“Sakitnya masih kerasa?”
“Sedikit. Tapi bisa ditahan.”
“Kalau kamu bilang ‘bisa ditahan’ sambil geser duduk tiga kali … itu artinya nggak bisa, Dhifa.”
“Kamu terlalu kasar tadi pagi,” batin Nadhifa.
***
Renzo Alverio dan Nadhifa Azzahra saling mencintai, tapi cinta mereka dibatasi banyak hal.
Renzo, CMO Alvera Corp yang setia pada gereja.
Nadhifa, CFO yang selalu membawa sajadah dan mukena ke mushola kantornya.
Hubungan mereka tak hanya ditolak karena beda keyakinan, tapi juga karena Nadhifa adalah anak simpanan kakek Renzo.
Nadhifa meski merasa itu salah, dia sangat menginginkan Renzo meski selalu berdoa agar dijauhkan dari pria itu jika bukan jodohnya
Sampai akhirnya suatu hari Renzo mualaf.
Apakah ada jalan agar mereka bisa bersatu?
*
*
*
SEKUEL BILLIORAIRE’S DEAL : ALUNALA, BISA DIBACA TERPISAH
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
04. KERUDUNGNYA MAU COPOT
Nadhifa asyik menyantap sepotong kue kering sambil menatap layar komputernya ketika bayangan tinggi menghalangi cahayanya.
“Jam istirahat kok disini sendirian lagi? Ayo, ke kafetaria.”
Nadhifa menengok. Renzo berdiri dengan tangan di saku celana, senyumnya ramah tapi nadanya tidak menerima penolakan.
“Aku nggak lapar, Mas Renzo. Aku bawa bekal,” jawab Nadhifa, mencoba menolak dengan halus.
Renzo mendekat, suaranya berbisik tapi tegas. “Kalo lo nggak ikut sekarang, gue ancam lo bakal lembur setiap hari sampai laporan kuartalan selesai. Percaya, gue bisa nekad.”
Nadhifa memandangnya dengan mata terbelalak. Itu ancaman yang kejam, dan dia tahu Renzo bisa melakukannya. Dengan nafas berat, dia akhirnya berdiri.
Dia berjalan mengikuti Renzo, tetapi dengan sengaja menjaga jarak beberapa langkah di belakang, seolah-olah ingin menegaskan bahwa mereka tidak bersama.
Tiba-tiba, di tengah koridor yang sepi, Renzo berhenti mendadak dan menoleh. Nadhifa yang tidak waspada nyaris menabraknya. Refleks, tangannya menahan dada, jantung berdebar kencang.
Renzo memandanginya dengan ekspresi jahil. Kemudian, bukannya melanjutkan jalan, dia malah melangkah maju, mendekati Nadhifa. Satu, dua langkah, sampai punggung Nadhifa menempel di dinding dingin. Tangannya dengan ringan mendarat di dinding, tepat di samping kepala Nadhifa, mengurungnya.
“Dhifa,” bisiknya, suaranya tiba-tiba serius dan dalam. “Kita mulai sesuatu yang ... terlarang, yuk? Sesuatu yang nggak seharusnya, tapi bisa bikin kita lupa segalanya.”
Mata Nadhifa membulat. Darahnya berdesir dingin. “Nggak,” jawabnya lirih, penuh keyakinan. “Kita nggak bisa. Kita punya darah yang sama. Darah Alverio.”
Untuk sesaat, udara terasa pekat. Lalu, tiba-tiba, Renzo terkekeh. Ekspresi seriusnya pecah menjadi geli. “Bodoh sekali lo. Just kidding.”
Tangannya hendak mengacak-acak kerudung Nadhifa, tapi dia mengurungkan niatnya tepat waktu, mengingat Nadhifa tidak nyaman disentuh.
“Maaf, lupa. Ayo, lift udah datang.”
Dia berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Nadhifa yang masih terpaku di dinding, jantungnya berdebar kencang antara rasa kaget, lega, dan sedikit ... kecewa?
Dia buru-buru mengusir pikiran terakhir itu.
***
Membawa nampan, Nadhifa berusaha keras untuk tidak menatap ke mana pun. Dia bisa merasakan ratusan pasang mata menusuknya dari segala penjuru.
Duduk berdua Renzo Alverio di meja yang sama telah menjadikannya pusat perhatian yang tidak diinginkan.
Dari meja seberang, bisik-bisik mulai terdengar samar-samar.
“Lihat itu, baru beberapa bulan udah berani duduk sama si Bos Muda.”
“Tadi gue lihat di koridor, dia sengaja jalan pelan-pelan biar ditungguin.”
“Jangan-jangan dari magang dulu udah ada taktik. Pura-pura alim, pinter, eh ujung-ujungnya nyari perhatian ke atas.”
“Ya elah, pake jilbab gitu loh, kok berani-berannya main mata sama Renzo?”
“Dia pasti ngira bisa dapet posisi enak dengan godain si ‘Mommy’s Boy’ itu. Licik banget.”
Setiap bisikan seperti silet yang menyayat kulitnya. Nadhifa menunduk, fokus pada nasinya yang hampir tidak disentuh. Rasanya mual.
Renzo, yang seolah tidak peduli dengan keributan itu, justru bertanya, “kok diam terus? Makanannya nggak enak?”
Nadhifa hanya menggeleng. Di dalam hatinya, dia bertekad. Dia akan bekerja lebih keras lagi. Dia akan membuktikan bahwa semua yang dia raih adalah karena kemampuannya, bukan karena siapa pun, atau ‘hubungan terlarang’ apapun yang hanya ada di dalam pikiran kotor mereka.
Tapi pada saat yang sama, kehadiran Renzo yang kontradiktif—kadang pelindung, kadang pembuat onar—mulai membuatnya bingung sendiri.
...***...
Cahaya sore menyelinap melalui jendela kaca di lorong lantai 11, menerangi dua sosok yang berdiri di depan pintu ruang kerja Renzo. Pintu itu tidak tertutup sepenuhnya, menyisakan celah cukup untuk melihat ke dalam.
Di dalam, Renzo sedang membahas sesuatu di atas selembar dokumen dengan Nadhifa yang berdiri di sampingnya. Jarak mereka berdua terlihat akrab, kepala mereka hampir bertemu.
Renzo tersenyum, mengangguk atas penjelasan Nadhifa, dan sesekali menunjuk sesuatu dengan pena yang dipegangnya. Nadhifa, meski tetap profesional, terlihat cukup nyaman berada di zona kerja pribadi bos mudanya itu.
Di luar, bayangan panjang terpantul di lantai marmer. Alaric berdiri kaku, matanya menyipit menatap pemandangan di balik celah pintu. Rahangnya mengeras, dan jari-jari panjangnya mengepal erat, buku-bukunya memutih. Udara di sekitarnya tiba-tiba terasa membeku.
Alaric selalu datang menemui Renzo kalau dia sudah selesai di kantor pusat yaitu gedung Alverio Grup yang tak jauh dari Alvera Corp tapi pemandangan tadi membuatnya tak rela.
Dia menoleh, dan di belakangnya, Pak Virgo—sekretaris pribadi yang telah setia melayani keluarga Alverio selama puluhan tahun—berdiri dengan tablet di tangan, menunggu dengan sabar.
“Virgo,” ujar Alaric datar, memecah kesunyian yang tegang tanpa menoleh sedikitpun. “Saya ingin Nadhifa dipindahkan.”
Virgo mengangguk cepat, tanpa menunjukkan ekspresi. “Baik, Pak. Ke divisi mana?”
Mereka berdua mulai berjalan menjauhi pintu ruangan Renzo, langkah Alaric cepat dan penuh wibawa. Virgo mengikuti di belakangnya dengan setia.
“Dia pernah magang di divisi mana sebelumnya?” tanya Alaric, seolah sedang mempertimbangkan suatu keputusan strategis.
“Divisi Keuangan, Pak,” jawab Virgo, jarinya sudah mengetik cepat di tabletnya. “Catatan magangnya sangat baik.”
“Latar belakang pendidikannya?”
“Akuntansi, lulusan Universitas Alverio dengan predikat Cum Laude.”
Alaric mengangguk pelan, pikirannya bekerja cepat. “Pindahkan dia ke Divisi Keuangan. Segera.”
Virgo sedikit terhenyak. “Apakah perlu saya sampaikan alasan tertentu? Mungkin … agar dia jera?” tanyanya halus, mencoba membaca keinginan sang bos.
Alaric berhenti berjalan dan menatap Virgo. Tatapannya tajam dan dingin, seperti es yang membeku. “Tidak perlu. Katakan saja ini murni keputusan perusahaan. Divisi Keuangan sedang kekurangan personel inti, dan profil Nadhifa dianggap paling cocok untuk mengisi kekosongan itu. Itu saja.”
“Dipahami, Pak,” jawab Virgo dengan hormat, menundukkan kepala.
Alaric kemudian melanjutkan langkahnya, meninggalkan bayangan panjang di lorong yang sunyi. Keputusannya telah dibuat.
Dengan memindahkan Nadhifa jauh dari jangkauan Renzo, dia bukan hanya memisahkan mereka, tetapi juga meletakkan Nadhifa di tempat yang menurutnya lebih ‘aman’—di bawah pengawasan divisi yang lebih ketat dan jauh dari godaan serta drama yang bisa merusak nama keluarga Alverio.
Namun, di balik alasan logis itu, ada gejolak emosi pribadi yang hanya dia dan dinding lorong mewah itu yang tahu.
Dia belum merelakan Renzo.
...***...
Pertemuan kecil mereka telah usai. Dokumen-dokumen telah rapi. Renzo memandangi Nadhifa sambil bersandar di meja kerjanya.
“Ngomong-ngomong, Nadhifa, lo tinggal di mana?”
“Nge-kos, Mas,” jawab Nadhifa polos.
Renzo menghela napas pelan. Sebuah bayangan tentang kamar kos sempit dan sederhana melintas di pikirannya. “Gue janji, sebagai atasan lo, gue akan bantu lo untuk bisa naik jabatan. Bekerja keras di sini, dan suatu hari nanti, lo bisa tinggal di apartemen khusus karyawan Alverio. Itu benar-benar nyaman, lho.”
Sebenarnya, Nadhifa pernah melihat kemewahan Apartemen Alverio dari jauh. Tapi dia hanya tersenyum kecil. “Aku tinggalnya nggak jauh dari sana, kok. Cuma seberang jalan, masuk ke sebuah gang kecil. Di ujung sana, ada kos-kosan yang bersih dan nyaman.”
Cara Nadhifa bercerita terdengar begitu ikhlas dan lembut, tidak ada sedikitpun keluhan. Justru nada syukur itulah yang membuat hati Renzo terasa adem, sekaligus terenyuh.
Dia tidak bisa membayangkan seorang putri Ravenshire Alverio yang tidak diakui harus tinggal di sebuah gang kecil.
“Kos-kosan di gang …,” gumam Renzo, rasa kasihan tak terbendung. “Dhifa, gue punya akses ke salah satu unit apartemen karyawan. Lo bisa tinggal di sana. Gratis. Anggap aja sebagai bagian dari benefit untuk anggota tim inti gue.”
Nadhifa langsung menggeleng, mata bulatnya menunjukkan penolakan yang tegas. “Nggak bisa, Mas Renzo. Terima kasih banyak, tapi aku nggak mau merepotkan. Aku mau segala sesuatu didapat dengan usaha sendiri. Aku mau menunggu sampai kerja keras aku benar-benar membuahkan hasil dan aku layak untuk itu.”
Prinsipnya yang kuat membuat Renzo tidak bisa memaksa. Dia hanya bisa mengangguk, menghormati pilihannya.
“Okay. Kalo gitu, pulangnya hati-hati ya.”
“Iya, terima kasih, Mas Renzo.”
Nadhifa membungkuk sedikit lalu berbalik menuju pintu. Saat melewati sudut meja kerja Renzo, tanpa disengaja, sisi kanan kerudung panjangnya tersangkut pada sebuah tonjolan dekorasi kecil di meja.
Dia tertarik mundur secara tiba-tiba. Jerat di lehernya mengencang, dan peniti penahan kerudungnya nyaris terlepas, mengancam membuka sebagian rambutnya. Nadhifa terkesiap, matanya panik, tangannya berusaha meraih ujung kerudung yang tersangkut tapi tidak bisa.
Melihat itu, Renzo bergerak dengan cepat. Daripada berusaha melepaskan kerudung yang tersangkut—yang justru berisiko membuatnya semakin berantakan—dia mengambil jalan yang lebih halus.
Dengan gerakan satu tarikan, ia mengambil jas yang tergantung di sandaran kursi. Dengan langkah pasti, dia mendekati Nadhifa yang sedang kebingungan dan tanpa sepatah kata pun, menjulurkan dan meletakkan jas itu di atas kepala Nadhifa, menutupi seluruh bagian atas tubuhnya, termasuk kerudungnya yang hampir terlepas, seperti sebuah payung atau tenda kecil yang melindungi.
“Diam sebentar,” bisiknya, suaranya tenang dan meyakinkan.
Dari dalam naungan jas itu, Nadhifa hanya bisa terdiam, mencium aroma wangi parfum Renzo dan sesuatu yang khas dari Renzo.
Hatinya berdebar tak karuan.
Dengan hati-hati, tangan Renzo bekerja di balik naungan jas itu, melepaskan kain kerudung yang tersangkut dari tonjolan meja. Hanya butuh beberapa detik.
“Udah,” ujarnya lembut.
Dia menarik kembali jasnya, dan Nadhifa pun kembali ‘terbuka’. Kerudungnya masih terpasang dengan rapi, tidak ada yang tergeser. Renzo mengambil satu langkah mundur, memberinya ruang.
Matanya dengan sengaja menatap lurus ke mata Nadhifa, menghindari untuk melihat ke bagian kepala atau kerudungnya.
“Aku nggak lihat apa-apa,” ucap Renzo, suaranya berbisik namun terdengar jelas di ruangan yang sunyi.
Sebuah janji dan jaminan bahwa kehormatan dan privasinya tetap utuh.
Mata Nadhifa berkaca-kaca. Bukan karena malu, tapi karena terharu oleh sikapnya yang begitu bijak dan menghormati. Dia hanya bisa mengangguk pelan.
“T-Terima kasih, Mas Renzo,” ucapnya terbata-bata, sebelum akhirnya berbalik dan hampir berlari keluar ruangan, meninggalkan Renzo sendirian dengan jas di tangannya.
Pada saat itu, Nadhifa merasa, di balik semua kekacauan keluarga ini, Renzo Alverio tetaplah seorang pria dengan hati yang paling lembut yang pernah dia temui.