Satu malam yang tak pernah ia inginkan mengubah seluruh hidup Serene Avila. Terbangun di samping pria asing, ia memilih kabur tanpa menoleh—tak tahu bahwa pria itu adalah Raiden Varendra, konglomerat muda yang bisa mengguncang seluruh kota hanya dengan satu perintah. Dua bulan kemudian, Serene hamil… kembar. Di tengah panik dan putus asa, ia memutuskan mengakhiri kehamilan itu. Hingga pintu rumah sakit terbuka, dan pria yang pernah ia tinggalkan muncul dengan tatapan membelenggu.
“Kau tidak akan menyentuh anak-anakku. Mulai sekarang, kau ikut aku!”
Sejak saat itu, hidup Serene tak lagi sama.
Dan ia sadar, kabur dari seorang konglomerat adalah keputusan terburuk yang pernah ia buat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Indriani_LeeJeeAe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4 > Sangkar Emas
Mobil hitam itu melaju mulus di jalanan kota yang perlahan berubah. Gedung-gedung tua dan gang sempit berganti dengan bangunan tinggi berlapis kaca, lampu-lampu jalan yang tersusun rapi, serta gerbang-gerbang besar dengan penjagaan ketat. Serene Avila duduk kaku di kursi belakang. Tangannya saling menggenggam di pangkuan, jemarinya terasa dingin.
Setiap detik yang berlalu terasa seperti menjauhkannya dari hidup sederhana yang selama ini ia kenal. Ia menoleh ke luar jendela, berusaha menghafal jalan—meski jauh di dalam hatinya, ia tahu… jalan pulang mungkin tak lagi sama. Raiden duduk di sampingnya. Tegap... diam... wajahnya tak menunjukkan emosi apa pun. Hening di antara mereka terasa berat.
Serene ingin bertanya banyak hal. Tentang ke mana mereka pergi. Tentang apa yang akan terjadi padanya. Tentang masa depannya. Tentang bayi-bayi itu.
Namun setiap kali ia melirik Raiden, kata-kata itu seakan tersangkut di tenggorokan. Pria itu terlalu tenang. Terlalu menguasai keadaan. Mobil akhirnya berhenti di depan sebuah gerbang besi raksasa. Logo “V” berwarna emas terukir megah di tengahnya.
Penjaga berseragam hitam membungkuk hormat begitu mobil mendekat. Gerbang terbuka perlahan, memperlihatkan jalan panjang yang diapit taman hijau tertata sempurna. Serene menahan napas. Ini bukan rumah. Ini… istana.
Bangunan utama berdiri megah di ujung jalan—arsitektur modern dengan sentuhan klasik. Lampu-lampu temaram menyinari dinding putihnya, menciptakan kesan dingin namun mewah. “Ini rumahku,” ujar Raiden akhirnya, suaranya datar.
Serene menelan ludah. Mobil berhenti tepat di depan pintu utama. Pintu dibukakan oleh seorang pria paruh baya berpakaian rapi. “Selamat datang, Tuan Raiden,” ucapnya hormat. Lalu pandangannya beralih pada Serene, penuh selidik namun tetap sopan. “Nona.”
Serene hanya mengangguk kecil. Begitu kakinya menapak lantai marmer, perasaan asing langsung menyergap. Rumah itu terlalu besar. Terlalu sunyi. Terlalu sempurna.
Setiap sudutnya berkilau, seolah tidak memberi ruang bagi ketidaksempurnaan. Dan Serene merasa… sangat tidak pantas berada di sana. “Bawa Nona Serene ke kamar tamu di sayap timur,” perintah Raiden pada pria itu. “Panggil dokter pribadi. Sekarang!”
“Baik, Tuan.”
Serene menoleh cepat. “Dokter? Aku baik-baik saja—”
“Bukan untukmu,” potong Raiden singkat. “Untuk memastikan kondisi kehamilanmu.”
Kata kehamilan itu membuat jantung Serene berdebar keras. Ia mengikuti langkah pria itu menyusuri lorong panjang. Dinding-dindingnya dihiasi lukisan mahal, langit-langitnya tinggi dengan lampu kristal menggantung anggun. Sepatu Serene terasa terlalu biasa di tempat semewah itu.
Kamar yang disiapkan untuknya… lebih besar dari seluruh kontrakannya. Tempat tidur besar dengan seprai putih bersih, sofa empuk, meja rias elegan, bahkan balkon yang menghadap taman belakang. Semuanya tampak seperti kamar hotel bintang lima. “Silakan beristirahat, Nona,” ucap pria itu sebelum pergi.
Begitu pintu tertutup, Serene berdiri terpaku di tengah ruangan. Lalu… kakinya melemah. Ia duduk di tepi ranjang, menunduk, dan akhirnya menangis. Tangis yang selama ini ia tahan. Tangis ketakutan, kebingungan, dan rasa kehilangan kendali atas hidupnya sendiri.
“Apa yang terjadi dengan hidupku…” gumamnya lirih.
***
Beberapa jam kemudian, pemeriksaan selesai. Dokter wanita paruh baya itu tersenyum profesional. “Kehamilannya sehat,” ujarnya. “Dua janin berkembang baik. Ibu hanya perlu istirahat cukup dan menghindari stres.”
Serene tersenyum tipis, matanya berkaca-kaca. “Terima kasih…”
Dokter itu pamit. Tak lama kemudian, pintu kamar diketuk. Raiden masuk. Serene refleks berdiri, gugup. “Kau tidak perlu berdiri,” ujar Raiden. “Duduk saja.”
Nada suaranya bukan perintah keras, tapi tetap membuat Serene patuh. Raiden berdiri di dekat jendela, kedua tangannya dimasukkan ke saku celana. Cahaya sore menyinari sisi wajahnya, mempertegas garis tegas rahangnya. “Aku sudah mengatur semuanya,” katanya tanpa menoleh. “Kuliahmu akan tetap berjalan. Kau tidak akan kehilangan beasiswamu.”
Serene terbelalak. “Bagaimana kamu—”
“Aku tahu apa yang penting bagimu,” potong Raiden. “Dan aku tidak berniat menghancurkannya.”
Hening sejenak.
“Kenapa?” tanya Serene akhirnya. “Kenapa sejauh ini?”
Raiden berbalik, menatapnya lurus.
“Karena itu tanggung jawabku.”
“Karena anak-anak itu?” suara Serene bergetar.
“Ya.”
“Hanya itu?” tanyanya lagi, lebih pelan.
Raiden terdiam. Untuk sesaat, ekspresinya sulit dibaca. “Kau berharap jawaban lain?” tanyanya balik.
Serene menggeleng cepat. “Tidak. Aku hanya… ingin tahu posisiku di sini.”
Raiden mendekat, berhenti beberapa langkah darinya.
“Kau tamuku,” ujarnya. “Dan ibu dari anak-anakku.”
“Bukan istrimu,” ucap Serene lirih.
Tatapan Raiden mengeras sesaat. “Belum.”
Satu kata itu membuat jantung Serene berdegup tidak karuan. “Tenang,” lanjut Raiden datar. “Aku tidak akan memaksamu menikahiku sekarang.”
Sekarang. Kata itu bergema di kepala Serene.
“Namun ada satu hal yang harus kau pahami,” lanjut Raiden. “Selama kau di sini, keselamatanmu adalah prioritasku. Kau tidak boleh pergi sembarangan.”
Serene menegakkan tubuh. “Apa maksudmu?”
“Duniaku tidak sesederhana dunia kampusmu,” jawab Raiden. “Banyak orang yang akan menggunakanmu jika tahu tentang kehamilan ini.”
Serene memeluk dirinya sendiri.
“Jadi… aku dikurung?”
Raiden menatapnya lama. “Aku menyebutnya dilindungi.”
Serene tertawa kecil, getir. “Kedengarannya sama saja.”
Raiden tidak menyangkal.
***
Malam itu, Serene berdiri di balkon kamarnya. Angin malam menyentuh rambutnya yang tergerai. Dari kejauhan, lampu kota berkelip indah—namun terasa begitu jauh. Ia mengusap perutnya perlahan. “Maaf…” bisiknya. “Ibu belum tahu bagaimana melindungi kalian.”
Pintu balkon terbuka. Raiden berdiri di ambang pintu, membawa segelas susu hangat. “Minum,” katanya singkat.
Serene menerimanya ragu. “Terima kasih.” Ia meminumnya secara perlahan.
“Kau tidak perlu takut padaku,” ujar Raiden tiba-tiba.
Serene menoleh.
“Aku mungkin terlihat seperti monster yang menyeretmu ke dunia asing,” lanjutnya, suaranya lebih rendah. “Tapi aku tidak akan menyakitimu.”
Serene menatapnya lekat-lekat. “Lalu kenapa aku merasa seperti kehilangan kebebasanku?” tanyanya jujur.
Raiden terdiam. “Karena kebebasan sering kali harus dikorbankan demi keselamatan,” jawabnya akhirnya.
Jawaban itu tidak menenangkan Serene. Namun ada satu hal yang ia sadari—Raiden tidak berbohong. Pria itu hanya… terlalu terbiasa mengendalikan segalanya. “Apa yang akan kamu lakukan padaku setelah anak-anak itu lahir?” tanya Serene pelan.
Raiden menatap langit malam sebelum menjawab.
“Itu tergantung pada satu hal.”
“Apa?”
“Apakah kau akan memilih bertahan… atau melarikan diri lagi.”
Serene menahan napas. Tatapan mereka bertaut lama, penuh ketegangan yang sulit dijelaskan. Di dalam hatinya, Serene tahu... hidupnya telah berubah selamanya. Dan yang paling menakutkan—
ia tidak tahu apakah Raiden Varendra adalah pelindung… atau penjara terindah yang akan menelannya secara perlahan.
***
Stay tune