Hana Nayaka tidak percaya, jika pria yang menikahinya dua tahun lalu dengan mudah menjatuhkan kata talak hanya karena dia mendatangi kantor tempat suaminya itu bekerja.
Sudah hampir 3 bulan belakangan ini, Adam Husain melewatkan sarapan dengan alasan harus datang ke kantor pagi-pagi sekali karena pekerjaannya sedang banyak dan mendesak.
Braakkk...
Rantang makanan yang dibawa Hana dilempar hingga semua isinya berhamburan.
"Dasar istri tidak berguna sudah miskin, udik, kampungan lagi. Untuk apa kamu datang ke kantor, mau buat aku malu karena punya istri macam kamu."
"Mulai hari ini, Hana Nayaka bukan istriku lagi. Aku jatuhkan talak satu." Ucap Adam lantang.
"Mas... Kamu kenapa tega padaku? Apa salahku?" Tangis Hana pecah di depan lobby perusahaan tempat Adam bekerja sebagai manager keuangan.
Hana pergi dengan membawa luka yang menganga dan dendam membara.
"Aku pasti akan membalasmu, Adam. Kamu lupa siapa aku." Gumamnya.
JANGAN MENABUNG BAB!
SUPAYA CERITA INI BERUMUR PANJANG.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erchapram, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Siapa Hana Sebenarnya
Beberapa petugas keamanan termasuk tenaga medis masuk ke ruang sidang. Langit diamankan Polisi, sedangkan Adam dibawa ke Klinik Kesehatan terdekat.
Hana, wanita itu terduduk lemas dengan sudut bibir mengeluarkan darah. Dia tidak menyangka, jika kejadiannya semakin runyam dan hilang kendali.
"Kenapa kamu bersikeras ingin bercerai, jangan-jangan benar dugaan Adam."
"Kamu sudah berselingkuh dengan dia, yang lebih kaya dari Putraku. Dasar perempuan sialan, aku tidak terima selingkuhanmu itu melukai Putraku. Akan aku tuntut kalian semua." Ucap Ibu Juminten sebelum ikut masuk ke mobil ambulan yang membawa tubuh Adam yang pingsan.
"Sudah aku katakan, jangan datang. Sekarang semua jadi semakin berantakan."
Hana menangis tergugu di kursi sendirian, karena Pak Yunus pergi menemani Langit yang sedang diinterogasi.
Kondisi Adam babak belur parah, tulang hidungnya patah, dua gigi tanggal dan satu rahangnya bergeser. Belum lagi ada luka memar membiru di atas permukaan perut. Sungguh pembalasan setimpal untuk pengkhianat yang pandai memutar balikkan fakta.
Berita kericuhan di persidangan Hana sampai ke telinga Tuan Angkasa, tapi karena menjaga kestabilan jantung istrinya Tuan Angkasa memilih menyembunyikannya. Dengan alasan ada tamu rekan bisnis yang meminta bertemu langsung, Tuan Angkasa pergi menemui Langit. Di kantor polisi, wajah Langit datar seolah tidak ada beban. Justru Langit merasa sangat puas.
"Langit, apa yang kamu lakukan. Kamu memperkeruh suasana, kasihan Hana. Mungkin ini yang sejak kemarin menjadi dasar ketakutan dan traumanya." Ucap Tuan Angkasa menyadarkan Langit.
"Aku hanya membela harga diri Hana yang sudah diinjak-injak oleh mantan suami mokondonya itu. Adam dengan mulut busuknya menghina Hana kalau sudah tidur denganku."
"Aku tidak terima, wanita yang ku cintai mengeluarkan air mata karena fitnahan mulut sampah itu. Bahkan jika tadi aku tidak dihalangi, sudah ku buat dia kehilangan nyawanya." Ucap Langit murka.
"Ya sudah, kamu tenangkan diri. Biar Papa yang urus semua. Lalu di mana Hana sekarang? Kalian tinggalkan dia seorang diri?"
"Astaga aku lupa." Jawab Langit.
"Hana aman bersama Tuan Thomas." Suara Pak Yunus membuat lega.
"Semua sudah saya urus Tuan Angkasa, kasus Tuan Langit masih bisa ditangguhkan karena tindakan spontanitas. Bukan tindak pidana yang direncanakan. Tapi, karena korban terluka parah. Kita wajib membayar biaya administrasi Rumah Sakit sampai Adam sembuh."
"Dan konsekuensi kedua, mulai besok Tuan Langit menjadi tahanan kota. Tidak boleh pergi ke luar kota apalagi ke Luar Negeri. Wajib lapor selama 3 bulan menjadi tahanan." Ucap Pak Yunus.
"Buat surat perjanjian hitam di atas putih supaya mokondo itu tidak mengambil kesempatan dalam kesempitan. Terutama Ibunya yang mata duitan."
Ucap Langit mengingatkan pengacara keluarganya.
"Saya ingin kasus korupsi Adam kembali dilaporkan, ditambah dengan kerja sama dia dalam usaha menggalkan perceraian ini diusut tuntas juga. Saya akan bujuk Hana untuk membuat laporan terkait pasal pencemaran nama baik dan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Ibu Juminten. Mereka harus mendapatkan efek jera."
Yang sebenarnya bukan efek jera yang akan dirasakan oleh Adam dan Ibunya, tapi tumpukan dendam. Mereka berdua mana pernah merasa bersalah meskipun selamanya menyakiti Hana. Playing victim sudah mendarah daging, atau mungkin mereka mengidap NPD.
Sementara Hana sedang dibawa pulang oleh Tuan Thomas ke markasnya, untuk memberikan sedikit ketenangan padanya.
Entah mengapa sejak pertama bertemu, Tuan Thomas merasakan getaran aneh. Bukan sebagai seorang pria terhadap wanita, tapi sebagai seorang ayah. Hana meskipun Gendut tapi cantik, garis wajahnya mengingatkan Tuan Thomas kepada almarhum istrinya yang sudah lama meninggal akibat pertempuran besar. Tidak hanya istri, kedua anaknya yang masih kecil pun tiada.
"Mungkin jika Putriku masih hidup, usianya juga akan sama denganmu. Beda 2 tahun dengan Kakak laki-lakinya, Putra pertamaku yang tampan, cerdas meskipun bersikap pendiam. Andai aku tidak terjun ke dunia bawah seperti keinginan istriku, mungkin sekarang aku sudah bahagia. Menggendong banyak cucu dari dua anak dan satu Istri." Gumamnya.
"Hana ayo masuk, jangan takut. Di sini memang semua penghuninya laki-laki, tapi mereka baik tidak akan ada yang menyakitimu." Ucap Tuan Thomas tahu calon istri Langit merasa kurang nyaman.
Benar, anak buah Tuan Thomas menyapanya ramah meskipun wajah dan tubuhnya sangar karena dipenuhi tatto. Mereka bahkan menyediakan Hana minuman.
"Silahkan diminum, jangan takut dengan kami." Ucap salah satu anak buah Tuan Thomas bernama Jeremy.
"Hana, kamu belum makan siang? sebentar lagi masakanku matang, kita akan makan siang bareng-bareng." Ucap Jeremy dengan senyuman khasnya.
Lamat-lamat Tuan Thomas memandangi wajah cantik Hana, yang semakin dilihat semakin mirip wajah istrinya.
"Hana apakah kamu tidak pernah tahu, siapa orang tua kandungmu?" Tanya Tuan Thomas yang pernah mencari identitas orang tua Hana. Tapi hasilnya dia hanya anak yatim piatu yang dibesarkan di sebuah Panti Asuhan yang berada di luar kota jauh dari tempat tinggal mereka saat ini.
"Saya yatim piatu sejak kecil."
"Memangnya ada apa Tuan bertanya?" Tanya Hana memandang penuh selidik.
Sebentar ya, aku akan ambilkan sebuah album foto lama keluargaku. Tuan Thomas berjalan menuju kamarnya yang terletak di lantai dua. Markas ini, selain luas juga sangat nyaman dijadikan tempat tinggal. Tidak terlihat semenyeramkan penampakan luarnya. Karena ternyata isinya layaknya hunian.
Tuan Thomas menyerahkan album foto berukuran sedang tapi sangat tebal. Hana mengambilnya ragu, tapi tetap dia buka juga karena penasaran.
"Itu kenang-kenangan terakhir keluargaku. Istriku bernama Hanifah sedangkan dua anak kecil itu adalah anakku. Yang laki-laki usianya 2 tahun saat itu, namanya Haris Alvaro anak yang cerdas sekali."
"Sedangkan bayi mungil digendongan Istriku baru berumur sebulan namanya Hana. Sama seperti nama kamu kan? Tapi Hana putriku punya nama belakang." Ucap Tuan Thomas menjelaskan.
"Kenapa mereka semua meninggal dunia?" Tanya Hana lembut, tapi di balik suaranya ada gelenyar aneh. Ada semacam ikatan tak kasat mata yang menjerat hati Hana.
"Aku dan ambisiku waktu muda, telah menghancurkan seluruh keluargaku sendiri. Aku pemimpin mafia saat itu, punya banyak musuh yang saling berebut kekuasaan dan nama besar. Tidak aku sangka jika para musuhku menargetkan keluarga kecilku ini. Mereka membunuh istriku dengan keji, lalu anak-anakku yang mereka buang di dalam hutan rimba."
"Aku berhasil menemukan jasad putraku, yang saat itu sudah membusuk. Tapi aku tidak melihat jasad bayi yang baru sebulan dilahirkan. Aku berfikir, mungkin sudah dimakan binatang buas karena aku menemukan kain pembungkus tubuhnya tercabik-cabik."
"Apa mungkin ada yang menyelamatkannya?"
"Tidak mungkin, karena hutan terlarang itu sangat jauh dan berbahaya."