NovelToon NovelToon
Fragmen Yang Tertinggal

Fragmen Yang Tertinggal

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Seiring Waktu / Romansa / Enemy to Lovers / Cintapertama / Cinta Murni / Berbaikan
Popularitas:27
Nilai: 5
Nama Author: tanty rahayu bahari

​Di antara debu masa lalu dan dinginnya Jakarta, ada satu bangunan yang paling sulit direnovasi: Hati yang pernah patah.
​Lima tahun lalu, Kaluna Ayunindya melakukan kesalahan terbesar dalam hidupnya: meninggalkan Bara Adhitama—pria yang memujanya—dan cincin janji mereka di atas meja nakas tanpa sepatah kata pun penjelasan. Ia lari ke London, membawa rasa bersalah karena merasa tak pantas bersanding dengan pewaris tunggal Adhitama Group.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 7: Meja untuk Tiga

​Jam dinding menunjukkan pukul tujuh malam. Kaluna baru saja mematikan laptopnya setelah menyelesaikan revisi MEP yang "mendesak" (baca: dibuat-buat) itu. Punggungnya terasa remuk, tapi setidaknya ia bisa pulang.

​Atau begitulah rencananya.

​Ponselnya berdering. Nama Julian Pradana muncul di layar.

​"Halo, Julian?"

​"Kaluna! Saya baru saja mendarat di restoran saya di Senopati. Kebetulan saya sedang finalizing menu Wine Pairing untuk pembukaan Hotel Menteng nanti. Saya butuh second opinion soal tata letak bar counter agar sesuai dengan alur penyajian. Kamu bisa mampir sebentar? Sekalian makan malam, my treat."

​Kaluna menggigit bibir. Itu alasan profesional yang sangat masuk akal. Sebagai arsitek, ia memang harus memastikan desain interiornya mendukung operasional restoran.

​"Boleh, Julian. Kebetulan saya baru selesai di kantor. Saya meluncur ke sana."

​"Bagus. Sampai jumpa."

​Kaluna menutup telepon, merapikan rambutnya yang sedikit berantakan di pantulan layar laptop, lalu menyambar tasnya. Ia berjalan keluar dari kubikel menuju lift.

​Namun, langkahnya terhenti tepat di depan lift eksekutif. Pintu lift terbuka, menampilkan sosok Bara Adhitama yang juga hendak pulang. Pria itu mengenakan kemeja hitam dengan lengan digulung, jasnya tersampir di lengan.

​Mereka bertatapan.

​"Mau ke mana?" tanya Bara tajam, matanya menyapu penampilan Kaluna yang tampak buru-buru. "Bukannya kamu bilang mau pulang istirahat?"

​"Ada meeting dadakan di luar, Pak," jawab Kaluna jujur, menekan tombol down.

​Alis Bara menukik. "Jam tujuh malam? Dengan siapa?"

​"Julian. Dia minta masukan soal desain bar restoran untuk wine pairing."

​Wajah Bara seketika berubah keruh. Rahangnya mengeras. "Di restorannya?"

​"Iya."

​Bara mendengus kasar. "Taktik murahan. Dia cuma mau mengajakmu kencan berkedok pekerjaan."

​"Pak Bara," Kaluna memperingatkan, lelah dengan sikap bosnya. "Ini benar-benar soal pekerjaan. Kalau desain barnya salah, operasional hotel Bapak juga yang terganggu."

​Lift berdenting terbuka. Kaluna masuk. Bara ikut masuk.

​"Saya ikut," kata Bara tiba-tiba saat pintu lift tertutup.

​Kaluna melongo. "Apa?"

​"Saya ikut," ulang Bara, menatap lurus ke pintu lift dengan wajah tanpa ekspresi. "Saya pemilik hotelnya. Kalau ada pembahasan soal desain bar di properti saya, saya berhak tahu."

​"Tapi... ini cuma diskusi santai sambil makan malam, Pak. Bapak tidak perlu repot—"

​"Saya lapar," potong Bara, menoleh menatap Kaluna dengan tatapan menantang. "Dan saya tidak percaya selera Julian. Saya harus memastikan menu yang dia sajikan layak untuk standar Adhitama Group."

​Kaluna memijat keningnya. Dia tahu tidak ada gunanya berdebat. Bara Adhitama kalau sudah keras kepala, batu karang pun kalah.

​"Terserah Bapak," desah Kaluna pasrah.

​Restoran Savory di kawasan Senopati memiliki atmosfer yang sangat romantis. Lampu-lampu gantung kristal yang redup, alunan musik jazz live yang lembut, dan aroma masakan Prancis yang menggoda.

​Julian sudah duduk di salah satu meja terbaik di dekat jendela, tersenyum lebar saat melihat Kaluna masuk. Ia berdiri, merentangkan tangan menyambut.

​"Kaluna! Terima kasih sudah datang, kamu terlihat..."

​Senyum Julian membeku di udara saat melihat sosok tinggi besar yang berjalan tepat di belakang Kaluna seperti bodyguard yang siap membunuh.

​Bara Adhitama.

​"...dan Pak Bara," lanjut Julian, nadanya turun satu oktaf. Ia menurunkan tangannya dengan canggung. "Kejutan yang... menyenangkan."

​Bara menarik kursi di sebelah Kaluna dan langsung duduk tanpa dipersilakan. Ia menatap Julian datar. "Lanjutkan pujianmu tadi. Kaluna terlihat apa?"

​Julian berdeham, berusaha mengembalikan karismanya. Ia tersenyum miring. "Terlihat lelah. Anda pasti memberinya banyak pekerjaan hari ini, Pak CEO."

​"Kerja keras adalah budaya perusahaan kami," balas Bara santai, mengambil serbet kain dan meletakkannya di pangkuan dengan gerakan elegan. "Lagipula, saya di sini untuk memastikan diskusi ini tetap pada jalur bisnis, bukan flirting."

​Kaluna ingin sekali menenggelamkan dirinya di bawah meja. Pelayan datang dengan wajah bingung melihat komposisi meja itu: satu wanita cantik diapit dua pria tampan yang saling memancarkan aura permusuhan.

​"Menu untuk Bapak?" tanya pelayan gugup.

​"Saya pesan sama seperti Pak Julian," kata Kaluna cepat, ingin segera mengakhiri proses pemesanan.

​"Ah, pilihan bagus," Julian tersenyum manis pada Kaluna. "Malam ini Chef's Special kita adalah Pan-Seared Scallop with Truffle Oil. Kerangnya didatangkan segar dari Hokkaido pagi ini. Teksturnya lembut sekali, cocok buat kamu, Kal."

​"Kedengarannya enak," Kaluna mengangguk sopan.

​"Batal," suara bariton Bara memotong.

​Kaluna dan Julian menoleh.

​Bara menutup buku menu dengan keras. Ia menatap pelayan itu, lalu menunjuk Kaluna. "Ganti pesanan dia. Wagyu Tenderloin, Medium Well. Saus Mushroom. Kentang tumbuk, bukan goreng."

​"Eh?" Kaluna ternganga. "Tapi saya mau coba Scallop—"

​"Kamu alergi kerang, Kaluna," ujar Bara dingin, matanya menatap lurus ke mata Kaluna. Tatapan yang seolah berkata: Jangan pura-pura lupa.

​Hening.

​Kaluna terdiam. Dia memang alergi kerang. Dulu, lima tahun lalu, dia pernah masuk UGD gara-gara makan kerang hijau di Ancol, dan Bara-lah yang menggendongnya panik ke mobil jam dua pagi. Kaluna lupa bahwa Scallop adalah kerang. Dia terlalu gugup dengan situasi ini sampai melupakan detail kesehatannya sendiri.

​Julian tampak terkejut. Ia menatap Kaluna prihatin. "Oh ya ampun, Kaluna. Saya nggak tahu. Maafkan saya. Untung Pak Bara ingat."

​"Saya ingat setiap detail tentang aset saya," jawab Bara ambigu. Entah 'aset' yang dimaksud adalah karyawan atau Kaluna sebagai miliknya.

​"Oke, Wagyu untuk Nona," catat pelayan itu cepat. "Minumannya?"

​"Ada Sparkling Wine baru yang..." Julian mencoba menawarkan.

​"Air mineral. Dingin. Tanpa es batu," potong Bara lagi. "Dia gampang radang tenggorokan kalau minum es malam-malam."

​Kali ini Julian terdiam cukup lama. Ia menatap Bara dengan tatapan baru—tatapan menilai. Seolah baru menyadari bahwa saingannya ini bukan sekadar bos yang galak, tapi seseorang yang mengenal Kaluna jauh lebih dalam daripada dirinya.

​Kaluna hanya menunduk, memainkan ujung taplak meja. Jantungnya berdebar tidak karuan. Perhatian Bara yang mendetail ini membuat perasaannya campur aduk. Bara masih ingat hal-hal kecil tentang dirinya—hal-hal sepele seperti "tanpa es batu".

​Makanan datang lima belas menit kemudian. Suasana makan malam itu lebih mirip upacara pemakaman daripada diskusi bisnis.

​Julian, yang pantang menyerah, mencoba mencairkan suasana.

​"Jadi, Kaluna," Julian memotong daging steak-nya dengan anggun. "Saya dengar kamu dulu kuliah di London? Saya juga sempat ambil kursus Pastry di Paris. Kita pasti punya banyak kesamaan soal selera Eropa."

​"Oh ya?" Kaluna mencoba antusias. "Saya suka arsitektur klasik Eropa. Bangunan tua di sana sangat terawat."

​"Betul! Romantis sekali, kan? Berjalan di pinggir sungai Seine atau Thames..." Julian mencondongkan tubuhnya sedikit. "Mungkin kapan-kapan kita bisa liburan bareng ke sana? Riset arsitektur sambil kulineran?"

​TRAK.

​Bunyi garpu yang dibanting pelan ke piring terdengar dari sisi Bara.

​"Restoran ini bising sekali," komentar Bara tiba-tiba, padahal musik jazz hanya mengalun pelan. Ia menatap Julian tajam. "Bisa kita bahas desain bar counter sekarang? Saya punya rapat lain besok pagi."

​Julian menghela napas, meletakkan pisaunya. Ia menyadari bahwa tidak mungkin menggoda Kaluna selama ada "anjing penjaga" di sebelahnya.

​"Baiklah," Julian mengalah. Ia mengambil iPad-nya. "Ini layout barnya. Saya mau counter-nya lebih rendah supaya interaksi bartender dan tamu lebih intim."

​Diskusi teknis pun dimulai. Kaluna kembali ke mode profesionalnya, menjelaskan tentang rasio ketinggian dan ergonomi. Namun, setiap kali Julian mencoba duduk agak dekat untuk melihat layar iPad Kaluna, Bara akan berdeham keras atau menggeser gelas airnya dengan kasar ke tengah meja, menciptakan barikade fisik.

​Satu jam berlalu penuh siksaan.

​"Sudah cukup," Bara memutuskan sepihak saat melihat Kaluna menguap kecil yang disembunyikan. Ia melirik jam tangannya. "Arsitek saya butuh istirahat agar otaknya berfungsi besok."

​Bara berdiri, mengambil dompetnya dan melempar kartu Black Card ke atas meja. "Saya yang bayar."

​"Hei, ini restoran saya, Pak," tolak Julian tertawa. "Tentu saja gratis untuk Kaluna."

​"Saya tidak suka berhutang budi," balas Bara kaku. "Terutama pada kompetitor."

​"Kompetitor bisnis?" tanya Julian alis terangkat.

​"Kompetitor dalam segala hal," jawab Bara penuh arti.

​Kaluna buru-buru berdiri, takut mereka akan mulai adu jotos di antara piring kotor. "Terima kasih makan malamnya, Julian. Makanannya enak sekali."

​Julian tersenyum lembut, meraih tangan Kaluna untuk menjabatnya. "Senang bisa makan denganmu, Kal. Lain kali... mungkin cuma berdua?"

​Bara langsung menyambar lengan Kaluna sebelum Julian sempat mencium tangan wanita itu.

​"Ayo pulang," perintah Bara, menarik Kaluna menjauh.

​Mereka berjalan keluar restoran menuju area parkir valet. Angin malam Jakarta menerpa wajah Kaluna yang terasa panas.

​"Bapak keterlaluan di dalam tadi," protes Kaluna saat mereka menunggu mobil. "Julian cuma berusaha ramah."

​"Dia bukan ramah, dia predator," dengus Bara. Ia menoleh menatap Kaluna, matanya berkilat marah di bawah lampu jalan. "Dan kamu? Kamu lupa kalau kamu alergi kerang? Kalau saya tidak ada, kamu sudah sesak napas sekarang."

​"Saya lupa karena saya gugup!" bantah Kaluna.

​"Gugup kenapa? Karena duduk dengan koki itu?"

​"Karena Bapak ada di sana menatap kami seperti mau membunuh orang!" seru Kaluna frustrasi. "Kenapa sih Bapak peduli? Kita sudah selesai, Bara. Lima tahun lalu. Apa yang saya makan, dengan siapa saya pergi, itu bukan urusan Bapak lagi!"

​Bara terdiam. Rahangnya mengetat. Ia maju selangkah, mengurung Kaluna di antara tubuhnya dan pilar lobi restoran.

​"Kamu pikir saya peduli karena saya mau?" desis Bara, suaranya rendah dan penuh emosi tertahan. "Saya sudah mencoba, Kaluna. Saya sudah mencoba membencimu setengah mati. Saya mencoba melupakanmu, melupakan alregimu, melupakan suaramu..."

​Bara menunduk, wajahnya begitu dekat hingga Kaluna bisa melihat bayangan dirinya di mata cokelat itu.

​"...tapi sialnya, tubuh dan otak saya masih bereaksi untuk melindungimu. Dan itu membuat saya gila."

​Kaluna terpaku. Napasnya tercekat. Pengakuan itu begitu jujur dan menyakitkan.

​Mobil Bara—sedan hitam mengkilap—berhenti di depan mereka. Petugas valet keluar dan membukakan pintu.

​Bara mundur perlahan, melepaskan kungkungannya. Wajahnya kembali datar, seolah momen emosional barusan tidak pernah terjadi.

​"Masuk," perintah Bara dingin, tidak menatap Kaluna. "Saya antar pulang. Tidak ada bantahan."

​Malam itu, di dalam mobil yang hening, Kaluna menyadari satu hal: Bara tidak membencinya. Bara hanya terluka parah. Dan luka itu... masih bernama Kaluna.

BERSAMBUNG...

Terima kasih telah membaca💞

Jangan lupa bantu like komen dan share❣️

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!