Mampukah janda muda menahan diri saat godaan datang dari pria yang paling tabu? Setelah kepergian suaminya, Ayana (26) berjuang membesarkan anaknya sendirian. Takdir membawanya bekerja di perusahaan milik keluarga suaminya. Di sana, pesona Arfan (38), paman direktur yang berkarisma, mulai menggoyahkan hatinya. Arfan, duda mapan dengan masa lalu kelam, melihat Ayana bukan hanya sebagai menantu mendiang kakaknya, melainkan wanita memikat yang membangkitkan gairah terpendam. Di antara tatapan curiga dan bisikan sumbang keluarga, mereka terjerat dalam tarik-ulur cinta terlarang. Bagaimana Ayana akan memilih antara kesetiaan pada masa lalu dan gairah yang tak terbendung, di tengah tuntutan etika yang menguji batas?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bangjoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 5: Teror Mata Vina
Pintu itu terbuka, dan Vina berdiri di ambang pintu, tatapan matanya menyapu ruangan dalam sekejap, berhenti tepat di antara Ayana dan Arfan yang berdiri terlalu dekat.
Jantung Ayana serasa melompat keluar dari dadanya. Wajahnya pasti memerah padam, bibirnya masih sedikit terbuka, sisa-sisa antisipasi ciuman Arfan masih terasa geli di kulitnya. Ia merasakan sensasi panas menjalar dari leher hingga pipinya. Sial, pikirnya. Sial!
Arfan bereaksi cepat, seperti seorang predator yang terganggu. Tubuhnya menegang sesaat, lalu relaksasi seketika. Sebuah senyum tipis, profesional, muncul di bibirnya yang beberapa detik lalu hampir menyentuh bibir Ayana. Matanya yang gelap, yang barusan memancarkan hasrat, kini dingin dan terkontrol.
“Vina? Ada apa?” suara Arfan tenang, tanpa cela, seolah tidak ada apa-apa yang baru saja terjadi. Nadanya formal, tanpa kehangatan yang tadi ia berikan pada Ayana.
Vina melangkah masuk, rambut hitamnya yang ditata rapi berayun lembut. Ia mengenakan blus sutra berwarna gelap yang menonjolkan kesan elegan, tapi tatapan matanya tajam dan menusuk. Ia berhenti beberapa langkah dari mereka, membiarkan pintu sedikit terbuka di belakangnya.
“Maaf mengganggu, Paman Arfan,” suara Vina terdengar manis, namun ada nada terselubung yang hanya bisa ditangkap oleh Ayana. “Saya hanya ingin mengonfirmasi jadwal *meeting* besok pagi dengan klien dari Surabaya. Dan kebetulan melihat Mbak Ayana masih di sini.”
Ayana menelan ludah. Kata ‘kebetulan’ itu seperti pisau kecil yang diukir dengan sarkasme. Vina tidak ‘kebetulan’ melihatnya. Vina pasti sengaja mengawasinya, menguntitnya. Rasa takut dan jengkel bercampur aduk dalam dirinya.
“Oh, itu,” Arfan berbalik, mengambil ponselnya dari meja dan berpura-pura mengecek sesuatu. Gerakan ini sempurna untuk menciptakan jarak fisik yang wajar antara dirinya dan Ayana. “Baiklah. Pastikan semua materi siap. Ayana, kamu tidak perlu khawatir soal itu, Vina yang akan menanganinya.”
Arfan menyertakan nama Ayana dalam percakapan itu, seolah menegaskan bahwa kehadiran Ayana di ruangan itu adalah bagian dari obrolan pekerjaan yang sah. Ayana mendongak, mencoba mengumpulkan kembali sisa-sisa ketenangannya.
“Iya, Pak Direktur,” Ayana berujar, suaranya sedikit serak. Ia memaksakan senyum tipis, mencoba terlihat profesional dan tidak terpengaruh. Tangan kanannya mencengkeram erat tepi meja di belakangnya, kuku-kukunya memutih.
Vina menatap Ayana. Tatapan itu menelanjangi, mencari celah, mencari bukti. Ayana merasa seperti tikus yang terpojok oleh kucing predator. Ia tahu Vina tidak akan melewatkan detail sekecil apa pun, dari rambutnya yang sedikit berantakan hingga napasnya yang masih sedikit terengah.
“Mbak Ayana sepertinya masih betah lembur di kantor ya?” Vina tersenyum, senyum yang tidak sampai ke matanya. “Sudah jam segini lho. Nanti anak di rumah menunggu.”
Seketika itu juga, rasa bersalah menghantam Ayana. Bayangan wajah mungil Kirana terlintas di benaknya. Apa yang hampir ia lakukan? Membiarkan dirinya terbawa suasana dengan paman mendiang suaminya, di kantor mendiang suaminya, ketika anaknya menunggu di rumah? Dosa macam apa ini?
“Saya hanya menyelesaikan sedikit pekerjaan, Mbak Vina,” Ayana menjawab, mencoba agar suaranya terdengar stabil. “Sebentar lagi saya pulang.”
Arfan melirik Vina, lalu ke Ayana, sebuah kerutan tipis muncul di dahinya. Ia bisa merasakan atmosfer yang tidak nyaman ini. “Sudah, Vina. Ayana sudah bekerja keras hari ini. Biarkan dia istirahat. Kamu bisa jelaskan detailnya padaku besok pagi.”
Vina mengangguk, namun matanya masih tertuju pada Ayana. “Baik, Paman Arfan. Kalau begitu, saya permisi dulu. Selamat malam, Mbak Ayana. Semoga istirahatnya nyenyak.”
Kata ‘nyenyak’ itu terdengar seperti sindiran, seolah Vina tahu Ayana tidak akan bisa tidur nyenyak malam ini. Vina berbalik dan melangkah keluar, menutup pintu dengan pelan, tapi efeknya terasa seperti pintu neraka yang baru saja ditutup di belakangnya.
Keheningan kembali menyelimuti ruangan, namun kini keheningan itu terasa lebih mencekam daripada sebelumnya. Ayana berdiri kaku di tempatnya, menatap pintu yang tertutup itu seolah Vina masih berdiri di baliknya.
“Ayana…” suara Arfan memecah keheningan. Ia melangkah mendekat, perlahan, hati-hati.
Ayana menoleh, matanya masih dipenuhi campuran rasa malu, takut, dan emosi yang belum tersalurkan. “Pak Direktur, ini… ini tidak benar. Kita tidak boleh melakukan ini.” Suaranya bergetar.
Arfan berhenti di depannya, menatapnya lurus. “Aku tahu apa yang barusan terjadi, Ayana. Dan aku tidak menyesalinya.”
“Tapi Vina…” Ayana berbisik, rasa takut mencekiknya. “Dia melihat kita. Dia pasti curiga.”
“Tidak ada yang dia lihat,” Arfan memotong, suaranya tegas. “Aku tidak membiarkannya. Dan jika dia curiga, biarkan saja. Bukan urusannya.”
Ayana menggeleng. “Ini urusan semua orang di perusahaan ini, Pak Arfan. Ini perusahaan keluarga mendiang suami saya. Saya janda, saya ibu dari anak mendiang suami Anda. Anda… Anda paman direktur. Ini tidak etis.” Air mata mulai menggenang di matanya.
Arfan mengangkat tangannya, ragu sesaat, lalu menyentuh pipi Ayana dengan lembut, ibu jarinya membelai kulitnya. Sentuhan itu memicu kembali sensasi yang sama, getaran yang membingungkan seluruh logikanya. “Etika? Apa itu etika, Ayana, jika hatimu berteriak lain?”
Ayana terkesiap. Hatinya memang berteriak. Berteriak untuk hal yang terlarang, hal yang bisa menghancurkan hidupnya. Tapi bagaimana Arfan bisa tahu? Bagaimana ia bisa begitu yakin dengan apa yang ia rasakan?
“Jangan mengacaukan hidup saya, Pak Arfan,” Ayana berkata, mencoba menarik diri dari sentuhannya, namun tubuhnya enggan bergerak. “Saya punya anak. Saya harus menjaga nama baik keluarga ini.”
“Nama baik?” Arfan tersenyum pahit. “Apa ‘nama baik’ itu bisa memberimu kebahagiaan sejati, Ayana? Atau hanya penjara yang diciptakan oleh orang lain?”
Kata-kata Arfan menusuk Ayana. Ia tahu ia terperangkap. Terperangkap dalam status jandanya, dalam perannya sebagai ibu, dalam bayang-bayang mendiang suaminya. Tapi bukankah ia memang harus begitu? Itu adalah kewajibannya.
“Aku tahu apa yang aku inginkan, Ayana,” Arfan melanjutkan, suaranya merendah, mata hitamnya menatap dalam ke mata Ayana. “Dan aku tahu apa yang kau inginkan. Jangan bohongi dirimu sendiri.”
Ayana memejamkan mata. Arfan benar. Sebagian kecil dirinya, bagian yang gelap dan egois, memang menginginkan Arfan. Menginginkan sentuhan itu, ciuman yang hampir terjadi. Menginginkan gairah yang sudah lama mati dalam hidupnya.
“Bagaimana dengan Vina?” Ayana mencoba mencari celah, alasan untuk mendorong Arfan menjauh. “Dia tidak akan diam saja. Dia akan mengawasi.”
Arfan menarik tangannya dari pipi Ayana, sebuah senyum tipis, misterius, muncul di bibirnya. “Biarkan saja dia mengawasi. Kadang, permainan kucing-kucingan itu justru lebih menarik, bukan?”
Ayana membuka matanya, menatap Arfan yang kini terlihat begitu percaya diri, begitu berbahaya. Arfan melangkah mundur, menjauh dari Ayana, memberi ruang. “Pulanglah, Ayana. Kirana pasti menunggumu.”
Kata-kata itu seharusnya menenangkan, seharusnya mengembalikan Ayana pada realitas. Tapi Arfan menambahkan, suaranya pelan, seolah hanya ditujukan untuk Ayana, “Dan jangan lupa, Ayana… malam ini, ada sesuatu yang belum selesai di antara kita.”
Ayana hanya bisa menatap punggung Arfan yang berbalik dan berjalan menuju mejanya, mulai membereskan barang-barangnya seolah tak ada beban. Kata-kata Arfan menggema di benaknya. *Ada sesuatu yang belum selesai*. Rasa panas merayap di dadanya, campuran antara rasa takut dan antisipasi yang mengerikan.
Ia bergegas meninggalkan ruangan itu, menyambar tasnya tanpa menoleh lagi. Ia ingin melarikan diri, tidak hanya dari kantor ini, tapi dari dirinya sendiri, dari sensasi terlarang yang Arfan tanamkan dalam dirinya. Ia melangkah cepat menyusuri koridor, melewati deretan bilik karyawan yang kosong.
Tiba-tiba, ia mendengar suara langkah kaki dari arah ruangannya. Vina. Vina pasti baru saja keluar dari sana. Ayana mempercepat langkahnya, berharap tidak bertemu dengannya lagi. Tapi terlambat.
Vina berdiri di dekat lift, menunggunya, sebuah senyum tipis di bibirnya yang terlihat meremehkan. “Mbak Ayana,” Vina memulai, suaranya pelan, namun setiap kata terasa seperti racun. “Saya kebetulan melihat agenda besok pagi. Paman Arfan meminta Anda untuk menemaninya ke luar kota, meninjau proyek di Bandung. Kelihatannya penting sekali, sampai harus berdua saja.”
Jantung Ayana mencelos. Ke Bandung? Berdua saja dengan Arfan? Ini tidak mungkin! Ia menatap Vina, yang kini menyeringai lebar, seolah baru saja memenangkan pertarungan yang sengit. Ini jebakan. Atau memang takdir yang semakin menyeretnya ke dalam jurang dosa?
Vina mendekat, berbisik pelan di telinga Ayana, tatapan matanya menusuk tajam, “Semoga perjalanan Anda menyenangkan… dan aman, Mbak Ayana.”
Benar2 membingungkan & bikin gw jd malas utk membaca novel ini lg
Jgn membingungkan pembaca yg berminat utk membaca novel ini