Raina tak pernah membayangkan bahwa mahar pernikahannya adalah uang operasi untuk menyelamatkan ibunya.
Begitupun dengan Aditya pun tak pernah bermimpi akan menikahi anak pembantu demi memenuhi keinginan nenek kesayangannya yang sudah tua dan mulai sakit-sakitan.
Dua orang asing di di paksa terikat janji suci karena keadaan.
Tapi mungkinkah cinta tumbuh dari luka, bukan dari rasa????
Tak ada cinta.Tak ada restu. Hanya diam dan luka yang menyatukan. Hingga mereka sadar, kadang yang tak kita pilih adalah takdir terbaik yang di siapkan semesta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asmabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 28
Raina baru saja menyalakan televisi besar di ruang tamu. Hari ini, berbeda dari biasanya, ia tidak mengantar bekal ke kantor. Ia tak ingin mengganggu suaminya yang sedang fokus mempersiapkan kerja sama penting.
Begitu televisi menyala, sebuah acara gosip spesial langsung muncul di layar, menampilkan berita heboh soal kepulangan seorang model internasional ke tanah air. Para penggemar menyerbu bandara, antre untuk sekadar meminta foto, dan terlihat beberapa fans berat datang dari jauh demi memberikan hadiah kepada selebritas sekaligus bintang iklan itu.
“Larasati,” gumam Raina pelan. Ia mengerjap, mencoba menepis gejolak di dadanya. Tapi ia tak bisa memungkiri—hatinya berdebar luar biasa. Ia tahu betul pesona mantan suaminya, dan kini mereka sedang terlibat dalam kontrak kerja sama.
Meski kemarin Raina sudah menyatakan pendapatnya—meyakinkan suaminya tentang ketulusan cintanya, bahwa ia akan terus percaya dan mendukungnya—namun hati kecilnya tak bisa berbohong. Rasa cemburu itu nyata. Ada ketakutan, ada kekhawatiran kehilangan. Perasaan buruk itu terus menghantui pikirannya.
Tanpa sadar, mata Raina mulai berkaca-kaca.
Lalu, muncul pertanyaan dari seorang wartawan kepada Larasati yang tengah tersenyum manis di layar:
"Bagaimana dengan hubungan Anda dengan Tuan Muda keluarga Prawira? Bukankah kalian sudah pacaran sejak masih berseragam SMA?"
"Kapan kalian akan menikah?"
Larasati tersenyum tenang, menampilkan kesan wanita lembut dan anggun.
"Kami baik-baik saja. Mungkin secepatnya. Ditunggu saja, ya. Maaf, saya harus pergi karena masih ada meeting," jawabnya singkat, sebelum melenggang pergi.
...----------------...
Raina mengurungkan niatnya untuk bersantai dan menonton TV. Ia merasa tak nyaman berada di rumah sendirian, terlebih setelah melihat berita Larasati yang membuat pikirannya kembali kacau. Ia segera bergegas mandi, lalu bersiap pergi. Tanpa banyak pikir, ia mengambil motor kesayangannya yang sudah lama tak ia sentuh. Sudah lama sekali ia tidak keluar rumah naik motor kesayangannya untuk mencari angin, seperti hari ini.
Sore itu, Raina mengenakan kaus oblong lengan pendek yang simpel dan celana kargo longgar. Gaya khas anak muda yang tak dibuat-buat. Pakaian yang ia kenakan bukan keluaran butik-butik mahal, melainkan tren sederhana yang tengah populer di TikTok. Tas selempangnya pun hanya keluaran brand lokal yang dikenal di kalangan menengah. Tak ada kesan istri konglomerat pada dirinya hari itu—dan Raina menyukainya. Ia merasa menjadi dirinya sendiri.
Udara sore terasa sejuk, angin sepoi-sepoi menyentuh kulitnya yang lembut, seolah membisikkan ketenangan yang telah lama ia cari. Untuk beberapa saat, Raina merasa bebas. Tak ada kewajiban, tak ada tekanan. Hanya dirinya, motor, dan jalanan yang luas.
Setibanya di depan kantor Frida, sahabatnya, Raina memarkir motor dan menyeberang ke sebuah kafe kecil. Ia duduk di sudut dekat jendela sambil mendengarkan musik dari ponselnya. Ia mencoba bersantai, mencoba meredam amarah dan rasa cemburu yang sejak pagi bergelayut di hatinya. Daripada terus terjebak dalam pikiran-pikiran buruk di rumah, duduk sendirian di sini rasanya jauh lebih menenangkan.
Namun suasana kafe itu tak benar-benar membuatnya nyaman. Terlalu ramai, terlalu bising. Raina memutuskan keluar, mencari udara lebih segar. Namun langkahnya mendadak terhenti. Tanpa sengaja, ia menabrak seseorang. Kopi yang Ia bawa tumpah, mengenai jas yang tampaknya mahal. Raina terkejut dan buru-buru meminta maaf.
“Maaf, maaf Tuan… saya nggak sengaja… aduh,” ucapnya panik.
Tapi pria itu tak marah. Justru tersenyum—lebar dan hangat, seperti mentari yang muncul tiba-tiba di hari mendung.
“Ibu CEO, ngapain di sini?” suara itu familiar, sangat akrab. Raina menoleh perlahan dan ternganga. Suara itu… …
“Mas… Adit?” gumamnya pelan, setengah tak percaya.
Aditya tertawa kecil. Matanya menatap Raina dengan lembut, . Ia tampak terkejut sekaligus terpesona.
Raina , mengenakan topi sederhana dan earphone di telinga. Rambutnya sedikit terurai dari bawah topi, tertiup angin ringan. Ada sesuatu dalam ketenangan itu yang membuat dada Aditya sesak—bukan karena marah, tapi karena terpikat.
Raina terlihat seperti versi dirinya yang paling jujur: bebas, sederhana, dan tetap memikat. Dan Aditya, seperti biasa, kembali jatuh cinta.
Namun bukan senyum yang Raina berikan padanya, melainkan cemberut yang jelas menyiratkan kekesalan. Ia membalikkan tubuh, membelakangi suaminya.
Aditya mengerutkan kening, tak paham. Pagi tadi, semuanya terasa baik-baik saja. Mereka bahkan sempat berpamitan dengan pelukan singkat sebelum ia berangkat kerja.
“Sayang… ada apa, hem?” bujuk Aditya dengan suara pelan.
Raina menolak menoleh, seperti anak kecil yang sedang merajuk. Padahal biasanya ia selalu bersikap lebih dewasa daripada umurnya..
“Mas ngapain ke sini?” tanyanya ketus.
Aditya tersenyum, mencoba mencairkan suasana. “Menurut kamu?”
“Mana kutahu,” jawab Raina dingin, menahan amarah yang nyaris meledak.
Aditya menghela napas panjang, lalu dengan cepat mengirim pesan pada asistennya agar menggantikan dirinya di pertemuan bisnis. Ia tak ingin melewatkan momen ini—momen untuk memperbaiki keadaan.
Tanpa menunggu persetujuan, ia menggenggam tangan Raina dan menuntunnya ke arah mobil.
“Kita selesaikan di rumah, ya. Gak enak dilihat orang…” bisiknya, sebelum mencubit gemas hidung istrinya.
Namun Raina menarik tangannya, menolak. “Kita pulang masing-masing saja. Aku naik motor ke sini.”
Aditya tertegun. Ekspresinya berubah serius. “Tunggu.”
Nada suaranya sedikit meninggi, dan itu membuat Raina tersentak. “Sudah Mas bilang, jangan naik motor! Kalau terjadi sesuatu di jalan gimana?!”
Meskipun ia tahu itu adalah bentuk kepedulian, cara Aditya mengatakannya membuat Raina merasa seperti dibentak. Ia menunduk, matanya mulai berkaca.
“Nanti kujual saja motornya! Biar Mas puas!” balasnya dengan suara bergetar. Air matanya jatuh, membanjiri pipinya bersama amarah dan sakit hati yang selama ini ia pendam.
Raina membuka pintu mobil dan keluar tanpa memedulikan Aditya yang memanggilnya berulang kali.
“Harusnya Mas gak usah nyusul! Akhirnya bertengkar, kan…” racaunya sambil terus melangkah pergi.
“Padahal aku keluar rumah cuma mau cari udara segar. Supaya emosi di kepala gak meledak. Tapi malah ketemu Mas Adit… meledak juga, kan, emosiku…”
Langit sore kini benar-benar kelam. Tak ada lagi sisa jingga. Hanya awan berat dan dua hati yang belum menemukan tempat teduhnya.
Raina sempat bingung. Jalanan yang ia lewati sore itu terasa begitu sunyi, terlalu sunyi untuk ukuran kota sekecil ini. Tak ada satu pun kendaraan melintas. Hanya suara deru motornya sendiri—dan sesekali, suara angin yang berdesir pelan.
Ia melirik spion. Di belakang, sebuah mobil hitam terus mengikutinya sejak tadi. Ia tahu betul siapa pemiliknya. Suaminya. Aditya.
Tanpa sepengetahuannya, Aditya telah memerintahkan anak buahnya untuk mengosongkan jalan—mengurus izin dari pihak berwajib hanya demi satu hal: memastikan Raina bisa pulang dengan tenang. Tanpa gangguan. Tanpa kebisingan dunia luar.
Karena bagi Aditya, jika hatinya sedang kacau, maka dunia pun harus ikut diam.
Ya, siapa yang tak kenal Aditya? Tuan muda dari keluarga Prawira. Nama yang membuat orang menunduk hanya dengan mendengarnya. Segala sesuatu bisa ia lakukan. Segala sesuatu bisa ia kendalikan.
Kecuali, mungkin, hati seorang perempuan yang kini sedang mencoba melarikan diri darinya.
Aditya bisa saja menyalip dan memaksa Raina berhenti. Bisa saja ia menghentikan semua ini dalam sekejap. Tapi ia tidak melakukannya. Ia memilih tetap di belakang, menjaga jarak, membiarkan istrinya menghabiskan amarahnya sendirian. Membiarkannya merasakan udara sore yang sejuk, yang entah bisa menenangkan atau justru menambah sesak.
Namun yang tak bisa ditenangkan adalah badai yang berputar dalam dada Raina.
Cemburu. Marah. Luka yang menumpuk tanpa pernah ia ungkapkan. Semua mendesak keluar dari sorot matanya yang tajam namun penuh luka. Sesampainya di rumah, ia turun dari motor tanpa bicara. Matanya lurus ke depan, menolak untuk sekadar melirik ke belakang.
Aditya masih mengikutinya. Sepi masih menggantung di antara mereka. Hening yang nyaring.
Taman sore itu indah, sebenarnya. Angin menerbangkan wangi bunga, dedaunan bergoyang pelan seperti menari. Tapi bagi Raina, semua itu tak lebih dari latar belakang yang tak berarti.
Langkahnya tergesa. Matanya tidak melihat jalan. Dan ketika ujung kakinya mengenai batu kecil di tengah setapak, tubuhnya oleng. Dalam sekejap, ia terjatuh ke tanah.
Telapak tangannya menahan tubuh, tapi tak cukup kuat menahan sakitnya. Luka terbuka. Darah mengalir. Bukan luka parah, tapi cukup untuk membuatnya terdiam. Menunduk.
Aditya yang sejak tadi menahan diri, akhirnya melangkah cepat. Ia menggelengkan kepala—lebih pada dirinya sendiri. Tidak habis pikir. Tidak bisa lagi diam.
Tanpa berkata sepatah pun, ia menyusul Raina dan langsung mengangkat tubuhnya ke dalam pelukan.
Raina terkejut. Ia hendak menolak, tapi tak kuasa. Tubuhnya kaku, tapi hatinya mulai runtuh. Hangat tubuh Aditya, aroma bahunya, dan keheningan yang kini berubah menjadi pelindung—semua membuat benteng emosinya goyah.
"Sudah cukup," bisik Aditya nyaris tanpa suara. "Kamu boleh marah... tapi jangan sakiti dirimu sendiri, Rain."
Raina memejamkan mata. Entah karena lelah, atau karena untuk pertama kalinya hari itu, ia merasa ingin menangis.
Dan sore itu, taman menjadi saksi. Bahwa cinta tidak selalu tentang kata-kata. Kadang, ia hanya butuh satu pelukan—untuk meruntuhkan segala dinding yang selama ini berdiri terlalu tinggi.