemput, itu artinya sah.”

"iya sih tapi tidak sesederhana ini juga.lagipula Ulan maharnya besar"

Semua orang mengangguk. Beberapa tersenyum, beberapa membisikkan sesuatu. Tapi mayoritas hanya datang untuk melihat. Bukan untuk memberi restu, hanya ingin menyaksikan.

“Ulan,” kata seorang bibi tua dari tetangga depan, “jangan lupa asalmu. Rumah paman Lu cuma beberapa langkah dari sini. Kalau makan enak, ingat bawa ke rumah. Kalau ada beras bagus, bagi-bagi. Jangan jadi serigala bermata putih!”

“Benar!” sahut yang lain. “Jangan lupakan siapa yang membesarkanmu! Jangan besar kepala karena menikah dengan keluarga yang lebih berada!”

Ulan hanya diam.

Di balik bunga merah di dadanya, tangannya menggenggam kain bajunya sendiri erat. Tapi wajahnya tetap tersenyum.

hampir semua tetangga yang hadir menyebutkan hal yang hampir mirip. nenek adalah orang yang paling bahagia saat mendengar itu.

Ulan bisa saja menikah dan menjadi putri angkat seseorang. Tapi pada dasarnya seluruh warga desa mengetahui jika dia memiliki hubungan darah dengan keluarga gu.

sebuah hubungan yang tidak bisa dipatahkan.

Hum lihat lah bagaimana dia akan mengambil uang dari ulan.

Oh suaminya juga seorang prajurit yang mungkin akan mengirimkan gajinya setiap bulan kan.

Is tangan nenek menjadi gatal ketika memikirkannya.

Matahari mulai condong ketika sebuah suara berat namun tenang terdengar dari luar rumah keluarga Gu. orang-orang segera keluar dari kamar dan melihat, rombongan dari kepala desa sudah datang.

di antara mereka ada seorang pria tampan dengan pakaian biasa namun dilengkapi dengan bunga merah di dada.

Dia menggunakan sepeda .

"Wah... dia datang menjemput dengan sepeda..?"

"Is benar... sepertinya kehidupan Ulan akan baik-baik saja kan"

Hehehe...

berbagai pembicaraan terjadi di dalam dan juga di luar ruangan.

“Istriku, aku datang menjemputmu.”

Suara Jiang Weiran menggema, tidak terlalu keras, tapi cukup bagi semua orang yang hadir untuk mendengarnya.

Warga desa yang sudah berdiri mengelilingi halaman mulai berbisik pelan, tersenyum,antara kagum, heran, dan penasaran.

Menurut adat desa, ketika seorang pria memanggil calon istrinya dengan sebutan "istri" dan sang gadis menyahut dari dalam rumah, maka mereka sah sebagai pasangan suami istri,setidaknya di mata masyarakat desa ini.

Dari balik tirai pintu, terdengar suara Ulan yang halus namun cukup jelas, “Aku di sini.”

Serentak beberapa tetua mengangguk, dan terdengar suara gumaman setuju. Saat Ulan melangkah keluar, kepala desa tersenyum dan menyambutnya dengan anggukan hormat. Di belakang kepala desa, Paman Lu sudah berdiri, memegang amplop berisi uang kertas lusuh yang telah dihitung rapi.

"Rp500 sebagai ganti darah," ucap Paman Lu seraya menyerahkan uang itu langsung ke tangan ayah Ulan.

"Mulai sekarang, gadis ini adalah putriku. Tak lagi memiliki hubungan darah dengan keluarga Gu. Ini sebagai ikatan simbolis bahwa dia adalah anggota keluarga Lu."

Ayah Ulan hanya menerima uang itu dengan kaku. Tidak ada air mata. Tidak ada ucapan berat hati. Hanya diam, seolah segalanya sudah sangat wajar dan memang harus terjadi.

Tak lama setelah itu, Weiran juga menyerahkan sebuah kantong uang lagi kepada kepala desa, yang kemudian diteruskan ke tangan nenek Ulan—Rp500 lagi.

Mahar.

Nenek Ulan tersenyum lebar, senyuman paling indah yang pernah Ulan lihat darinya seumur hidup. Di tangan keriputnya, kini tergenggam Rp1.000 dari "nilai" pernikahan cucu perempuan yang selama ini dianggap beban keluarga.

Harga seorang cucu yang dulunya ingin mereka jual dengan Rp200.

Belum cukup, Weiran juga menyerahkan beberapa potong kain kain baru bermotif cerah yang bisa dijadikan satu set pakaian untuk masing-masing anggota keluarga Gu.

Anak-anak langsung bersorak.

Kedua adik laki-laki Ulan, yang berusia sembilan dan enam tahun, berebut memilih motif kain yang mereka suka. Mereka tertawa keras, bahkan berdebat kecil karena tidak ingin kakak sepupu mereka, memilih lebih dulu.

"Aku suka warna biru ini seperti warna sungai..

"Ah aku... aku yang melihatnya duluan jadi ini milikku.

"tidak ini milikku bukan lihatlah, ibu.. aku ingin ini jangan dikasih kakak"

Tawa meledak di halaman.

Semua orang tampak bahagia. Tapi Ulan hanya berdiri diam, menatap dengan mata sayu. Di balik semua ini, ia tahu… bukan kebahagiaan yang mereka rayakan, tapi keberuntungan karena akhirnya dia menghasilkan uang.

tidak lama kemudian prosesi utama juga dilakukan. sebuah altar kecil di depan pintu rumah disertai dengan gambar pemimpin.

Di sini ulan dan weiran mengucapkan sumpah pernikahan.

Meskipun hanya pura-pura tapi pernikahan ini harus totalitas. Setidaknya Mereka adalah pasangan yang sah di mata para warga desa.

Si bawah mata saksi, proses ini juga berakhir dengan cepat.

Tidak ada satu pelukan pun. Tidak ada ucapan doa. Tidak ada air mata haru dari keluarga kelahirannya. Hanya hitung-hitungan dan senyum karena uang.

Ulan berdiri di tengah semua itu seperti boneka kayu.

"Istri ku..ayo pulang"

Akhirnya, Weiran mengayuh sepeda yang entah dipinjam dari siapa. Di belakangnya, Ulan duduk tenang dengan dua kaki tidak menyentuh tanah.

Menurut adat desa, seorang pengantin perempuan tidak boleh menjejakkan kaki di tanah sebelum tiba di rumah barunya, agar pernikahannya panjang umur dan tidak “jatuh”.

Orang-orang berdiri di pinggir jalan, melihat mereka melintas. Beberapa melambaikan tangan, beberapa berbisik.

Pergi nya ulan menyiratkan Jika dia sudah tidak lagi menjadi bagian dari keluarga gu.Dia pergi ke rumah suaminya.

Ulan hampir menangis karena ini adalah langkah kebebasan. di kehidupan sebelumnya dia juga menikah tapi tidak ada proses pengiriman seperti ini.

Ada nya mengambil paksa seperti perampok dan langsung dikirim ke kamar pengantin.

Tapi sekarang, meskipun menikah dengan pura-pura tapi sudah lebih baik.

Ulan sangat tersentuh dan hampir menitiskan air mata nya ketika sedang duduk di belakang weiran.

Ulan menggenggam erat ujung pakaian pria di depannya ini.

Seandainya dia menikah beneran pasti akan menjadi lebih baik.

Tapi orang tidak bisa serakah.

Tidak lama kemudian,Sepeda yang dikayuh Weiran berhenti tepat di depan rumah Paman Lu rumah tua yang tampak lebih bersih dari biasanya.

Sejak pagi, rumah itu sudah dibersihkan oleh anak dan menantu kepala desa. Tak ada pernak-pernik pesta seperti di kota, tapi beberapa potongan kain merah dipasang seadanya di atas pintu dan jendela sebagai simbol kebahagiaan. Setidaknya, masih ada warna merah yang menandai bahwa hari ini adalah hari pernikahan.

Yang menyambut Ulan , adalah keluarga kepala desa yang datang mewakili. Istri kepala desa, anak laki-lakinya, menantu perempuannya, serta cucu-cucu mereka yang masih kecil berdiri rapi di ambang pintu sambil tersenyum. Beberapa tetangga dekat juga ikut datang, menonton dari kejauhan dengan rasa penasaran.

Begitu Ulan turun dari sepeda, istri kepala desa menyambutnya dengan selembar sapu tangan bersih. Ia tersenyum dan berkata pelan, “Selamat datang di rumah barumu, anakku.”

Ulan hanya menunduk dan membalas dengan lirih, “Terima kasih.”

Weiran hanya mengangguk tenang, lalu menyerahkan Ulan secara simbolis kepada istri kepala desa. Semua dilakukan dengan cepat, seolah ini hanya bagian dari rutinitas, bukan hari besar.

Ulan kemudian diarahkan masuk ke kamar di sisi timur rumah. Kamar itu disebut "kamar pernikahan"meski tak ada ranjang mewah, tak ada tirai baru, hanya tikar bersih dan selimut yang masih terlipat rapi. Di atas bantal, diletakkan selembar kain merah sebagai tanda bahwa kamar itu kini telah ditempati oleh pengantin baru.

Begitu Ulan masuk dan duduk di atas tikar itu, secara adat, pernikahan dianggap telah selesai. Ia kini resmi menjadi istri Jiang Weiran dan putri angkat Paman Lu.

Seharusnya, setelah ini ada jamuan sederhana semangkuk mi panjang umur, atau setidaknya sepiring kacang manis dan teh gula. Tapi semua itu tidak ada.

Permintaan dari nenek Gu untuk menghapus perjamuan demi menghemat biaya disetujui oleh kepala desa. Maka semua yang datang hanya bisa mengucapkan beberapa kata selamat, melambaikan tangan, lalu pulang ke rumah masing-masing dengan berbagai komentar.

"Pengantinnya cantik, tapi tidak ada jamuan," bisik seorang wanita tua.

"Setidaknya beri teh manis atau kue beras, ini benar-benar kikir!" kata yang lain.

Beberapa masih memuji penampilan Ulan, tapi lebih banyak yang mengeluh karena tidak bisa menikmati makan gratis seperti biasanya.

Tapi bagi Ulan, semua gumaman itu hanyalah gema. Ia duduk diam di kamar barunya, menggenggam kain merah di pangkuannya. Tak ada tangis, tak ada tawa. Hanya satu bisikan yang terulang di dalam hatinya.

“Aku sudah sampai di sini.menuju hari baru "

Aku akan bersinar terang, sampai keluarga gu menyesal.

Aku gu xuilan, bersumpah.

1
Etty Rohaeti
lanjut
Fauziah Daud
yup betul ulan.. trusemangattt
Fauziah Daud
trusemangattt... lanjut
Fauziah Daud
trusemangattt
Cha Sumuk
sdh bab 3 tp mc cewek nya msh bodoh ms ga phm2 bahwa dirinya lg ngulang waktu, cerita ga jls berbelit Belit kesan nya,
samsuryati: say mc nya, sejak awal hanyalah seorang gadis tanpa pengalaman bahkan tanpa ilmu pengetahuan. tidak seperti kita yang tahu membaca dia hanya tahu desa bahkan belum pernah menikmati kota. meninggal pada tahun 70 sekian, hidupnya memang seperti katak di bawah tempurung.

jadi kelahiran kembali memberikan dia pilihan namun pilihan itu belum serta merta membuat dirinya berubah dari gadis muda yang bodoh menjadi gadis muda yang pintar.
ingatlah di dalam dua kehidupan dia bahkan belum pernah belajar.
Ini bukan tentang transmigrasi gadis pintar era 21 ke zaman 60-an di mana era kelaparan terjadi.
bukan say, cerita ini di buat membuat ulan mampu merubah hidupnya selangkah demi selangkah tidak langsung instan.

salah satunya adalah dia yang tidak pernah belajar sebenarnya bisa membaca tulisan-tulisan yang dipaparkan oleh layar virtual.
ya say, anggap saja itu adalah modal pertama dia untuk berubah.
jadi aku masih perlu kamu untuk mendukung agar perubahannya bisa membuatmu puas
total 1 replies
Fauziah Daud
bagus.. trusemangattt
Fauziah Daud
trusemangattt
Andira Rahmawati
ulan nya terlalu lambat telminya kelamaan..😔
Fauziah Daud
bijak ulang.. trusemangattt
Fauziah Daud
trusemangattt.. lanjut
Dewiendahsetiowati
hadir thor
Fauziah Daud
trusemangattt
Fauziah Daud
lanjuttt
Fauziah Daud
luarbiasa
Fauziah Daud
trusemangattt
Fauziah Daud
hadir thor
Cilel Cilel
luar biasa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!