Novel Keduabelas 🩶
Namaku Jennaira. Kisah ini adalah tentang aku yang menikah dengan seorang pria sempurna. Bertahun-tahun aku menganggapnya seperti itu, sempurna. Namun setelah menikahinya, semua berubah. Penilaianku terhadapnya yang asalnya selalu berada di angka 100, terus berubah ke arah angka 0.
Benar kata pepatah, dont judge a book by its cover. Penampilannya dan segala kemampuannya berhasil menghipnotisku, namun nyatanya hatinya tak seindah parasnya dan aku terlambat menyadarinya.
Unofficial Sound Track: Pupus
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lalalati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31: Mengikis Jarak
Sejak itu keseharianku berubah. Setiap hari rutinitasku tak lagi sama setelah tinggal di apartemen Gaga. Sejak pagi aku bangun untuk membereskan rumah. Kemudian aku mandi dan bersiap. Setelah bersiap aku memasak untuk sarapan. Aku sudah sangat hafal makanan kesukaan Gaga. Karena sejak aku SMP, aku sudah memasak untuknya walaupun secara tidak langsung.
Kami selalu sarapan bersama sebelum pergi bekerja. Gaga tak pernah protes tentang makananku atau memberi pujian. Tidak juga mengajakku ngobrol saat sarapan. Ia akan sibuk dengan ponselnya sambil makan. Setelah sarapan ia akan berangkat tanpa mengajakku pergi bersama. Padahal sekolah tempatku mengajar satu arah dengan kantornya.
Pulang bekerja pun tak ada obrolan yang berarti antara kami. Pulang kerja Gaga akan masuk ke kamarnya. Tak lama ia mandi dan aku memasak. Setelah makanan matang, kami makan malam bersama. Setelah itu ia akan kembali ke kamarnya sedangkan aku memastikan meja makan dan dapur kembali rapi lalu tidur.
Semuanya mungkin terdengar monoton, namun tak masalah bagiku. Karena setiap malam aku selalu berdebar bahagia. Bertanya apa malam ini Gaga akan menghampiriku?
Inilah alasan mengapa ia mengatakan jangan mengunci pintu kamar. Karena terkadang di malam hari, tiba-tiba saja tidurku terganggu. Gaga membangunkanku kadang dengan cara menciumku atau memelukku dan aku yang tengah terlelap pun mau tak mau kembali terjaga.
Gaga menyentuhku dan menatapku dengan lembut. Seakan Gaga di siang hari yang dingin itu, berbeda orang dengan Gaga yang menyentuhku di malam hari. Maka, sebelum tidur kerap kali aku merindukan Gaga, si 'pria malam' yang selalu membuatku merasa bahwa pernikahan ini ternyata bisa terasa hangat juga.
Suatu malam, setelah melakukannya seperti biasa Gaga akan pergi keluar dari kamarku untuk tidur di kamarnya sendiri. Namun kali itu aku begitu ingin Gaga tetap bersamaku.
"Gaga," lirihku sambil menahan tangannya. Gaga yang akan beranjak pergi kembali menoleh padaku. "Bisa gak temenin aku sebentar lagi aja."
Gaga terlihat enggan namun aku terus menatapnya penuh harap. Hingga akhirnya ia pun berbaring di sampingku dan membiarkanku berbaring di sampingnya sambil memeluknya.
Tak ada percakapan di antara kami. Sebetulnya ada banyak hal yang ingin aku katakan padanya. Betapa aku mencintainya, betapa aku bahagia karena walaupun hubungan kami masih terasa begitu dingin, namun aku cukup bersyukur, selama hampir satu bulan kami tinggal di apartemen ini, jarak di antara kami semakin berkurang.
"Gue ngantuk. Udah dulu." Gaga sedikit mendorong tubuhku agar menjauh darinya.
"Apa gak bisa Gaga tidur di sini aja? Kita tidur bareng?" ucapku penuh harap.
Aku sendiri juga cukup terkejut karena bisa mengatakan hal sejujur itu pada Gaga. Aku ingin semakin dekat dengan Gaga. Sedikit demi sedikit mengikis jarak di antara kami.
"Gak bisa. Udah lo tidur, besok harus bangun pagi buat masak dan kerja."
Kemudian ia pun meninggalkan kamarku. Sedih menelusup ke dalam hatiku. Namun kembali aku mencoba untuk paham.
Satu bulan ini, Gaga sudah mencoba untuk bersikap lebih baik padaku. Kami pulang ke Bandung bersama waktu itu, untuk acara mengenang 40 hari Alm. Om Haikal. Kami bahkan menginap di kamarku di rumah orang tuaku waktu itu meskipun tidak terjadi apa-apa, dan tidur saling membelakangi.
Semuanya terasa normal untuk ukuran hubungan aku dan Gaga yang memang tak pernah banyak mengobrol. Bahkan Gaga selalu pulang tepat waktu. Tak pernah aku melihat Gaga sibuk menelepon kecuali dengan kliennya. Status di aplikasi perpesanan hijaunya pun aman. Namun entah jika ia sudah di kamarnya saat sudah waktunya tidur.
Maksudku, tak ada jejak Alleta yang tertinggal. Perempuan itu seperti menghilang dari kehidupan Gaga. Aku sempat bertanya-tanya, apa Gaga dan Alleta sudah mengakhiri hubungan mereka? Entah ada apa dengan mereka namun itu sudah bisa membuatku merasa lega. Itu artinya jarak antara aku dan Gaga hanya tertinggal sikap cuek dan dinginnya saja.
Pagi itu kami tengah sarapan bersama.
"Gaga, kayaknya udah waktunya belanja bulanan. Nanti sore bisa anter aku ke supermarket?" Semalaman aku berpikir untuk mengajaknya, akhirnya ku katakan juga.
"Gak bisa lo pergi sendiri?" jawabnya ketus.
Sudah kuduga, pasti ia menolak.
"Bisa aja sih," cicitku merasa tak enak karena Gaga menjawabku dengan ketus. Ya sudah ku putuskan untuk pergi sendiri saja.
Namun tiba-tiba, "ya udah. Pulang gue kerja kita belanja."
Seketika hatiku membuncah bahagia. Jarak aku dan Gaga sudah semakin berkurang lagi bukan? Iya 'kan?