Ningrat dan kasta, sebuah kesatuan yang selalu berjalan beriringan. Namun, tak pernah terbayangkan bagi gadis proletar (rakyat biasa) bernama Sekar Taji bisa dicintai teramat oleh seorang berda rah biru.
Diantara gempuran kerasnya hidup, Sekar juga harus menerima cinta yang justru semakin mengoyak raga.
Di sisi lain, Amar Kertawidjaja seorang pemuda ningrat yang memiliki pikiran maju, menolak mengikuti aturan keluarganya terlebih perihal jodoh, sebab ia telah jatuh cinta pada gadis bernama Sekar.
Semua tentang cinta, kebebasan dan kebahagiaan. Mampukah keduanya berjuang hingga akhir atau justru hancur lebur oleh aturan yang mengekang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ATN 4~ Tradisi
Kehidupan perih Sekar nyatanya bertahan cukup lama. Seperti parasit yang tak mau pergi sebelum inangnya ma ti. Begitulah kehidupan serba kekurangan Sekar sekeluarga.
Terkadang, dan sesekali bapak--mak dapat memenuhi dahaga akan makanan enak, namun sisanya mereka harus kembali berjuang dengan kesederhanaan. Tapi gadis itu tak pernah mengeluh.
Sudah 2 tahun lamanya sejak pembicaraan malam itu, Sekar ikut di sanggar yang digawangi oleh amih Mayang, seorang penari sukses yang mau menampung anak-anak gadis di lingkungan itu yang mau jadi ronggeng, secara gratis. Toh, pada waktunya ia akan menuai hasil saat para gadis ronggeng disana disewa oleh acara tertentu atau saat sanggar Mayang melakukan pementasan rutin.
Selendang merah yang saat ini ia kalungkan di leher menjadi satu-satunya selendang yang Sekar miliki. Cuci, kering, pakai begitu saja seterusnya, dan mungkin...sampai ia memiliki yang baru.
Pagi ini, seperti biasa....tak ada yang bisa Sekar lakukan setelah membantu Mak mencuci, beres-beres rumah. Kemana lagi memangnya?
"Kar," panggil Mak yang sedang berkutat dengan tungku.
"Ya?" ia menoleh sejenak.
"Tolong cari Jayadi, tadi dia bawa Widuri sama Laksmi main. Tapi adik-adikmu itu belum mandi." Pesan Mak diangguki Sekar, meski kemudian ia berdecak, paling malas jika harus mencari adik lelakinya itu yang mainnya bisa sampai ke sungai-sungai.
Ia memulai langkahnya ke tempat biasa Jayadi bermain. Tapi tak ada...
"Ihhh, kemana sih! Kebiasaan sekali. Mana aku harus ke sanggar." Gerutunya sepanjang jalan sambil celingukan, "Jayadii!" seru Sekar, diantara ayunan langkah yang membuat rok rempelnya ikut berayun ia menghampiri mak Cucu, "Mak, Jayadi ada main---"
"Cari Jayadi, Kar?" seolah sudah tau jika Sekar akan mencari adiknya, Mak Cucu ibu dari Danang lantas menunjuk ke arah alun-alun desa, "mereka ke alun-alun kampung, memangnya kamu tak tau, Kar?"
"Alun-alun kampung?! Bawa Wi sama Laksmi, mak?" tanya Sekar sudah menaikan seruannya, dengan gestur bersiap menyerbu.
"Ada rombongan kasepuhan yang mau lewat ke arah sentra batik, buat kunjungan kerja. Mereka pada moro saweran lah." (berburu saweran)
"Beneran mak? Ya ampun!!" Sekar langsung berlari kencang, pasalnya ia tau akan seperti apa disana sesaknya warga yang bersiap menyambut para ningrat ini, yang selalu melempar-lempar uangnya diantara jalanan yang dilintasi. Sungguh menurut Sekar potret miris yang tak layak. Jika memang mau memberi kenapa harus disawerkan begitu! Kenapa tidak turun dan meminta mereka mengantre!
Seolah-olah masyarakat pantas untuk berebut seperak rejeki.
"Jayadiii!" teriak Sekar murka ketika melihat kumpulan manusia dan seruan hormat warga pada kendaraan berupa 3 mobil yang melintas dengan laju pelan sekali serta langkah para abdi dalem, polisi, hansip yang menjaga ketertiban.
"Wiii!" teriak Sekar lagi melihat kedua adik perempuannya ditinggal begitu saja di belakang kerumuman, sementara Jayadi?
Sekar langsung menangkap kedua adik perempuannya, "Wi, Laksmi...ngapain disini?"
"Teteh, teh aa disitu...katanya mau nangkep saweran." Cicit kecil Widuri dan tepukan tangan Laksmi yang berjingkrak-jingkrak melihat keramaian diantara kaki-kaki kecil mereka yang beralaskan sendal jepit.
"Pulang...pulang. Wi, bisa pulang sendiri sama Laksmi kan? Teteh minta tolong ya, biar aa, teteh yang cari." Pinta Sekar menatap tajam Widuri yang sudah paham.
"Iya teh. Laksmi ayo pulang kata mak." ajaknya tak melepaskan tautan tangannya di tangan sang adik namun, alih-alih Laksmi menurut bocah kecil itu menolak sebab masih asik melihat keramaian.
"Engga. Engga mau." Tolak Laksmi. Terpaksa Sekar harus memaksa Laksmi sampai memarahinya, bukan ia tak sayang ...namun, kesabarannya sudah habis. Ya panas, ya telat untuk ke sanggar, lalu sekarang? Ia harus mencari Jayadi diantara kumpulan manusia?
Setelah berhasil membuat Laksmi menangis sambil berjalan pulang bersama Widuri. Sekar menghela nafasnya, dan bersiap melesak.
"Raden ..."
"Radenn ...."
"Kanjeng Gusti...."
"Kanjeng ayu..."
"Den ajeng..."
Amar sedikit tak nyaman dengan itu, diantara balutan kemejanya ia membuang muka. Harusnya hari ini ia berkuliah saja, tidak perlu ikut ke sentra batik. Namun ibunda dan ayahanda begitu memaksanya.
Ditambah, Reksa....ia melempar koin-koin receh itu dengan tawa puasnya, melihat warga yang berebut sampai saling tin dih demi mendapatkan itu.
Ia menghela nafasnya, membuka jendela bagiannya dari mobil Volkswagen yang mereka tumpangi ini.
Udara segar lumayan bisa masuk, namun di luar sana pagar betis para abdi dalem dan polisi jelas sedang menahan massa yang berjejal.
Alis tebalnya mengerut melihat seorang anak yang jatuh dan sempat terinjak, namun kemudian....
"Jayadi! Kamu apa-apaan?!" Sekar berhasil menarik adiknya yang sempat terjatuh itu, tangannya kotor karena sempat terinjak dan bergu mul dengan warga lain meski kemudian ia mendapatkan beberapa buah koin dengan senyum lebarnya.
Tapi jelas, Sekar amat marah disana, "kamu sampe luka-luka begini cuma biar dapet belas kasihan dari mereka!" omel Sekar lagi dengan mendorong-dorong pelan kepala Jayadi. Dan Seth! Seperti ubun-ubunnya dihisap waktu, Amar langsung kehilangan bocah lelaki dan gadis cantik itu dalam pandangannya.
Gadis dengan selendang di lehernya, selendang ciri khas para ronggeng sanggar yang tadi begitu berapi-api memarahi adiknya, apa katanya? Belas kasihan mereka? Dirinya? Keluarganya? Bukan Raden, bukan kanjeng? Mereka. Jelas Sekar menyebutkan kata mereka dengan intonasi nada marah.
Dan percaya atau tidak, di detik terakhir ia melihat, ada tatap tajam dari mata indah dan lekukan wajah cantik yang melempar tatap ke arah mobil dari gadis itu. Meski sorot matanya itu menunjukan rasa tak sukanya.
Amar sampai memutar lehernya ke belakang, "ada apa?" tanya Reksa dari samping, Amar menggeleng, "ngga ada apa-apa."
Reksa memberikan sejumlah koin di telapak tangannya, "mau coba lempar keluar? Seru..."
Amar menggeleng dan mendorong tangan kakangnya itu, "ngga. Akang saja."
"Den Reksa." panggil ibunda dari bangku depan.
"Ya bunda?"
Amar ikut melirik. Kepala ibunda tak sampai menoleh ke belakang, namun jelas ia tengah bicara dengan Reksa yang ada di sampingnya, "jadi bagaimana menurutmu, Raden Ajeng Anjarwati, putri dari Gusti Raden mas Said Cokrosworo? Dia sebentar lagi ambil sidang skripsi dan jadi dokter koas di Bandung?"
"Baik, cantik. Hebat." jawabnya begitu. Ibunda tersenyum, "nanti kita atur pertemuan keluarga dengan Gusti Raden Mas Said."
Ibunda selalu menarik senyumannya lebih lebar saat keinginannya terpenuhi, dan Amar...adalah salah satu keinginan terbesarnya setelah Reksa. Tepatnya keinginan ibunda dan ayahanda.
"Raden Ajeng Anjarwati itu putri pertama, Reksa..." ujar ayah dari bangku pengemudi.
Amar mengernyitkan dahinya, oke...apa tujuan ayah dan ibundanya adalah agar Bahureksa bisa ikut memimpin di tempat Gusti Raden mas Said? Lalu kasepuhan? Ia merasa tengkuknya mulai berat. Pintar sekali, ayahanda dan ibunda.
"Oh ya, nanti di bulan depan kunjungan kerja berikutnya adalah pabrik kerupuk udang, manager disana kabarnya akan mengadakan jamuan, semua anak ayahanda harus ikut."
Dan Amar hanya bisa menghela nafasnya.
.
.
.
Waitt, sebentar nih! Aku sampe lupa kasih peringatan lain. Untuk adek-adekku sayang, anak-anakku yang usianya di bawah 17 🫣 kisah ini bergenre 21 plus, alright. Jadi please agak melipir dari kisah ini...aku takutnya tiba-tiba kalian dag dig dug ngga jelas, aku ngga tanggung jawab. Jangan sampai kisah ini menginspirasi dalam tanda kutip 🙏🙏😂
.
.
.
" jembar kisruh" aja si teh🤭🤭🤭😂😂😂🙏