Murni, seorang biarawati yang sedang cuti karena ingin menyembuhkan jiwa setelah terganggu mimpi-mimpi buruk yang terus berdatangan, menerima pesan aneh di ponselnya -suara paniknya sendiri yang membuatnya penasaran. Ia mengikuti petunjuk yang membawanya ke sebuah warung makan tua yang hanya buka saat malam.
Di warung itu ia bertemu dengan Mahanta, seorang juru masak pendiam yang misterius. Namun warung itu bukan warung biasa. Pelanggannya adalah jiwa-jiwa yang belum bisa pergi, dan menu makanannya bisa menenangkan roh atau mengirimnya ke dalam kegelapan. Murni perlahan terseret dalam dunia antara hidup dan mati. Ia mulai melihat masa lalu yang bukan miliknya. Meskipun Mahanta tampaknya menyimpan rahasia gelap tentang siapa dirinya dan siapa Murni sesungguhnya, pria itu bungkam. Sampai cinta yang semestinya dilarang oleh langit dan neraka merayap hadir dan mengungkapkan segalanya.
L'oubli (B. Perancis): keadaan tidak menyadari atau tidak sadar akan apa yang sedang terjadi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dela Tan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Season 1 ; Bab 27 - Dibuntuti
Murni duduk terpaku di bangku paling depan gereja, dimana di depannya berdiri patung Kristus. Telah bermenit-menit berlalu, dan ia masih di posisi itu.
Tidak bergerak. Ekspresinya tidak terbaca.
“Kau mengatakan tidak tahu, artinya kau sudah tidak yakin.” Begitu Suster Maria mengakhiri pertemuan mereka tadi. “Aku tidak punya pilihan selain melaporkan kondisi ini pada Kongregasi. Sementara itu, merenunglah, lakukan doa pribadi.“
Itulah yang seharusnya sedang ia lakukan. Murni memang merenung, tetapi tidak melakukan doa pribadi. Hatinya terus terasa… hampa, sehingga ia tidak merasa tidak layak mengucapkan doa permohonan apa pun.
Ia bukan merenungkan panggilannya. Sebaliknya, ia malah merenungkan Mahanta, ingin menghubungi lelaki itu. Tapi... untuk apa?
‘Karena kau ingin mendengar suaranya,’ bisik pikirannya sendiri.
Deg.
Ia menggenggam tangannya erat-erat. Lalu tiba-tiba… ia merasakan sesuatu.
Seperti... sentuhan di jari-jarinya. Hangat. Ringan. Seolah seseorang menyentuhnya dari dunia lain. Dadanya berdegup keras.
Murni menunduk, menatap ke tangannya yang menggenggam salib kayu.
Tapi tubuhnya tidak bohong. Ia mengingat rasa itu.
“Maafkan aku, Tuhan,” bisiknya, “Tapi mengapa aku merasa... Engkau yang diam, dan Mahanta yang menjawabku?”
Ia merasa kotor. Tapi juga merasa... hidup.
Detik ini juga ia sadar: Malam ketika ia mencegah lilin yang hampir padam, jari mereka bersentuhan. Dan ada sesuatu mengalir.
Sejak itu... ia tidak bisa berhenti memikirkan Mahanta. Bahkan hanya membayangkannya kini, ia merasa menggigil, dan pipinya panas.
Murni terus menelaah semua yang terjadi beberapa bulan ini.
Pertama kali ia mengalami mimpi buruk berada di tengah kobaran api, adalah malam setelah ia tepat berulang tahun ke dua puluh empat. Siang harinya ia baru merayakan ulang tahun bersama para novis dan biarawati di biara. Tentu saja bukan pesta pora duniawi. Hanya perayaan sederhana meniup lilin angka dua dan empat di kue tar kecil, dan doa bersama mensyukuri akan berkah dan kesehatan yang ia terima.
Pada malam itulah ia pertama kali mendapat mimpi itu. Dan malam-malam berikutnya, mimpi demi mimpi yang sama, terus datang dan membuatnya resah. Hingga ia meminta cuti untuk menenangkan jiwa, untuk mencari ‘makna diri’, untuk menilik panggilannya.
Alih-alih mendapat kejelasan, ia dipertemukan dengan Mahanta di Warung Murni. Ia mengenal dunia baru yang misterius, dan teka-teki semakin kental.
“Sejak kau datang di saat masih cuti, dan berkata ingin mencari literatur tentang obituari, aku sudah merasa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu.”
Begitu kata Suster Maria tadi.
Bukan obituari.
Obitus.
Benar! Nama itu memang hanya muncul satu kali dalam mimpinya.Tetapi kecuali pemahaman bahwa itu berkaitan dengan kematian yang tragis, pertanyaan tentang siapa Obitus juga belum terjawab.
Tidak, ia tidak bisa berhenti menemui Mahanta. Murni membuat kesimpulan, walau tidak tahu itu akan berguna atau tidak, ia akan terus berusaha menemukan jawaban.
Semua ini bukan kebetulan. Semua pasti ada tujuan atau latar belakangnya.
Sejak zaman purba, ada satu kata yang menghasilkan penemuan-penemuan besar. Ilmuwan-ilmuwan hebat, pencipta dan pendobrak sejarah, semua berasal dari satu kata: Mengapa.
Kata itu juga yang terus berputar-putar di kepala Murni. Ia yakin, ia akan tiba di sebuah penemuan ‘besar’, mungkin tidak besar untuk kemanusiaan, tetapi besar untuk dirinya sendiri.
Suster Maria telah memutuskan untuk melaporkannya ke Kongregasi. Jika ia dibawa ke persidangan dan diminta untuk memilih, apakah ia telah siap?
---
Malam itu, Murni bersiap kembali ke Warung Murni.
Kali ini, Theresia memergokinya. Mungkin bukan memergoki, bisa saja gadis itu telah diberi instruksi untuk mengawasinya. Hanya saja, Murni tidak lagi berniat menyelinap diam-diam. Untuk apa? Toh semua sudah terbuka.
“Mau ke mana semalam ini Mur?” Theresia cepat-cepat bangkit dari tempat tidur.
“Ada yang harus kulakukan,” Murni menjawab singkat, berjalan ke pintu.
Theresia melompat dari tempat tidur, asal-asalan mengganti celana piamanya dengan celana jeans. Ia bahkan masih tetap mengenakan atasan piama, dan sembarangan memakai sandal yang terserak di bawah ranjang, lalu bergegas menyusulnya.
Murni berjalan cepat. Tidak memedulikan langit mendung dan gerimis yang mulai turun.
Theresia hampir kehilangan jejak, sebelum melihat punggung Murni berbelok di ujung jalan. Dia berlari, berusaha tidak kehilangan lagi. Suster Maria telah mewanti-wanti agar melapor jika menemukan Murni keluar malam lagi.
Tetapi tidak ada waktu untuk melapor. Lebih baik dia membuntutinya sendiri, walaupun tidak tahu ke mana teman sekamarnya itu akan menuju. Dan sejujurnya, sebenarnya dia merasa takut.
Bayangkan, ini sudah tengah malam.
Perempuan berjalan sendirian di jalanan sepi dan lengang. Bahkan temaram, sebab lampu-lampu jalanan telah dimatikan sebagian.
Dia hanya mengenakan celana dan atasan piama, tidak memakai seragam biarawati. Langkahnya tersendat, melirik ke kiri dan ke kanan dengan cemas, hampir ingin berbalik arah kembali ke biara.
Bagaimana jika ada rampok? Yang lebih seram lagi, bagaimana jika ada… Theresia bergidik, mengusir pikiran buruk itu sambil berdoa dalam hati.
Dia mempercepat langkah, Murni hampir menghilang dari jarak pandangannya. Sang novis sudah berada di ujung sebuah gang tua. Dia harus segera menyusulnya.
Theresia berlari. Dan… tertegun.
Dia masih melihat temannya di ujung gang itu.
Lalu menghilang.
Lenyap.
Seolah ditelan malam.
Theresia bengong. Ternganga. Membeku di tempat.
Tidak ada apa-apa di gang itu selain kegelapan.
Perlahan, kesadaran yang menyeramkan membuat sekujur tubuhnya merinding. Secepat kilat, dia berbalik, lari kembali ke biara secepat yang dia bisa, sampai napasnya hampir putus.
---
Murni tahu kenapa ia kembali. Setiap langkah terasa seperti menyerah, juga sekaligus pembebasan.
Saat tiba di depan warung, Mahanta sudah berdiri di ambang pintu. Menunggunya.
Jantung Murni serasa hampir melompat.
Segala rasa berkecamuk. Tapi satu hal yang paling ingin dilakukannya, adalah berlari dan menghambur ke pelukan lelaki itu.
Namun… itu tidak terjadi. Ia masih berhasil menahan diri.
Mereka berdiri berhadapan, tidak ada kata yang saling dilontarkan, seolah mereka berkomunikasi dengan bahasa batin.
Tetapi saat mereka melangkah masuk berdampingan, tangan mereka kembali bersinggungan.
Ada listrik. Lagi. Kali ini percikannya lebih kuat.
Dan Murni sepenuhnya sadar.
Ia sedang tenggelam.
Dan tidak mau diselamatkan.
Disadari atau tidak, diucapkan atau tidak, Murni tahu, ia telah memilih.
Hanya perlu satu gong terakhir.
Karya kakak semua top /Good//Good//Good/
kesedihan ,bebannya pindah ke murni ?
🤔
apakah jiwa nya blm kembali ke asal
masih gentayangan
tapi kebanyakan semakin di larang semakin penasaran