Seorang Food Vlogger modern yang cerewet dan gila pedas, Kirana, tiba-tiba terlempar ke era kerajaan kuno setelah menyentuh lesung batu di sebuah museum. Di sana, ia harus bertahan hidup dengan menjadi juru masak istana, memperkenalkan cita rasa modern, sambil menghindari hukuman mati dari Panglima Perang yang dingin, Raden Arya.
4. Mandi, Kecoa, dan Panglima Galak
Matahari sudah benar-benar tenggelam saat Kirana tiba di kompleks kediaman Raden Arya, yang disebut Paviliun Cakra.
Berbeda dengan istana utama yang penuh ornamen emas, tempat tinggal Arya sangat…disiplin. Semuanya serba fungsional. Halamannya luas (untuk latihan pedang), dindingnya batu alam yang kokoh, dan tidak ada bunga-bunga cantik. Hanya ada pohon beringin tua yang menyeramkan di pojok halaman.
“Ini rumah apa barak militer? Suram amat.” Komentar Kirana sambil memeluk lengannya yang mulai kedinginan.
Raden Arya berhenti di depan sebuah bangunan kayu kecil yang terpisah dari bangunan utama. Bangunan itu letaknya agak di belakang, dekat dengan sumur tua.
“Ini kamarmu.” Kata Arya singkat.
Kirana melongo. Ia mengintip ke dalam. Ruangan itu kecil, hanya ada dipan bambu tanpa kasur empuk, meja kecil reyot, dan lampu minyak yang apinya bergoyang tertiup angin.
“Itu mah gudang, Mas! Bukan kamar!” Protes Kirana. “Tadi bilangnya ‘Paviliun’. Ekspektasi gue tuh minimal kayak villa di Ubud, ada private pool-nya!”
Arya menatap tajam. “Kau itu pelayan, bukan tamu agung. Bersyukurlah kau tidak tidur di kandang kuda. Laras akan membawakan pakaian ganti. Jangan coba-coba kabur, karena pagar di sekeliling tempat ini dijaga pemanah.”
Setelah memberikan ancaman, Arya berbalik menuju bangunan utama yang jauh lebih besar dan nyaman.
“Dasar Panglima Kulkas!” Umpat Kirana pelan setelah punggung Arya menghilang.
Laras datang tergopoh-gopoh membawa tumpukan kain. “Nyai Key…ini kain jarik dan kemben bersih. Pakaian Nyai yang…sobek-sobek itu, sebaiknya di cuci dulu.”
Kirana menerima kain itu dengan wajah memelas. “Ras, gue mau mandi. Badan gue lengket banget. Bau asep, bau terasi, bau dosa. Kamar mandinya disana?”
Laras menunjuk sumur tua di dekat pohon beringin. Tidak ada dinding penutup. Hanya ada sumur batu dan ember kayu.
“Di situ, Nyai.”
Mata Kirana membelalak horor. “Di situ? Di tempat terbuka gitu? Outdoor concept? Gila kali! Kalau ada prajurit yang ngintip gimana? Kalau ada drone lewat gimana? Eh lupa, belum ada drone.”
“Biasanya kami mandi pakai kain basahan, Nyai. Jadi tidak…telanjang bulat.” Jelas Laras polos.
“Nggak bisa! Gue butuh tembok! Gue butuh pintu yang bisa di kunci!” Kirana mulai histeris. Standar kebersihan milenialnya terusik parah. “Panggil bos lo kesini?”
Sepuluh menit kemudian.
Raden Arya kembali keluar dengan wajah masam. Ia baru saja hendak melepas zirah perangnya untuk beristirahat, tapi teriakan wanita asing itu merusak kedamaian malamnya.
“Apa lagi?” Geram Arya. “Kau berteriak seolah ada serangan musuh.”
“Mas Arya!” Kirana berkacak pinggang di depan sumur. “Gue mogok kerja besok kalau nggak dikasih tempat mandi tertutup! Gue punya hak asasi manusia buat mandi dengan tenang tanpa takut diintip setan pohon beringin!”
Arya memijat pelipisnya. Seumur hidup, ia menghadapi musuh yang membawa golok, bukan wanita yang rewel soal mandi.
“Di sini semua orang mandi di sungai atau sumur. Kau pikir kau siapa? Putri Raja?”
“Gue wanita modern yang bersih!” Balas Kirana tak mau kalah. “Pokoknya gue minta bikinin bilik! Sekarang!”
Arya menatap Kirana. Gadis itu kucel, rambutnya awut-awutan, wajahnya cemong, tapi matanya menyala penuh tekad. Ada sesuatu yang menggelitik di perut Arya. Keberanian gadis ini benar-benar tidak masuk akal.
Arya menghela napas panjang, menyerah. Bukan karena ia peduli, tapi karena ia ingin tidur tenang.
“Prajurit!” Panggil Arya.
Dua penjaga muncul.
“Ambil anyaman bambu bekas sasaran panah di gudang. Pasang di sekeliling sumur itu. Buat tertutup rapat agar Tuan Putri Cerewet ini bisa mandi.”
Kirana tersenyum lebar, mengacungkan jempol. “Nah gitu dong! Good job, Pak Bos!”
Malam semakin larut.
Kirana akhirnya selesai mandi. Ia merasa segar meski air sumurnya dingin seperti es.
Masalah baru muncul: ia tidak bisa memakai jarik (kain panjang).
Setelah bergelut selama lima belas menit di bantu Laras, akhirnya Kirana keluar dari bilik mandi darurat itu. Ia mengenakan kemben batik berwarna biru tua yang membalut dadanya hingga lutut, dan bahu putih mulusnya terekspos udara malam. Rambut panjangnya yang basah dibiarkan tergerai.
Ia berjalan jinjit menuju kamar gudangnya, berusaha menghindari tanah becek.
Tiba-tiba ia melihat sesuatu yang bergerak cepat di dekat kakinya. Hitam. Mengkilap. Berkumis panjang.
Kecoak. Dan ukurannya jumbo, seukuran kurma nabi tapi versi monster.
“KYAAAAA!! KECOAK TERBANG!!”
Kirana menjerit melengking, refleks melompat dan berlari kencang tanpa arah.
BRUK!
Ia menabrak sesuatu yang keras dan hangat.
Kirana memejamkan mata, tangannya mencengkeram erat benda yang ditabraknya.
”Tolong! Ada monster! Usir! Usir!”
“Lepaskan aku.”
Suara berat itu terdengar tepat di atas kepalanya. Kirana mendongak pelan.
Jantungnya seolah copot. Ia sedang memeluk Raden Arya. Erat sekali.
Arya baru selesai mandi juga (di area tertutup miliknya sendiri, tentu saja). Ia hanya mengenakan celana komprang longgar dan bertelanjang dada, memperlihatkan dada bidang dan perut six-pack yang terbentuk sempurna dari latihan militer bertahun-tahun. Kulitnya lembap dan beraroma sabun sereh.
Posisi mereka sangat…intim. Tangan Kirana menempel di dada telanjang Arya, sementara tangan Arya yang hendak menahannya menggantung di udara.
Waktu seolah berhenti.
Kirana menelan ludah. Gila, ini roti sobek kualitas premium, batinnya liar.
Arya menunduk, menatap gadis yang menempel padanya seperti cicak. Aroma rambut Kirana yang basah (wangi sampo sachet yang anehnya masih tersisa sedikit) tercium olehnya. Bahu gadis itu terlihat sangat halus di bawah sinar bulan.
Untuk sedikit, Arya lupa cara bernapas.
“Ehem.” Dehem Arya keras, berusaha mengembalikan kewarasannya. “Kau mau memelukku sampai pagi, atau mau kujadikan umpan kecoak itu?”
Kirana tersadar. Ia buru-buru melepaskan pelukannya dan melompat mundur. Wajahnya panas, semerah kepiting rebus.
“Eh…Sorry, Mas. Refleks. Tadi ada kecoak mutan. Gede banget, sumpah!” Kirana beralasan, salah tingkah. Matanya berusaha sopan untuk tidak melirik ke arah abs Arya, tapi gagal total.
Arya menyilangkan tangan di dada (menutupi pemandangan indah itu, sayang sekali).
“Masuk ke kamarmu.” Perintah Arya tegas, meski suaranya sedikit serak. “Dan jangan berkeliaran dengan pakaian seperti itu. Ini rumah panglima perang, banyak prajurit lelaki. Aku tidak mau ada keributan hanya karena bahumu yang kurus itu.”
“Iya, iya, bawel.” Cibir Kirana, lalu buru-buru lari masuk ke kamar gudangnya dan membanting pintu.
Arya berdiri sendirian di halaman yang gelap. Ia menyentuh dadanya yang tadi dipegang Kirana. Hangat. Dan jantungnya berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya.
“Penyihir.”bisik Arya kesal pada dirinya sendiri. “Dia pasti pakai sihir.”
Arya menendang kecoak yang kebetulan lewat di dekat kakinya hingga terpental jauh, lalu berjalan masuk ke kamarnya dengan perasaan kacau.