Hidup Singgih yang penuh kegelapan di masa lalu tanpa sengaja bertemu dengan Daisy yang memintanya untuk menjadi bodyguard-nya.
Daisy
Penulis: Inisabine
Copyright Oktober 2018
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Inisabine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Sinar matahari pagi menyusup masuk ke kamar melalui fentilasi udara.
Ajeng membawa segelas air putih dan meletakkannya di atas nakas samping ranjang kayu. Langkahnya bergerak menuju jendela. Sinar matahari berebutan masuk sesaat ia menyibak gorden. Jendela dibuka lebar. Tersenyum membiarkan wajahnya dibelai embusan angin pagi.
Kepalanya menoleh ke belakang. Lengkungan senyumnya makin melebar kala melihat lelaki yang sedang tidur di atas ranjang kayu itu.
Ajeng mendekati ranjang dan duduk di tepian. Senyumnya tak memudar mengamati wajah terlelap Singgih. Tangannya bergerak untuk menyentuh kening Singgih, tapi tangannya tertahan di udara. Ajeng mengesiap saat Singgih tahu-tahu membuka mata. Namun, ia tetap memaksakan telapak tangannya menyentuh kening Singgih.
"Demammu sudah turun." Ajeng merasakan suhu tubuh Singgih sudah dingin.
Ajeng menahan tubuh Singgih yang hendak beranjak bangun.
"Tunggu sampai demammu benar-benar hilang."
"Katamu demamku sudah turun?" Singgih tetap bangun.
"Demammu bisa saja muncul lagi." Ajeng meraih gelas di atas nakas, lalu menyodorkan ke Singgih. "Istirahat satu jam lagi. Baru boleh keluar."
Ajeng beranjak keluar dari kamar untuk membiarkan pasiennya melanjutkan istirahat kembali.
Sekeluarnya Ajeng dari kamar, Singgih meminum air putih hangat yang diberikan Ajeng. Tenggorokannya sekarang terasa lebih enakan dibanding dua hari lalu.
Singgih meletakkan gelas di atas nakas, lalu beranjak menuju jendela. Angin mengembus dingin di wajahnya. Pagi menyegarkan, harusnya.
Singgih menempelkan telapak tangannya di kening. Demamnya sudah turun. Dan, hari ini ia harus kembali ke Jakarta.
Telunjuknya menggaruk kening yang sebenarnya tak gatal. Ia memikirkan Daisy yang nanti akan memarahinya karena kabur dari pekerjaan. Bukan keinginannya untuk kabur. Terpaksa ia lakukan karena ia harus melindungi Ajeng dan menyembunyikan temannya di tempat yang aman.
Malam itu, setelah mendapatkan telepon, Singgih langsung berlari menuju ke tempat Ajeng berada. Temannya itu sedang meringkuk ketakutan di balik kemudi setir mobil.
"Ajeng!" Singgih mengetuki kaca jendela mobil.
Ajeng yang ketakutan pun mendongak kaget bercampur lega. Ia membuka pintu mobil dan menerjang ke dalam dada Singgih. Memeluk erat lelaki itu.
Singgih yang dipeluk tiba-tiba membuatnya mengesiap kaget. Dan, tanpa sadarnya matanya mengawasi sekitarnya. Sekadar memastikan bahwa tidak ada Daisy yang memergoki.
"Apa yang terjadi?"
Ajeng mengencangkan pelukannya hingga membuat Singgih merasa tak nyaman.
Tak ada yang bersuara saat dalam perjalanan. Baik Ajeng yang memilih untuk tetap diam tanpa menjelaskan. Begitu juga dengan Singgih yang memilih untuk fokus menyetir, meski beberapa kali melirik ke penumpang di sebelahnya.
"Bawa aku pergi." Akhirnya gadis itu mengeluarkan suara setelah diam lama. "Jauh dari sini," pintanya.
Singgih menepikan mobil serta berhenti di pinggir jalan. Ia memutar tubuh ke samping untuk menghadapi Ajeng. Sebelah tangannya menumpu pada kemudi setir.
"Apa yang terjadi?" desak Singgih tajam.
"Dia terus mengikutiku."
"Dia siapa?"
"Rolan!" Suara Ajeng melengking gemetar.
"Kenapa Rolan mengikutimu?"
"Karena..." suara Ajeng yang bergetar terhenti. "Singgih... aku mohon bawa aku pergi. Jauh dari sini. Terserah ke mana saja." Mohonnya dalam lelah.
Dan, di sinilah mereka sekarang. Terhitung empat hari sudah, Singgih dan Ajeng berada di sini. Tak ada tempat yang bisa dituju selain rumah Nek Ipon. Selain itu, kehadiran Ajeng di rumah Nek Ipon setidaknya membantu warga setempat―yang tidak punya uang―untuk berobat.
Kepala Singgih menoleh mendengar suara ketukan pada pintu. Pintu kamarnya terbuka, yang kemudian memperlihatkan wajah kesal Ajeng.
"Bisa pusing aku menghadapi pasien bandel sepertimu." Ajeng berpura-pura marah.
"Aku harus kembali ke Jakarta."
Wajah pura-pura marah Ajeng kini berubah kecewa. "Kayaknya tuh cewek penting banget buat kamu."
"Karena aku bekerja untuknya.'
"Dia bukan anak kecil yang harus kamu jaga dua puluh empat jam." Ajeng bergerak menuju tempat Singgih.
"Dan, aku juga nggak bisa terus menjagamu di sini."
Terhenti langkah Ajeng tepat di hadapan Singgih.
"Aku membawamu ke sini bukan berarti aku sudah memaafkanmu. Urusan kita belum selesai."
Jika mata Singgih adalah laser, maka saat ini mata Singgih mampu melukai Ajeng melalui tatapannya.
Ajeng menahan getir pahit di dada. "Maafkan aku..." kaca-kaca bening mulai menggenangi pelupuk matanya.
"Setelah dua belas tahun akhirnya aku mendengar permintaan maafmu." Singgih tersenyum sinis. "Bagaimana kamu akan mengganti sepuluh tahunku yang hilang?"
Kaca-kaca bening di pelupuk mata Ajeng siap berjatuhan.
"Katakan kalau bukan aku yang membunuhnya!"
Terhenyak Ajeng mendengar Singgih menghardiknya keras. Air matanya berjatuhan dengan deras membasahi pipi.
"Demi beasiswa―kamu mengkhianatiku!"
Ajeng menggeleng tak berdaya.
"Kamu hidup enak di luar sana. Makan, tidur, berteman. Bagaimana denganku? Pernahkah kamu memikirkan hidupku di sana?"
Ajeng berusaha memproduksi suaranya yang tertahan di tenggorokan. Yang ada hanya air mata yang terus berderai jatuh. Teramat perih baginya. Ingin menyampaikan kebenaran, tapi ia tak mampu mengungkapkannya.
"Menurutmu aku hidup enak?" sesak di dada Ajeng tak bisa ditahannya lebih lama. Ia tahu hari ini akan datang―hari di mana ia harus menumpahkan segala beban yang mengimpit sesak di dada.
"Aku menjalani kehidupanku seperti mayat. Setiap kali tidur... aku selalu teringat kejadian itu. Matamu yang menatapku di hari itu―" tangannya bergetar, coba menguatkan diri, "membuatku merasa bersalah."
"Aku selalu menyesali hari itu," aku Singgih.
Air mata Ajeng kembali jatuh.
"Tapi aku nggak bisa membencimu..."
Ajeng terisak dalam tangisnya. Ia juga menyesali hari itu, tapi jika Singgih tak bersamanya di hari itu, ia tak tahu apa yang akan terjadi pada dirinya...
'Harusnya kamu nggak ikut denganku..."
"Harusnya hari itu aku tetap bersama Noe," aku Singgih lagi. "Tapi aku akan lebih menyesal lagi―" ia menahan getir di dadanya, "―jika di hari itu aku nggak bersamamu. Aku nggak akan bisa melindungimu."
Rasa bersalah Ajeng makin besar seiring dengan derasnya air mata yang jatuh.
"Jadi, aku hanya akan bertanya sekali lagi." Singgih mencengkeram kedua pundak Ajeng―di mana getaran di pundak Ajeng merambati telapak tangannya. "Rolan ada di tempat kejadian?"
Ajeng berdiam cukup lama, hingga sebuah anggukan kecil muncul.
*
mampir di ceritaku juga dong kak🤩✨