Farrah, gadis desa yang lugu, berhasil menaklukkan hati seorang Mafia kejam bernama Martin.
Kisah cinta mereka berawal ketika Martin tidak sengaja melihat Farrah menangis histeris di bandara, ia dipaksa ikut dengan seorang pria paruh baya sebagai ganti hutang ayahnya yang tidak bisa dibayar.
Meskipun saling mencintai, namun masalah besar yang dihadapi oleh Martin menjadi kendala dalam hubungan mereka.
Baca selengkapnya di novel ini >>>>>
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jasmoone, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cahaya dalam gelap
Martin langsung menghampiri tubuh lusuh yang terbaring lemah itu, tubuh pria tua yang ia kenal dengan baik dulu, seseorang yang ia dan banyak orang kira sudah tiada.
Namun kini, sosok itu terbaring tak berdaya di hadapannya, dalam keadaan hidup tapi setengah hancur.
Tampak terukir banyak luka dan rahasia di wajah yang tua dan lusuh itu, matanya merah dan cekung, menyimpan derita yang seolah telah dipendam selama bertahun-tahun.
"Om, kenapa bisa ada di sini?" tanya Martin dengan suara lirih, penuh getir.
Sorot matanya menatap tubuh pria tua itu, mencari penjelasan, mencari jawaban yang bisa menenangkan gejolak di dalam dadanya.
Pria tua itu tidak langsung menjawab, ia memandangi Martin begitu lama seolah waktu berhenti.
Tatapan matanya bukan sekadar luka, tapi juga rasa bersalah.
Sebuah dosa yang terpendam dan kini kembali menguak, menampar masa lalu yang selama ini ia coba untuk dilupakan.
Lalu, dengan suara parau dan air mata yang mulai menetes, pria tua itu berucap, "Martin, maafkan Om." ucapnya penuh rasa bersalah.
Suara itu membuat jantung Martin berdegup kencang, tak ada pembelaan, hanya satu kata ,yaitu maaf yang akhirnya membawanya kembali ke tragedi berdarah tiga belas tahun lalu.
Malam ketika ayahnya, Wijaya Sebastian, ditemukan tewas di halaman rumah dengan tubuh penuh luka tusuk dan tembakan.
"Kalau saja waktu itu, Om nggak membela ayahmu, mungkin Om nggak akan berada di sini," bisik pria tua itu dalam hati, seraya menatap Martin.
Dalam keheningan yang menusuk itu, pikiran Martin langsung tertuju pada satu nama yang ingin sekali ia lenyapkan dari muka bumi ini.
Yaitu Baskoro, adik dari pria tua di depannya itu.
Lelaki yang selama ini menjadi bayang-bayang kelam hidup Martin, lelaki yang hingga saat ini mengusik keluarganya hanya karena tidak bisa mendapatkan hati, Ibunya Martin.
"Sudah pasti ini semua ulahmu," gumam Martin lirih, rahangnya mengeras, tatapannya mulai berubah menjadi kilatan dendam yang lama terpendam.
Bagas, yang sejak tadi berdiri gelisah di belakang Martin, tampak penasaran, "Dia siapa, Tin? " tanyanya dengan nada penasaran.
"Bagian dari tragedi berdarah yang menewaskan bokap gue tiga belas tahun lalu." Jawab Martin.
Bagas terdiam, suasana menjadi hening kembali, hanya terdengar isak lirih dari pria tua yang terbaring lemah di depan mereka.
"Saya, saya dihukum bukan cuma karena kasus ayahmu, Martin, tapi juga karena mengetahui sesuatu yang tak seharusnya saya ketahui " ucap pria itu dengan suara bergetar.
Martin menatapnya tajam. "Apa maksud Om?" tanya Martin dengan nada penasaran.
Pria itu terisak lagi, lalu melanjutkan, "saya tidak sengaja mengetahui bahwa adik saya punya anak dari wanita lain yang bukan istrinya. Saya menegurnya, dia harus berhenti mempermainkan perempuan, tapi dia malah mengancam saya." Papar pria tua itu.
Mata Martin seketika membelalak, ini jauh lebih dalam dari yang ia kira.
"Dia mengancam istri dan anak sambung saya, hingga berbagai ancaman darinya mengganggu kesehatan istri saya, membuat istri saya akhirnya jatuh sakit dan butuh banyak uang untuk berobat. " Sambung pria tua itu.
Suara pria tua itu terbata-bata, jemarinya gemetar, memegang lengan Martin seolah mencari pengampunan.
"Dia bilang, dia mau bantu, asal saya ikut dukung dia. dia ingin saya juga membenci ayahmu, Wijaya yang saat itu marah besar pada adik saya karena adik saya menggoda Ibumu. " Papar pria itu lagi.
Martin terdiam, napasnya mulai berat. Potongan-potongan masa lalu memenuhi pikirannya, seolah mengungkap kebenaran yang selama ini ia cari.
"Waktu itu saya ikut, tapi saya tidak pernah berniat membunuh ayahmu. Saya hanya ikut ke tempat kejadian perkara atas permintaan adik saya, karena itu salah satu syarat agar dia mau meminjamkan saya uang. " Ujar pria tua itu tampak sedih.
"Terus, kenapa om dikurung di ruangan ini?, siapa yang melakukannya? " tanya Martin serius.
Pria itu menatap Martin dengan air mata yang semakin deras.
"Adik saya, Baskoro. Dia tahu saya menyesal, dia tahu saya tidak sepenuhnya di pihaknya. Malam itu, satu jam setelah membunuh ayahmu, dia datang ke rumah saya." Jawab pria tua itu.
Martin menahan napas.
"Saya sempat memarahinya, saya bilang dia sudah gila, dan saat itulah dia menyuruh anak buahnya menyeret saya ke dalam mobil dan membawa saya naik pesawat keesokan harinya. Sejak hari itu saya dinyatakan hilang. " Papar pria itu lagi.
Martin tampak tertegun, amarah di dadanya semakin bergejolak hebat, bercampur perih dan rasa bersalah yang menyesakkan dada.
Bagas yang dari tadi terdiam, akhirnya berbisik. "Tin, ini udah lebih besar dari sekadar pembunuhan bokap lu tiga belas tahun lalu, ini kotoran lama yang belum dibersihkan." Tegas Bagas.
Martin mengangguk pelan. "Kita harus tuntaskan semua ini, Gas. Baskoro tidak bisa melenggang begitu saja setelah semua yang dia lakukan pada bokap gue dan korban-korban lainnya.
Setelah mendengar kebenaran yang telah terkubur dalam selama tiga belas tahun, dada Martin serasa dihantam badai.
Kebenaran yang membusuk itu akhirnya terkuak, mencuat dari balik tembok dingin ruang bawah tanah.
Pria tua yang dulu sempat ia benci, kini tampak rapuh, seperti bangunan tua yang hampir runtuh namun tetap berdiri karena satu hal, yaitu penyesalan.
Martin menggenggam tangan pria tua itu erat, matanya berkaca-kaca.
"Om enggak usah khawatir lagi, aku akan bebaskan om dari semua ini, om enggak akan mati di ruangan ini." Ucap Martin lirih namun tegas.
Tatapan mereka bertemu, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun. Mata pria tua itu menampakkan secercah harapan.
Tapi sebelum sempat mengucap terima kasih, terlintas di benaknya tentang istri dan anak sambungnya yang ia tinggalkan begitu lama tanpa kabar.
"Martin, om kepikiran istri dan anak sambungnya om. Om enggak tahu bagaimana kabar mereka sekarang, di mana mereka tinggal, mereka pasti mengira om sudah mati. " Ucapnya lirih.
Martin mengangguk dalam. " Om tenang saja, setelah semua ini selesai, aku akan mencari mereka. " Ujar Martin.
Pria tua itu tak bisa menahan air mata, tangisnya pecah, Ia merasa dilihat kembali sebagai manusia setelah bertahun-tahun dianggap tiada.
...***...
Hari-hari selanjutnya, Martin dan Bagas kembali menjalani peran mereka sebagai dua pekerja rumah tangga biasa.
Mereka masih menyapu halaman, memotong rumput, membawa keranjang belanja, dan bersikap seolah tak tahu apa-apa soal ruang bawah tanah itu.
Namun di balik wajah lelah dan senyum sopan, mereka telah menyusun rencana yang matang. Rencana untuk menjatuhkan Baskoro, pria berhati iblis yang telah menodai kehidupan banyak orang.
Rencana itu penuh risiko, tapi Martin tahu ini bukan lagi soal dendam pribadi. Ini tentang keadilan yang tertunda, tentang menyelamatkan masa depan dari luka di masa lalu.
Tapi rencana itu harus tertunda, karena suatu hal yang tidak bisa dielakkan.
Suatu pagi, saat Martin dan Bagas sedang bersih-bersih halaman belakang, ponsel Martin bergetar keras dalam saku celananya.
Sebuah panggilan masuk dari Anton yang merupakan suami bohongan dari Farrah pacarnya Martin, yang kebetulan sedang menjalani peran palsu sebagai majikan di rumah tempat Martin dan Bagas bekerja itu.
Martin dengan sigap mengangkat telpon itu, suara panik dari Anton langsung menghentak jantungnya.
"Bang, mbak Farrah kayaknya sudah mau lahiran. Air ketubannya pecah, cepat bantu antar ke rumah sakit bang. " Ujar Anton cemas.
Martin sontak terdiam, napasnya tertahan sejenak. Farrah, perempuan yang ia cintai, dan sedang mengandung anak mereka akan melahirkan.
Tanpa pikir panjang, Martin melepas pakaian kerjanya dan berlari keluar, meninggalkan Bagas yang hanya sempat menatap kebingungan.
Martin pun segera berlari ke lantai atas tempat Farrah berada, tanpa sepatah kata pun ia langsung menggendong Farrah dan membawanya ke mobil yang ada di garasi.
Di temani oleh Anton, suami bohongan Farrah itu, Martin membawa Kekasihnya menuju rumah sakit terdekat.
Tak lama kemudian, mereka pun tiba di rumah sakit.
Mereka disambut hangat oleh beberapa petugas rumah sakit.
...***...
Setelah semua persiapan bersalin oleh dokter selesai, artinya perjuangan Farrah akan segera dimulai.
Martin menggenggam erat tangan Farrah yang tampak terengah-engah, keringat bercucuran di dahinya, namun matanya tak lepas dari wajah kekasihnya.
Tak lama kemudian, terdengar suara tangisan lembut, suara itu perlahan semakin keras.
Dunia seperti berhenti sejenak bagi Martin, ia melihat ke arah bidan yang mengangkat bayi mungil yang cantik.
Bayi perempuan yang baru saja lahir di dunia yang kejam ini, dunia penuh rahasia, dan kebencian.
Namun bagi Martin, bayi itu adalah cahaya. Satu hal yang menjadi alasannya tidak menyerah dengan keadaan dan ingin tetap hidup meskipun semesta tidak adil padanya.
Sebuah alasan baru untuk menyelesaikan apa yang belum selesai, agar anaknya tak mewarisi dendam yang sama seperti dirinya.
Beberapa hari setelah kelahiran itu, Martin duduk sendiri di balkon rumah tempatnya bekerja itu, ia menatap langit malam.
Pikirannya berkecamuk, antara tugas sebagai ayah dan misi untuk membalaskan dendam kematian ayahnya.
Lalu langkah kaki terdengar, Bagas datang membawa dua gelas kopi hangat.
"Gimana rasanya jadi bokap?" tanya Bagas, tersenyum kecil.
Martin hanya tertawa tipis. "Aneh, tapi juga bikin gue ngerasa hidup dan ingin tetap hidup lebih lama. " Jawab Martin.
Bagas duduk di sampingnya, tampak terdiam sejenak, lalu ia berkata pelan, " Bagaimana dengan rencana kita? " tanya Bagas.
Martin memandang langit, bintang malam bersinar redup, seperti menandakan bahwa semuanya masih belum selesai.
"Rencana tetaplah rencana, dan akan tetap berjalan. Tapi kali ini bukan cuma buat bokap gue, bukan cuma buat om itu, tapi buat anak gue juga." Ujar Martin dengan suara tegas sambil menoleh ke arah Bagas.
"Baskoro harus lenyap, sekarang bukan lagi soal membalas, tapi menghentikan lingkaran iblis yang udah terlalu lama merugikan banyak orang." Sambung Martin.
Martin kemudian menyeruput kopinya, gelas kopinya terjatuh ketika melihat sebuah panggilan telepon masuk di layar ponselnya.
mari saling dukung
dan semangat menulis 💪