Feni sangat cemas karena menemukan artikel berita terkait kecelakaan orang tuanya dulu. apakah ia dan kekasihnya akan kembali mendapatkan masalah atau keluarganya, karena Rima sang ipar mencoba menyelidiki kasus yang sudah Andre coba kubur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sabana01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Boneka di Bawah Meja
Mobil hampir keluar dari kompleks ketika Feni tiba-tiba menegakkan tubuhnya.
“Lang,” ucapnya cepat.
Erlang langsung mengurangi kecepatan. “Kenapa?”
“Aku lupa sesuatu.”
Nada suara Feni terdengar ringan, tapi jemarinya saling meremas. Ada rasa tak nyaman yang sejak tadi mengendap—bukan panik, melainkan firasat bahwa ada bagian kecil dari hidupnya yang tertinggal.
“Baju?” tanya Erlang.
Feni menggeleng. “Boneka. Di kamarku. Di bawah meja.”
Erlang menoleh sekilas. Ia tak melihat kepanikan di wajah Feni, hanya kegelisahan yang sulit dijelaskan.
“Kita balik,” katanya singkat.
Rumah itu menyambut mereka dengan kesunyian yang sama seperti sebelumnya. Erlang memastikan pintu terkunci sebelum mereka naik ke lantai dua. Langkahnya selalu setengah langkah di depan Feni—kebiasaan yang tak pernah ia sadari, tapi selalu ia lakukan.
Feni langsung masuk ke kamarnya.
Ia berlutut di depan meja belajar. Di bawahnya, sebagian tertutup bayangan, tergeletak sebuah boneka kecil berbentuk beruang. Warnanya kusam, bahannya murah. Boneka yang selama ini ia anggap tak berarti.
Saat Feni meraihnya, ia terdiam.
Boneka itu terasa lebih berat dari seharusnya.
“Udah ketemu?” suara Erlang terdengar dari belakang.
“Iya,” jawab Feni cepat.
Ia menoleh sekilas ke arah Erlang yang berdiri di dekat pintu, lalu kembali menunduk. Jantungnya berdegup lebih cepat ketika jarinya meraba bagian belakang kepala boneka itu.
Ada garis tipis.
Dengan gerakan sangat pelan—nyaris tanpa suara—Feni menekannya.
Klik.
Bagian kecil itu terbuka.
Di dalamnya, tersembunyi sebuah flashdisk mini, menyatu rapi dengan badan boneka. Sekilas, nyaris tak terlihat jika tidak tahu harus mencari ke mana.
Napas Feni tercekat.
Dalam sepersekian detik, pikirannya dipenuhi potongan ingatan:
wajah Rima yang murung, pintu yang selalu dikunci, rasa takut yang tak pernah sempat diucapkan.
Feni menutup kembali boneka itu dengan cepat.
“Kenapa?” tanya Erlang. Ia menangkap perubahan kecil di wajah Feni.
“Nggak apa-apa,” jawab Feni sambil berdiri. “Cuma… bonekanya kotor.”
Ia tersenyum kecil—senyum yang dipaksakan tapi cukup meyakinkan.
Erlang menatapnya beberapa detik lebih lama dari biasanya. “Kamu yakin?”
Feni mengangguk. “Iya.”
Ia memasukkan boneka itu ke dalam tas kecilnya, menutup ritsleting dengan tenang. Tidak ada gerakan tergesa, tidak ada kepanikan yang kentara. Tapi di dalam dadanya, sesuatu bergetar hebat.
Erlang tidak tahu.
Dan untuk pertama kalinya… Feni memilih tidak memberi tahu.
Mereka turun ke lantai bawah tanpa banyak bicara. Erlang memastikan pintu terkunci kembali, lalu berjalan menuju mobil.
Di dalam mobil, Feni memandangi tas di pangkuannya.
Flashdisk itu terasa seperti beban kecil yang beratnya berlipat ganda.
Ia tahu Erlang akan melindunginya. Ia tahu Andre akan melakukan apa pun demi kebenaran. Tapi justru karena itu—
kalau benda ini berbahaya,
kalau seseorang sampai terluka lagi,
Feni tak yakin bisa memaafkan dirinya sendiri.
“Aku capek,” katanya pelan.
Erlang menoleh sekilas. “Habis ini kita langsung balik ke rumah Bunda. Kamu istirahat.”
Feni mengangguk.
Tangannya tanpa sadar memeluk tas itu lebih erat.
Ia belum tahu apa yang ada di dalam flashdisk itu.
Ia belum tahu siapa yang mencarinya.
Tapi satu hal sudah jelas—
Begitu ia memilih menyimpan rahasia ini sendiri,
tidak ada lagi jalan untuk benar-benar mundur.
Dan di balik wajah tenangnya,
Feni sedang berdiri di awal bahaya yang tak bisa ia ceritakan pada siapa pun.
...****************...