Amirul, yang dikira anak kandung ternyata hanyalah anak angkat yang tak sengaja tertukar pada saat bayi.
Setelah mengetahui jika ia anak angkat, Amirul di perlakukan dengan kasar oleh ibu angkat dan saudaranya yang lain. Apa lagi semenjak kepulangan Aris ke rumah, barang yang dulunya miliknya yang di beli oleh ibunya kini di rampas dan di ambil kembali.
Jadilah ia tinggal di rumah sama seperti pembantu, dan itu telah berlalu 2 tahun lalu.
Hingga akhirnya, Aris melakukan kesalahan, karena takut di salahka oleh ibunya, ia pun memfitnah Amirul dan Amirul pun di usir dari rumah.
Kini Amirul terluntang lantung pergi entah kemana, tempat tinggal orang tuanya dulu pun tidak ada yang mengenalinya juga, ia pun singgah di sebuah bangunan terbengkalai.
Di sana ada sebuah biji yang jatuh entah dari mana, karena kasihan, Amirul pun menanam di sampingnya, ia merasa ia dan biji itu senasib, tak di inginkan.
Tapi siapa sangka jika pohon itu tumbuh dalam semalam, dan hidupnya berubah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon less22, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
1
Kaki Amirul terasa berat menapaki anak tangga rumah Dinata. Jam 15:00, tubuhnya lelah setelah menghadapi sekolah statistika yang melelahkan. Ia mendorong pintu depan yang tidak terkunci, harapannya hanya satu: minum air dingin dan langsung tidur. Tapi yang ia lihat saat itu membuatnya berhenti seketika, kaki terasa melekat di lantai.
Di tengah ruang tamu yang terang benderang, seorang anak laki-laki seusianya, duduk di samping Rita, ibunya yang selalu ia kenal. Keduanya saling memeluk erat, mata Rita memancarkan cahaya kebahagiaan yang jarang ia lihat. Anak itu menundukkan kepala, tapi dari sikapnya terlihat nyaman, seolah sudah pulang ke tempat yang sebenarnya. Siapakah anak laki-laki itu? tanya Amirul dalam hati, dada terasa sesak tanpa alasan.
Rita melihatnya dan langsung melepaskan pelukan, wajahnya sangat kebahagiaan. "Amirul, datang sini," panggilnya dengan suara lembut.
Amirul melangkah perlahan, matanya tidak lepas dari anak laki-laki itu. Anak itu menatapnya dengan tatapan yang cerdas tapi sedikit ragu, tatapan mata anak itu seperti ada dendam, seperti seolah-olah, dirinya yang mengambil keluarganya.
"Amirul, ini Aris," kata Rita, lalu diam sejenak, "Yang ternyata... Aris adalah anak kandung kami. Dan kamu, rupanya... kamu adalah anak angkat." Suaranya mulai bergetar. "Saat kalian bayi, di rumah sakit, kalian tertukar."
Kata-kata itu seperti kilat yang menyambar Amirul tepat di dada. Semua yang pernah ia yakini keanggotaan keluarga Dinata, cinta yang ia terima selama 16 tahun, tiba-tiba terasa hancur. Matanya memutar, ia merasa ingin pingsan. Ternyata aku bukan anak kandung mereka? Semua ini hanya kesalahpahaman? pikirnya, dada terasa sesak dan sulit bernapas.
Aris berdiri, mengangguk ke arahnya. Amirul melihat wajah anak itu ada kemiripan dengan ayahnya, Budi Dinata, yang jelas sekali. Sedangkan dirinya... ia selalu merasa berbeda, tapi tidak pernah menyangka sampai begini.
Setelah sejenak berdiam, Amirul mencoba menegangkan diri. Bibirnya tergeser membentuk senyum yang kaku. "Ah iya... salam kenal..." ucapnya dengan suara yang sedikit bergoncang. "Aris, aku Amirul." Perasaan canggung meliputi badannya, seolah ia adalah tamu yang tidak diundang di rumah sendiri.
"Salam kenal juga," kata Aris tersenyum meis, tapi senyumnya penuh misteri.
"Ibu... aku mau ke kamar dulu, mau mandi," ucap Amirul dengan suara yang lemah, sengaja menghindari tatapan Rita dan Aris. Pilihan itu terasa seperti satu-satunya jalan keluar dari suasana yang semakin menyakitkan.
Setiap detik di ruang tamu terasa seperti duri yang menusuk dada, rasa tidak berhak yang tiba-tiba muncul membuatnya ingin menghilang.
Rita mengangkat bahu, wajahnya terlihat ragu tapi juga tegas. "Hm... anu, Amirul. Kamar kamu... sudah diubah." Kata-katanya terhenti sebentar, "Kamar mu yang lama akan di tempati oleh Aris. Dan kamar mu yang baru... ada di samping gudang. Tidak apa-apa kan?" Ia menambahkan dengan nada yang coba menyenangkan, tapi tidak bisa menyembunyikan kesalahpahaman yang dalam. "Lagian soalnya selama ini kami sudah mengurusmu selama bertahun-tahun, tidak apa-apalah jika kamu mengalah dari Aris."
Mengurusmu? Mengalah? Kata-kata itu membekukan Amirul di tempatnya . Kamar yang dulu penuh dengan kenangan, poster band favoritnya, buku yang sudah dibaca berkali-kali, foto bersama teman-teman, sekarang akan diisi oleh anak laki-laki yang baru saja tiba, anak kandung yang "seharusnya" ada di sana dari awal. Bahkan ruang pribadinya yang paling dekat dengan hatinya, sudah diambil.
Ia mengangkat kepala, mencoba membuat wajahnya terlihat tenang meskipun dada terasa sesak. Bibirnya tergeser membentuk senyum yang getir, seolah tersengat oleh semuanya. "Baik Ibu, tidak apa-apa." Angguknya singkat, lalu ia berjalan cepat menuju pintu belakang arah ke kamar baru yang ia belum pernah lihat.
Langkahnya terasa berat, setiap langkah seperti menuju tempat yang bukan miliknya. Saat membuka pintu kamar di samping gudang, ia disambut oleh bau lembab dan ruang yang sempit, hanya ada kasur tunggal dan lemari kayu tua yang retak. Tidak ada apapun yang menyebutkannya, tidak poster, tidak foto. Hanya ruang kosong yang seolah berkata: kamu hanyalah tamu yang sementara.
...********...
Setiap harapan yang lewati terasa seperti jerat yang semakin ketat mengikat Amirul. Sejak kebenaran penukaran bayi terungkap dan Aris tiba, suasana rumah Dinata berubah total. Awalnya hanya sikap dingin dan canggung, tapi lambat laun, itu berubah menjadi kasar dan acuh tak acuh yang menusuk hati.
"Amirul, tas baru yang dulu aku belikan untukmu berikan pada Aris!" perintah Kakak Siska dengan nada yang menyakitkan, "Dia butuhnya untuk sekolah besok."
Amirul melihat Aris berdiri di sudut ruang tamu, malu tapi tidak berani menolak. Tanpa kata-kata, ia mengambil tas dan mash tersimpan rapi, ia membawanya ke kamar Aris, Amirul melihat kamarnya yang dulu sekarang penuh dengan mainan, buku, dan barang-barang Aris yang baru.
Hari demi hari, barang-barang milik Amirul diambil paksa: sepatu sekolah yang baru, jam tangan yang diberi ulang tahun, bahkan foto keluarga yang ada wajahnya dihilangkan dan diganti dengan foto Aris bersama Abang Rio dan Kakak Siska.
Abang Rio yang dulu sering bawa Amirul bermain sepakbola, sekarang hanya mengajak Aris main game di kamar.
Kakak Siska yang dulu membantu Amirul mengerjakan tugas, sekarang hanya membelikan camilan untuk Aris. Mereka menyayangi Aris seperti anak kandung yang sebenarnya dan melupakan Amirul seolah dia tidak pernah ada.
Waktu berjalan cepat. Dua tahun sejak kejadian itu, Amirul sudah tidak dianggap anak lagi di rumah Dinata. Ia bangun lebih pagi dari semuanya untuk memasak sarapan, mencuci pakaian, menyapu lantai, dan membersihkan kamar keluarga—termasuk kamar Aris.
Saat keluarga makan bersama di meja makan utama, Amirul hanya boleh makan di dapur, dengan sisa makanan yang tersisa. Rita dan Budi melihatnya seperti seorang pembantu yang tak di dibayar karena sebaga balas budi Amirul yang selama ini di besarkan dan tidak lebih. "Amirul, cepat selesai cuci piring! Aris mau ke taman, bawa tasnya!" teriak Rita tanpa memandangnya. Amirul mengangguk dengan kepala yang terkurung, hati terasa hancur dan sepi. Ia tidak pernah menyangka, keluarga yang dia cintai sepenuh hati akan memperlakukannya seperti barang yang bisa dibuang kapan saja.
thanks teh 💪💪💪