Berawal disalahpahami hendak mengakhiri hidup, kehidupan Greenindia Simon berubah layaknya Rollercoaster. Malam harinya ia masih menikmati embusan angin di sebuah tebing, menikmati hamparan bintang, siangnya dia tiba-tiba menjadi istri seorang pria asing yang baru dikenalnya.
"Daripada mengakhiri hidupmu, lebih baik kau menjadi istriku."
"Kau gila? Aku hanya sedang liburan, bukan sedang mencari suami."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kunay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebuah Kesepakatan
Green hanya mematung di tempatnya berdiri, menatap dua orang yang sedang mengancam. Sebenarnya, tidak perlu ancaman apa pun, dia sudah merasa sangat bersalah atas tindakannya yang telah melukai orang lain.
"Kalau begitu, terserah. Lakukan apa pun yang ingin kau lakukan."
Green berbalik dan melangkah menuju meja, mengambil satu kaleng bir dan meneguknya dengan cepat.
"Apa kau sudah gila?" Rex berseru saat melihat Green menenggak bir dengan santainya di pagi buta seperti saat ini. "Kau gagal bunuh diri di tebing saat itu dan sekarang ingin melakukannya dengan minuman beralkohol?"
Green mengangkat alisnya. "Memangnya kenapa? Usiaku sudah legal dan negara ini tidak melarangnya." Kemudian dia menenggaknya lagi sampai isi di dalam kaleng kosong tak bersisa.
"Tapi ini masih pagi, aku yakin kau bahkan belum makan apa pun."
"Pagi?"
Green tiba-tiba melirik jam yang tergantung di atas sofa.
Astaga? Apakah ini sudah keesokan harinya?
Green merasa linglung untuk beberapa saat. Dia bahkan mempertanyakan dirinya yang tidur seperti babi. Dia awalnya mengira masih malam karena saat dirinya kembali ke apartemen waktu masih sore.
Kruk!
Suara perut terdengar nyaring. Green yang masih mengutuk dirinya sendiri karena tidur keterlaluan merona malu dan memegangi perutnya.
Rex yang juga mendengarnya hanya bisa terkekeh geli.
"Kebetulan, aku juga belum sarapan," katanya. “Ini saatnya kau melakukan kewajibanmu yaitu memberiku makan.”
“A-apa maksudmu memberimu makan?” Green segera memasang wajah garangnya. “Kau pikir rumahku tempat penampungan apa?”
Rex lagi-lagi terkekeh pelan. “Tentu saja bukan. Tapi apakah kau akan membiarkanku kelaparan dan lukaku kembali infeksi.”
Green yang hendak membuka mulutnya kembali terdiam karena kehilangan seluruh kalimat yang hendak diucapkannya.
“Kenapa kau masih diam?”
Rex menunjuk bagian dapur untuk menyuruh Green bergegas untuk memasak.
Mengentakkan kakinya dengan kesal, Green menuju ke dapur dan membuka kulkas yang ada di samping tempat cuci piring. Dia memperhatikan, sepertinya tidak ada apa pun yang bisa dimasak pagi ini. Kulkasnya hanya berisi air mineral, dan beberapa kaleng bir miliknya. Lagi pula, Green jarang sekali masak di rumah dan hampir tidak pernah.
“Aku tidak memiliki apa pun untuk dimasak di dalam kulkas,” katanya menahan senyum kemenangan. “Tapi aku memiliki beberapa mie rebus kalau kau mau."
Percayalah dia hanya berbohong karena kenyataannya dia tidak memiliki makanan di rumah itu. Dia biasanya makan di luar. Kalau pulang, dia hanya akan membawa bir dan minuman beralkohol lainnya.
"Mie rebus?” Rex mengernyit. “Ini masih terlalu pagi untuk makan, makanan instan seperti itu.”
Lalu Rex menoleh pada Antonio yang sejak tadi hanya jadi penonton setelah melemparkan ancaman pada Green, istri tuannya.
“Bisakah kau membelikan makanan untuk kami?”
“Baik, Tuan.”
Antonio yang hendak keluar dari apartemen kembali menghentikan langkahnya saat Rex berkata.
“Sekalian bawakan bahan-bahan makanan ke sini. Anggap saja itu sedikit kompensasi dariku.” Rex berkata dengan nada sarkasme sembari melirik ke arah Green.
Green yang sejak awal hanya memasang wajah kesal tersenyum lebar mendengar hal itu, terbebas dari tugas memasak pagi ini.
“Baguslah, kalau kau masih punya hati nurani.”
Entah kenapa melihat senyum itu, Rex sedikit terpesona. Buru-buru ia memalingkan wajahnya.
Setelah Antonio meninggalkan apartemen, Green berbalik meninggalkan Rex menuju dapur dan mencuci wajahnya di tempat cuci piring.
Rex yang masih duduk di kursi roda hanya memperhatikan apa yang dilakukan gadis itu. Setelah beberapa saat, ia merasa bahwa wanita yang kini sudah menjadi istrinya itu terlihat sangat cantik dan... Sexy.
“Di mana aku harus meletakkan koper-koperku?” tanyanya dengan menunjuk dua koper besar di dekat pintu masuk.
Green yang sedang mengelap wajahnya menoleh ke arah suaminya lalu melihat ke arah yang ditunjuk.
Menghela napas berat dia berkata. “Sudah kukatakan, aku hanya memiliki satu kamar dan tentu saja aku tidak akan memberikannya padamu.”
Meski sadar dirinya bersalah, Green sudah berusaha untuk bertanggung jawab. Ia bahkan harus merelakan hidupnya dengan menikahi pria itu.
“Tidak masalah, aku bisa tidur di sofa,” katanya. “Tapi bisakah kau meletakkan barang-barang ini di kamamu? Tidak mungkin, kan, aku berganti pakaian di luar?”
Green menatap kesal ke arah Rex, lalu menghela napas panjang sebelum menyeret satu persatu kopernya ke dalam kamar.
Saat masih berada di dalam kamar, suara Rex terdengar.
“Ponselmu berdering.”
Green segera keluar menghampiri ponsel yang ia tinggalkan di atas meja di ruang tengah. Ia melirik siapa yang menghubunginya.
“Halo, Kak Lizbet?”
[Apakah kau sudah selesai berliburnya?]
“Ada apa?”
[Edgar tidak bekerja siang ini karena ibunya masuk ke rumah sakit. Bisakah kau menggantikannya?]
“Tentu saja. Aku bisa menggantikannya.”
Tidak langsung ada sahutan dari ujung panggilan itu, membuat Green mengerutkan kening dan melihat apakah teleponnya sudah berakhir.
“Halo, Kak?”
[Green, apakah kau yakin bisa menggantikannya?]
Mendengar pertanyaan itu raut wajah Green sedikit berubah tapi dia tetap menjawab. “Aku baik-baik saja. Semuanya sudah berlalu. Aku bisa masuk kerja hari ini. Siang, kan?”
[Benar, kau tidak perlu terburu-buru.]
“Baiklah, Kak.”
Setelahnya, panggilan berakhir. Green menoleh ke arah Rex yang masih berada di tempatnya sejak awal.
“Aku harus bekerja dan tidak bisa menemanimu.”
“Tidak masalah, kau bisa meninggalkanku.”
Green mengangguk. Saat itu, pintu apartemen kembali terbuka. Antonio muncul dengan beberapa kantong di tangannya.
Akan tetapi, kali ini dia kembali tidak seorang diri. Dua pria lainnya muncul dengan dua kantong besar masing-masing tangannya.
“Nyonya, apakah saya bisa meminjam peralatan makan.”
Tanpa menjawab, Green berjalan ke dapur dan mengambilkan beberapa peralatan makan dan botol air dari dalam kulkas lalu meletakkannya di atas meja. “Lalu, apa itu?”
Green menunjuk empat kantong besar yang dibawa oleh dua pria yang bersama Antonio.
“Itu bahan makanan yang diminta tuan,” jawab Antonio, lalu menoleh ke sampingnya. “Kalian bisa memasukkannya ke dalam kulkas untuk daging dan sayuran, sisanya masukkan ke dalam lemari atas.”
Green tercengang mendengar instruksi yang diberikan oleh asisten suaminya. Dia bersikap seolah-olah itu adalah rumahnya sendiri. Green merasakan kepalanya yang berdenyut menyakitkan hari-hari damainya sepertinya akan hilang mulai sekarang.
“Bukankah kau lapar?”
Suara Rex menarik Green dari lamunannya, gadis itu menoleh. Ternyata suaminya sudah berpindah, duduk di lantai dengan bantuan asistennya dan makanannya juga sudah disajikan.
“Tunggu, sepertinya kita harus membicarakan beberapa hal,” ucap Green, raut wajahnya terlihat sangat kesal.
Rex yang hendak memakan sarapannya kembali meletakkan sendoknya dan menatap istrinya.
“Katakan saja, apa yang ingin kau katakan.”
Green menghela napas panjang untuk meredakan kekesalannya.
“Aku hanya ingin mengatakan kalau aku mengakui kesalahanku yang telah melukaimu dan aku akan bertanggung jawab untuk proses penyembuhanmu. Bukan hanya itu, aku juga membiarkanmu tinggal di rumahku sebagai bukti tanggung jawabku.”
“Benar, lalu?”
“Lalu? Ini adalah rumahku dan kau melihatnya sendiri ukuran rumah ini tidak besar dan aku tidak suka sembarangan orang masuk ke dalam rumahku tanpa izin.” Green terengah saat mengatakannya. “Aku sudah melakukan semua yang kau minta untuk aku lakukan sebagai bentuk tanggung jawab. Bisakah kau juga sedikit menghargaiku sebagai pemilik rumah ini?”
Meski sejak awal Green sama sekali tidak menunjukkan sikap bersahabat tapi Rex masih bisa melihat gadis itu tidak benar-benar marah. Bahkan saat di pegunungan gadis itu memakinya, sorot matanya masih menunjukkan sedikit keramahan.
Akan tetapi, saat ini gadis di hadapannya terlihat marah... tidak, tapi sangat marah. Kemarahannya menunjukkan kalau dia benar-benar tidak suka seseorang melewati batas toleransinya.
Green menunjukkan kemarahan itu saat kedua anak buahnya masuk untuk membawakan bahan makanan. Padahal, saat Rex datang bersama asistennya, meski terlihat jengkel dirinya bahkan masih bisa bercanda.
Meski Rex memang sengaja memanfaatkan kondisinya untuk mengikat Green, tapi kali ini dia sadar kalau dirinyalah yang salah dan melewati batas.
Rex menoleh pada anak buahnya dan mengedikkan kepalanya untuk menyuruh mereka pergi. “Kau juga,” tuturnya pada Antonio.
Antonio mengangguk dan berkata sebelum melangkah pergi. “Kalau Anda membutuhkan sesuatu, Anda bisa menghubungi saya.”
Setelahnya dia bergegas pergi meninggalkan majikannya bersama istrinya.
Setelah mereka semua pergi, Green berbalik dan melangkah masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu dengan kasar hingga menimbulkan suara yang cukup memekakkan telinga.
malam pertama Rex jadi merawat greenidia....
semangat trs Thor