Hidup Naura yang sudah menderita itu, semakin menderita setelah Jessica anak dari Bibinya yang tidak sengaja menjebak Naura dengan seorang pria yang dikenal sebagai seorang preman karena tubuhnya yang penuh dengan tato, berbadan kekar dan juga wajah dingin dan tegas yang begitu menakutkan bagi warga, Naura dan pria itu tertangkap basah berduaan di gubuk hingga mereka pun dinikahkan secara paksa.
Bagaimana kelanjutannya? siapakah pria tersebut? apakah pria itu memang seorang preman atau ada identitas lain dari pria itu? apakah pernikahan mereka bisa bertahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon elaretaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidurlah
"A-ku tidak tahu harus berkata apa, Mas," bisik Naura.
Mata Naura berkaca-kaca bukan karena marah, tapi karena terharu dengan pemikiran Aiden, Naura selalu berpikir jika pencatatan pernikahan hanyalah tentang formalitas atau belenggu saja, tetapi Aiden menjadikannya sebagai bentuk dari perlindungan harga diri Naura.
Aiden menjulurkan tangannya di atas meja, meraih tangan Naura yang bebas dan menggenggamnya hangat. "Kamu tidak perlu mengatakan apa-apa sekarang, cukup pahami jika kamu adalah Nyonya Andrean, tidak ada yang lebih berhak atas status itu selain kamu," ucap Aiden.
Setelah makan malam yang diakhiri dengan suasana yang sedikit lebih tenang, mereka kembali ke kamar. Aiden duduk di sofa sembari membuka laptop, mengisyaratkan ia sedang menyelesaikan pekerjaan yang sempat tertunda. Naura mengambil tempat di kursi rias, perlahan menyisir rambut panjangnya yang masih sedikit basah.
"Mas," panggil Naura pelan dan memecah keheningan yang nyaman itu.
Aiden segera menutup laptopnya dan menoleh penuh perhatian. "Ya?"
"A-pa yang harus aku lakukan sekarang?" Maksudku, di rumah ini. Aku gak tau apa-apa tentang kehidupan di kota, tentang... tentang peran Nyonya rumah," tanya Naura dengan membalikkan badan menghadap Aiden.
Aiden tersenyum lembut, bangkit dan berjalan mendekatinya, lalu berjongkok di samping kursinya. "Kamu tidak perlu melakukan apa-apa selain menjadi dirimu sendiri, Naura," jawabnya, meletakkan tangannya di atas lutut Naura.
"Aku tahu ini adalah perubahan besar, tapi dengarkan aku, kamu tidak perlu repot-repot belajar menjadi Nyonya Andrean versi orang lain. Kamu hanya perlu menjadi Naura, istriku. Kamu tidak perlu memasak, karena ada Chef terbaik. Kamu tidak perlu membersihkan rumah, karena ada Bi Sukma dan pelayan lainnya. Tugasmu saat ini adalah menyesuaikan diri, beristirahat, dan... belajar mencintaiku," ucap Aiden.
Mendengar perkataan Aiden tentu saja membuat Naura gugup, bahkan pipinya mulai memanas, "Tapi aku merasa tidak berguna, Mas. Di desa, aku selalu punya kegiatan entah itu bersih-bersih atau apapun itu," ucap Naura.
"Kamu adalah pusat duniaku sekarang, Naura. Itu pekerjaan yang cukup besar, jika kamu benar-benar ingin melakukan sesuatu, kamu bisa menemaniku di kantor sesekali atau kita bisa melakukan kegiatan sosial bersama. Tapi itu semua opsional, prioritas pertamaku adalah kebahagiaanmu," ucap Aiden.
Aiden berdiri dan menarik Naura ke dalam pelukannya, "Aku akan memperkenalkanmu pada beberapa orang penting, tapi itu juga bertahap. Malam ini, aku hanya ingin kamu tahu, kamu aman. Kamu di rumah dan kamu adalah istriku," bisik Aiden di telinga Naura.
Beberapa saat kemudian, setelah Aiden selesai dengan pekerjaannya, mereka berdua sudah berada di atas tempat tidur, Aiden mematikan lampu dan hanya menyisakan lampu tidur kecil di sisi ranjang.
"Mas," panggil Naura lagi, suaranya sangat pelan.
"Ada apa? Tidak bisa tidur?" tanya Aiden.
Naura menggeleng pelan dalam kegelapan. "A-aku takut," cicit Naura.
"Takut apa, Sayang?" tanya Aiden dan memeluk Naura lebih erat, mengusap punggungnya.
"Aku takut dengan semua ini, takut aku gak bisa beradaptasi, takut kamu akan menyesal menikahiku," ucap Naura.
Aiden bergeser sedikit, menangkup wajah Naura dengan kedua tangannya sehingga mata mereka bertemu dalam temaram cahaya, tatapannya begitu intens dan penuh janji pada sang istri.
"Aku tidak akan pernah menyesal, Naura. Justru aku takut, takut kehilanganmu. Aku tahu cara aku mengikatmu itu tidak benar, tapi tolong, berikan aku kesempatan untuk membuktikan bahwa aku serius dengan pernikahan ini," ucap Aiden dengan sungguh-sungguh.
Naura menahan napas, pengakuan itu seperti melodi yang sudah lama ia tunggu-tunggu, namun ia takut untuk mendengarnya.
"Tidurlah, sekarang jangan pikirkan apa-apa. Biarkan aku menjagamu," pinta Aiden, menariknya kembali ke dalam pelukan.
Dalam dekapan hangat suaminya, perlahan-lahan, Naura merasakan ketegangan di dadanya mengendur. Status Nyonya Andrean yang tadinya terasa seperti rantai, kini terasa seperti jangkar, menahannya di sisi pria yang entah kenapa mulai ia percayai. Naura akhirnya menyerah pada kantuk, tenggelam dalam tidur yang damai dalam pelukan Aiden dan akan menyambut hari esok dengan realitas yang baru yaitu menjadi istri seorang konglomerat.
.
Pagi menyapa Naura dengan sinar matahari lembut yang menyusup melalui celah tirai tebal. Ia terbangun di pelukan Aiden, wajahnya bersembunyi di dada bidang suaminya. Aroma maskulin Aiden yang lembut dan menenangkan kini sudah terasa akrab. Naura perlahan mengangkat kepala, mendapati Aiden masih terlelap, wajahnya yang damai saat tidur jauh berbeda dari sosok pengusaha tegas yang ia lihat saat Aiden bekerja dengan laptopnya semalam.
Naura memandangi wajah suaminya lekat-lekat, garis rahang yang kuat, bulu mata lentik, dan alis tebal yang sedikit berkerut bahkan saat tidur. Ia menyadari, terlepas dari segala skema dan egoismenya, Aiden adalah pria yang tampan, dan lebih dari itu, ia tulus. Perkataan Aiden semalam berputar lagi di benaknya, ia melepaskan diri perlahan agar tidak membangunkan Aiden, lalu berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah itu, ia memilih gaun sederhana lain dari walk in closet, kali ini berwarna krem dengan motif bunga kecil.
Ketika Naura keluar dari walk in closet, ia melihat Aiden yang sudah duduk di sandaran kasur, pria tampan itu tersenyum lembut pada Naura.
"Kenapa bangun? ini masih pagi?" tanya Aiden.
"A-aku mau bantu pelayan di dapur boleh?" tanya Naura.
"Kalau kau jawab gak boleh, kamu marah?" tanya Aiden.
"Bukan marah sih, tapi kecewa. Aku tau kamu udah punya chef dan pelayan yang menyiapkan semuanya, tapi bukankah lebih enak kalau disiapkan oleh istri sendiri, sama seperti yang aku lakukan saat di desa dulu," ucap Naura.
Aiden yang mendengarkan jawaban Naura pun mengangguk seolah tengah mempertimbangkan sesuatu, "Yasudah boleh, tapi jangan sampai terluka," ucap Aiden.
"Pasti, aku gak akan terluka. Kalau gitu, aku ke dapur dulu ya," ucap Naura dan diangguki Aiden.
Naura pun dengan antusias pergi ke dapur, di mana chef dan pelayan sudah sibuk untuk menyiapkan sarapan.
"Nyonya, ada yang bisa saya bantu?" tanya Bi Sukma ketika melihat Naura berada di dapur.
"Saya ingin bantu-bantu di dapur," ucap Naura.
Mereka semua yang ada disana pun terkejut mendengar perkataan Naura, "Jangan Nyonya, lebih baik Nyonya kembali ke kamar," ucap Bi Sukma yang terlihat jelas jika ia begitu gugup dan takut.
"Tadi Aiden sudah mengizinkan saya buat bantu di dapur," ucap Naura.
"Biarkan saja Bi, Tuan Aiden sudah mengabari saya untuk membiarkan Nyonya bantu-bantu di dapur," ucap Justin yang tiba-tiba saja datang dan akhirnya Bi Sukma pun memperbolehkan Naura untuk membantu dirinya dan yang lainnya di dapur.
.
.
.
Bersambung.....