menceritakan sang pangeran bernama iglesias Lucyfer seorang pangeran yang manja dan kekanak-kanakan suatu hari dia dan kakak perempuan Lucyfer iglesias Elice ingin menjadi penyihir high magnus dan bertahun tahun berlalu di mana saat sang kakak kembali lagi ke kerajaan vantier Elice berubah pesat dan menjadi sangat dingin, perfeksionis,fokus dan tak peduli dengan siapapun bahkan Elice malah menantang sang adik dan bertarung dengan sang adik tetapi sang adik tak bisa apa apa dan kalah dalam satu teknik sihir Elice,dan Elice mulai menyadarkan Lucyfer kalau penyihir seperti nya tak akan berkembang dan membuat lucyfer tetap di sana selama nya dan sang adik tak menyerah dia ke akademi yang sama seperti kakak nya dan mulai bertekad menjadi high magnus dan ingin membuktikan kalau diri nya sendiri bisa jadi high magnus tanpa kakak nya dan Lucyfer akan berjuang menjadi yang terhebat dengan 15 teman teman nya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nakuho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 4:hal yang membuat nya berubah
Akademi Sihir Agreta berdiri megah di atas dataran tinggi, dikelilingi menara batu putih dan lingkaran sihir kuno yang terus berputar perlahan. Angin di tempat itu selalu dingin—seolah menguji tekad setiap penyihir yang melangkah masuk.
Di gerbang utama, dua sosok berjalan berdampingan.
Seorang wanita berpakaian putih, kainnya berkibar pelan. Rambutnya hitam kemerahan, matanya tertutup rapat. Di tangannya, sebuah biwa sihir tergenggam erat dia adalah seraphina lyricelle.
Dan di sisinya—
Iglesias Elice.
Rambut putihnya tertiup angin, mata merahnya lembut namun menyimpan tekad. Ia melangkah masuk ke akademi itu dengan satu tujuan:
menjadi High Magnus.
Bulan demi bulan berlalu.
Pelatihan Agreta tidak mengenal belas kasihan.
Elice memaksakan diri—terlalu keras, terlalu cepat. Ia menolak berhenti meski tubuhnya memberi tanda peringatan. Hingga suatu hari, di tengah latihan sihir es, pandangannya berputar.
Napasnya tercekik.
Ia terjatuh berlutut—darah hangat menodai lantai batu.
“Elice!”
suara instruktur terdengar jauh.
Namun Elice hanya menggenggam tanah, menahan gemetar.
Belum cukup…
Aku belum cukup kuat…
Misi lapangan pertama menghancurkan ilusi yang tersisa.
Desa terbakar. Mayat berserakan. Teriakan orang-orang yang tak bisa diselamatkan.
Elice berdiri kaku.
Inilah dunia sihir yang sebenarnya—
bukan kejayaan, bukan kehormatan,
melainkan pilihan kejam.
Beberapa murid muntah.
Beberapa menangis.
Beberapa… mundur.
Elice mengepalkan tangannya.
Seraphina berdiri di sampingnya, menunduk, biwa tergenggam erat.
Ia tidak lari.
Ia tidak berbicara.
Ia tetap di sana.
Hari perekrutan High Magnus pun tiba.
Arena luas itu dipenuhi sorak penonton dan aura sihir yang menekan dada. Elice berdiri di tengah lapangan, kipas emasnya tertancap di tanah.
Napasnya terengah.
Di sekelilingnya—
rekan setimnya tergeletak, tak mampu bangkit.
Satu per satu, High Magnus veteran menyerang. Cepat. Tanpa ragu. Tanpa ampun.
Elice terpental, jatuh, bangkit—lalu jatuh lagi.
Kenapa…
Kenapa dunia sihir sekejam ini…
Aku bahkan tak sempat berbuat apa-apa…
Seraphina mencoba melangkah maju.
Namun seseorang menginjak tangannya.
Biwa hampir terlepas.
Ia menahan suara.
Elice melihat itu—
dan dadanya terasa kosong.
Aku gagal.
Aku tetap lemah.
Gelap menyelimuti pikirannya.
Kenapa…
Kenapa aku selalu gagal…
Lalu—
Sebuah suara muncul dari masa lalu.
“Kita akan jadi High Magnus bersama ya, Kakak.”
Taman kerajaan.
Langit biru.
Janji polos itu.
Tubuh Elice bergetar.
Ia bangkit perlahan—kepalanya menunduk, rambut putih menutupi matanya.
Oh…
Begitu rupanya.
Aku tahu sekarang.
Apa yang menahanku selama ini.
Lucyfer…
Janji itu.
Ikatan itu… hanya membuatku lemah.
Wajahnya terangkat.
Tatapan hangat itu—lenyap.
“Menjijikkan.”
Udara di arena berubah.
Elice mengambil kuda-kuda.
“Sihir Es,” ucapnya datar.
“Pusaran Es Berkabut.”
Dunia membeku.
Kabut es menyelimuti arena. Tanah membentuk kristal. Suara teriakan terhenti satu per satu—digantikan bunyi retakan es.
Para penyihir tak sempat bereaksi.
Mereka tumbang.
Membeku.
Tanpa ampun.
Seraphina mengangkat kepalanya.
Ia tak bisa melihat—
namun ia merasakan perubahan itu.
“Nona Elice…”
“Anda… berubah…”
Tak ada jawaban.
Saat kabut memudar, sebuah gundukan es raksasa berdiri di tengah arena—di dalamnya, semua peserta yang telah dikalahkan.
Sorak sorai meledak.
“LUAR BIASA!”
“MONSTER!”
“HIGH MAGNUS MASA DEPAN!”
Namun Elice tidak tersenyum.
Ia jatuh berlutut di samping Seraphina.
Tubuhnya gemetar. Napasnya berat.
Seraphina tersenyum lemah.
“Nona Elice…”
“Maafkan aku… karena aku lemah…”
Kalimat itu terputus.
Seraphina pingsan di hadapannya.
Elice menatap tangannya sendiri—
dingin, kosong.
Dan di kejauhan,
sebuah janji lama perlahan mulai retak.