Di balik tirai kemewahan dan kekuasaan, Aruna menyembunyikan luka yang tak terobati, sebuah penderitaan yang membungkam jiwa. Pernikahannya dengan Revan, CEO muda dan kaya, menjadi penjara bagi hatinya, tempat di mana cinta dan harapan perlahan mati. Revan, yang masih terikat pada cinta lama, membiarkannya tenggelam dalam kesepian dan penderitaan, tanpa pernah menyadari bahwa istrinya sedang jatuh ke jurang keputusasaan. Apakah Aruna akan menemukan jalan keluar dari neraka yang ia jalani, ataukah ia akan terus terperangkap dalam cinta yang beracun?
Cerita ini 100% Murni fiksi. Jika ada yang tak suka dengan gaya bahasa, sifat tokoh dan alur ceritanya, silahkan di skip.
🌸Terimakasih:)🌸
IG: Jannah Sakinah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jannah sakinah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Namun, meskipun hidup mereka semakin harmonis, Aruna tidak bisa sepenuhnya menutup lembaran lama. Ada bagian dari dirinya yang tetap terhubung dengan masa lalu, meski dengan cara yang lebih tenang. Revan, meskipun tidak lagi hadir dalam kehidupannya secara fisik, terkadang masih muncul dalam pikiran Aruna. Bagaimana pun juga, ia pernah menjadi bagian besar dari hidupnya. Tetapi kali ini, Aruna merasa cukup kuat untuk menghadapi masa lalu tanpa jatuh ke dalamnya.
Sore itu, setelah seharian bekerja, Aruna dan Rio berjalan-jalan di taman kota yang sejuk. Mereka tidak memiliki tujuan khusus, hanya menikmati kebersamaan mereka. Rio menggenggam tangan Aruna dengan erat, dan meskipun di sekitar mereka banyak orang yang sibuk, Aruna merasa seolah dunia hanya milik mereka berdua.
“Terkadang aku merasa seperti kita sudah berada di sini begitu lama,” kata Rio sambil tersenyum, “berjalan bersama, berbicara tentang masa depan, dan membayangkan apa yang akan kita capai bersama.”
Aruna menatap Rio dengan senyum lembut. “Aku juga merasa begitu. Rasanya seperti hidup ini baru saja dimulai, seperti ada begitu banyak hal yang ingin kita capai.”
“Pasti,” jawab Rio. “Kita bisa mencapainya bersama-sama, Aruna. Aku yakin dengan kita.”
Aruna terdiam, matanya menatap jalanan yang penuh dengan pepohonan hijau dan bunga yang sedang mekar. Terkadang, ia merasa dunia ini begitu besar, dengan banyak kemungkinan yang menantinya. Tetapi di saat yang sama, ia merasa nyaman dalam kehadiran Rio. Tidak ada keraguan, tidak ada ketakutan. Hanya rasa aman dan nyaman yang terus tumbuh.
Beberapa hari kemudian, Aruna menerima pesan singkat yang tak terduga. Itu adalah pesan dari Revan. Meskipun ia sudah mengabaikan banyak pesan dari Revan sebelumnya, kali ini sesuatu dalam dirinya membuatnya merasa ingin membacanya.
“Halo, Aruna. Aku tahu mungkin ini datang terlalu terlambat, tapi aku ingin memberitahumu bahwa aku benar-benar menyesal atas semua yang terjadi di antara kita. Aku tidak pernah berniat menyakitimu, dan aku berharap kamu baik-baik saja.”
Pesan itu membuat hati Aruna berdebar sejenak. Tanpa sadar, ia menggenggam ponselnya lebih erat. Revan masih belum benar-benar melepaskannya, dan mungkin ia merasa ada sesuatu yang belum selesai. Tapi Aruna sudah tahu, ia tidak perlu lagi memberi ruang bagi penyesalan itu.
Dia menulis balasan dengan hati yang tenang. “Revan, aku sudah memaafkanmu. Aku tahu kamu tidak sengaja menyakitiku, dan aku menghargai permintaan maafmu. Tapi aku sudah melangkah jauh. Aku sudah menemukan jalanku, dan aku baik-baik saja. Aku harap kamu juga menemukan kebahagiaanmu.”
Dengan sekali ketukan, Aruna mengirimkan pesan itu. Setelah itu, ia menatap layar ponselnya, merasa lebih lega. Mungkin ini adalah momen terakhir yang perlu ia hadapi dengan Revan. Aruna merasa dirinya semakin bebas dari bayang-bayang masa lalu, dan meskipun terkadang sulit, ia tahu itu adalah bagian dari proses penyembuhan.
Saat ia kembali duduk bersama Rio malam itu, ia merasakan perasaan yang tenang. Rio yang melihat wajah Aruna yang sedikit berubah, bertanya, “Apa yang terjadi, sayang?”
Aruna tersenyum padanya, meski ada sedikit rasa haru di dalam hatinya. “Tadi aku menerima pesan dari Revan. Hanya beberapa kalimat pendek, tapi... aku merasa ini adalah akhir dari semuanya.”
Rio menggenggam tangan Aruna dengan lembut. “Kamu sudah mengambil keputusan yang tepat, Aruna. Tidak ada lagi yang perlu dipikirkan. Kita ada di sini, dan masa depan kita adalah yang paling penting sekarang.”
Aruna mengangguk, merasakan ketulusan dalam kata-kata Rio. “Aku tahu. Aku merasa jauh lebih kuat sekarang, Rio. Kita sudah sampai di titik yang benar-benar membuatku merasa bisa melanjutkan hidup tanpa rasa sakit.”
Malam itu, mereka berdua duduk di balkon apartemen mereka, menikmati malam yang tenang. Bintang-bintang terlihat jelas di langit, dan angin sepoi-sepoi mengusap kulit mereka. Aruna merasa hatinya penuh dengan rasa syukur, dan dia tahu bahwa kehidupan yang mereka jalani bersama Rio adalah langkah pertama yang benar.
Ketika Aruna memandang Rio, ia merasa tidak ada lagi beban yang menghalangi jalannya. Masa lalunya sudah ia tinggalkan, dan ia siap untuk menjalani masa depan yang penuh dengan harapan dan kebahagiaan. Cinta yang mereka bangun tidak hanya berdasarkan kebersamaan, tetapi juga pada pemahaman yang mendalam, saling mendukung, dan menerima satu sama lain apa adanya.
“Aku ingin kita selalu seperti ini, Rio,” kata Aruna dengan suara lembut, penuh keyakinan. “Berjalan bersama, berbagi impian, dan terus saling mendukung.”
Rio menatapnya dengan penuh kasih sayang, seolah dia sudah tahu apa yang ada di dalam hati Aruna. “Aku ingin itu juga, Aruna. Aku ingin kita terus bersama, meraih impian kita, dan menghadapinya bersama-sama.”
Kebahagiaan itu terasa begitu nyata bagi Aruna. Ia tahu bahwa cinta yang ia miliki sekarang adalah cinta yang benar, cinta yang tidak lagi terikat oleh masa lalu yang menyakitkan. Dengan Rio, Aruna menemukan kedamaian, dan itu adalah hal yang selama ini ia cari.
Dengan langkah baru yang penuh keyakinan, Aruna melangkah ke masa depan yang tak hanya cerah, tetapi juga penuh dengan cinta yang terus tumbuh, tanpa keraguan, tanpa penyesalan. Di samping Rio, ia merasa siap untuk menghadapi apapun yang datang. Karena kini, hidupnya tidak lagi terbebani oleh apa yang telah berlalu, tetapi dipenuhi dengan kemungkinan dan harapan yang tak terbatas.
Malam itu, Revan berdiri sendirian di depan jendela besar ruang kerjanya, memandangi langit Jakarta yang kelam dan gerimis. Kilatan cahaya dari gedung-gedung pencakar langit memantul di bola matanya yang kosong. Sudah berminggu-minggu berlalu sejak ia menerima pesan terakhir dari Aruna, pesan singkat yang menandai akhir dari segalanya.
Ia membacanya berulang kali. Kata-kata itu sopan, tenang, dan damai—namun di baliknya, ada jarak yang tak bisa lagi ia jangkau. Aruna telah menutup pintu, pintu yang dulu ia biarkan terbuka selama bertahun-tahun, meski penuh luka.
Revan menghela napas panjang. Ia merasakan kekosongan yang sulit dijelaskan. Bukan karena kehilangan secara fisik, tapi karena kesadaran yang datang terlambat. Ia akhirnya mengerti, bahwa semua yang ia abaikan dulu, kini menjadi sesuatu yang sangat ia dambakan.
Selama ini, ia hidup dalam bayang-bayang masa lalu, mengejar Luna, wanita yang pernah membuat hatinya hancur. Ia pikir, jika bisa mendapatkan kembali Luna, semuanya akan baik-baik saja. Namun kini, bahkan bayangan Luna pun tak mampu menenangkan hatinya. Justru sosok Aruna-lah yang terus menghantui pikirannya—tawanya, kesabarannya, bahkan keheningannya.
“Pak Revan, maaf mengganggu,” suara sekretarisnya memecah lamunannya. “Ada Pak Dion dari divisi hukum yang ingin bicara soal dokumen merger.”
Revan hanya mengangguk. “Tunda. Sampai besok.”
Sekretaris itu tampak ragu, tapi tidak berani membantah. Ia keluar perlahan, meninggalkan Revan dalam diam yang lebih dalam.