Dasha Graves, seorang ibu tunggal yang tinggal di Italia, berjuang membesarkan dua anak kembarnya, Leo dan Lea. Setelah hidup sederhana bekerja di kafe sahabatnya, Levi, Dasha memutuskan kembali ke Roma untuk mencari pekerjaan demi masa depan anak-anaknya. Tanpa disangka, ia diterima di perusahaan besar dan atasannya adalah Issa Sheffield, ayah biologis dari anak-anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melon Milk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32
Tak lama kemudian, mereka semua sudah duduk di meja makan besar. Dasha hanya diam, duduk di ujung meja. Ia malu pada dirinya sendiri. Setelah semua kebohongan dan pelariannya, keluarga ini masih menyambutnya seolah tak pernah terjadi apa-apa.
Meja itu penuh tawa dan cerita. Hidangan yang disajikan begitu lengkap, dari pasta, lasagna, sampai porchetta dll.
Leo dan Lea menjadi pusat perhatian, bercerita dengan riang.
“Benarkah? Kamu memang kakak yang hebat!” puji Maren pada Leo setelah Lea menceritakan bagaimana sang kakak melindunginya di taman dari anak-anak nakal.
“Iya! Kak Leo itu yang terbaik! Aku bersyukur punya kakak seperti dia!” seru Lea sambil memeluk kakaknya. Wajah Leo langsung memerah malu.
“Coba lihat, Leo melindungi adiknya. Sementara papamu dan Paman Dylan dulu malah suka mengerjaiku!” goda Indie sambil menunjuk Issa dan Dylan.
“Hei! Aku juga melindungimu dari para cowok yang suka godain kamu!” bela Dylan.
“Iya, dengan cara lapor ke kak Issa, kan?”
“Ya tentu saja, kita harus kerja sama.”
Semua tertawa.
“Hei Leo, jangan terlalu galak ya ke adikmu nanti. Punya gebetan itu hal biasa, kok.” goda Indie lagi.
“Tapi Lea itu adikku. Dia nggak boleh punya gebetan, dan orang lain juga nggak boleh suka dia!” balas Leo tegas.
“Astaga, ternyata sifat posesif itu memang bawaan keluarga.” celetuk Indie, disambut tawa meledak dari seluruh meja.
**
Semua akhirnya naik ke kamar masing-masing. Hanya Dasha yang memilih duduk di taman belakang, menatap langit malam. Issa sudah membawa anak-anak ke kamarnya dulu, karena kamar tamu mereka belum siap.
Tak lama kemudian, Maren menghampirinya. “Boleh Mama duduk di sini?” tanyanya sambil menunjuk kursi di samping Dasha.
“Tentu ma.” jawab Dasha sambil bergeser sedikit.
Beberapa menit berlalu tanpa kata. Hingga akhirnya Dasha membuka suara pelan, “Mama… apakah Anda marah?”
“Marah? Tentang apa, sayang?”
“Tentang aku… yang dulu pergi, meninggalkan Issa, padahal aku mengandung anaknya.”
Maren terdiam sejenak, lalu ikut menatap langit. “Sejujurnya, Dasha, aku tak pernah marah. Kecewa, mungkin. Tapi marah? Tidak. Aku hanya… sedih. Aku tahu pasti ada sesuatu yang kamu hadapi waktu itu. Aku kecewa karena kamu memilih pergi sendirian, padahal kalian bisa menghadapi segalanya bersama. Aku bukan bicara sebagai ibu Issa, tapi sebagai seseorang yang juga menyayangimu. Kamu membuat kami semua khawatir.”
Dasha menunduk, malu. “Maafkan aku, mama. Aku tidak tahu semua itu.”
“Aku tak ingin membuatmu merasa bersalah. Aku cuma ingin kamu tahu, kami menganggapmu keluarga. Apa pun yang terjadi. Kalau suatu hari kamu tak punya tempat untuk pulang, kami akan selalu di sini. Meski anakku sendiri yang jadi penyebab lukamu."
Dasha tertawa kecil di sela tangisnya.
“Boleh aku jujur, Mama? Aku dulu pengecut. Aku lari karena takut disakiti. Hari saat aku tahu aku hamil, aku sangat bahagia. Aku bahkan membeli alat tes sendiri sebelum pulang ke apartemen Issa. Tapi saat aku sampai di sana…” suaranya pecah. “Aku melihatnya di tempat tidur, bersama perempuan yang kuanggap sahabatku. Mereka tertidur lelap. Aku tak tahu apa yang kupikirkan, aku hanya… berlari. Mereka bahkan tidak menyadari aku ada di sana.”
Maren menghela napas panjang. “Orang yang terluka kadang melakukan hal-hal tak terpikirkan, sayang. Tapi kita sering lupa memastikan apakah luka itu benar-benar berasal dari kenyataan. Kadang mata menipu hati.”
“Aku ingin memperbaiki semuanya, tapi aku takut… takut merusak lagi.”
“Jangan biarkan rasa takut mengendalikan hidupmu, Dasha. Kalau kamu benar-benar ingin melindungi keluargamu, hadapilah masa lalumu bersama Issa.”
“Aku akan coba, Ma. Aku akan lakukan apa pun demi keluarga ini.”
“Dan langkah pertama adalah bicara dengannya. Kalian tak bisa melangkah maju jika masa lalu masih menggantung.”
Maren memeluk Dasha lembut. “Tak apa takut, nak. Tapi jangan biarkan takut itu membatasi hidupmu. Waktu tak selalu berpihak, jadi gunakan yang ada dengan berani.”
Air mata Dasha akhirnya tumpah di bahu Maren. Ia merasa sebagian beban di dadanya terangkat malam itu.
“Terima kasih, Mama.” bisiknya.
“Kita keluarga, Dasha. Keluarga akan selalu ada satu sama lain.”
***
Setelah cukup tenang, mereka berdua kembali masuk ke rumah. Maren menuju kamarnya, sementara Dasha ke dapur untuk mengambil air. Ia terkejut ketika melihat Issa sudah lebih dulu di sana, menuang air ke dua gelas.
“Mau?” tawar Issa.
“Ya, terima kasih.”
Ia menyerahkan satu gelas pada Dasha. Hening sejenak.
Issa menatapnya. “Kau ingin bicara sesuatu, kan? Aku tahu dari caramu menggenggam tanganmu sendiri. Ayo, katakan saja.”
Dasha menarik napas dalam. Ini saatnya.
“Issa… bisakah kita memulai lagi dari awal? Aku tahu permintaan ini terlalu besar, tapi aku ingin memperbaiki semuanya. Aku ingin melakukan yang benar. Demi keluarga ini.”
Issa menatapnya dalam-dalam. “Baiklah.”
“Baiklah?”
“Ya. Kita mulai dari awal. Kita perbaiki semuanya bersama.” katanya sambil tersenyum, senyum yang membuat dada Dasha bergetar.
“Kau sungguh bersedia?”
“Tentu.”
Dan kali ini Dasha tak bisa menahan air matanya. “Terima kasih… terima kasih banyak! Aku janji tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.” serunya sambil memeluk Issa erat, menangis bahagia di bahunya.
“Ayo naik, temui anak-anak kita.” bisik Issa lembut sambil mengangkat tubuh Dasha dalam gendongannya.