 
                            Alia adalah gadis sederhana yang hidup bersama ibu kandungnya. Ia terjebak dalam kondisi putus asa saat ibunya jatuh koma dan membutuhkan operasi seharga 140 juta rupiah.
Di tengah keputusasaan itu, Mery, sang kakak tiri, menawarkan jalan keluar:
"Kalau kamu nggak ada uang buat operasi ibu, dia bakal mati di jalanan... Gantikan aku tidur dengan pria kaya itu. Aku kasih kamu 140 juta. Deal?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alesha Aqira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 4 MSUM
"Dasar anak ini! Aku sengaja ke bandara buat jemput dia, malah nggak ketemu," gerutu Mery, mengenakan kacamata hitam besar sambil melirik sekeliling dengan kesal.
"Mungkin dia sudah melewati kita tanpa kita sadari," sahut Sinta, asisten pribadinya, sambil menunduk gugup. "Bagaimanapun, dia nggak pernah muncul semenjak debut. Kita nggak tahu wajahnya seperti apa."
Mery menoleh tajam. "Bukannya kamu yang bilang, kalau dia lihat papan nama ini, dia pasti akan melihat kita?"
Sinta terdiam, lalu menunjuk papan nama berwarna emas bertuliskan ‘E.M.A – Exclusive Guest’ yang masih dipegangnya.
"Sampah! Buat apa masih disimpan? Cepat dibuang! Nggak guna!" bentak Mery sambil menepis papan itu hingga hampir terjatuh.
Ia menarik napas panjang, lalu melangkah cepat keluar dari bandara sambil menahan amarahnya.
"Beberapa tahun ini aku dapat posisi tinggi di perusahaan perhiasan, Ditambah dukungan dari Global Holdings..." gumamnya, seperti meyakinkan dirinya sendiri.
"...dan alasan lainnya, aku meniru desain dari Ema. Tapi... meniru bukan rencana jangka panjang yang baik."
Ia berhenti sejenak di depan pintu mobil, menatap ke kejauhan dengan tatapan licik.
"Cuma dengan cara menarik Ema ke kantor, aku baru bisa merasa posisi ku aman."
Ia menoleh pada Sinta, matanya tajam dan penuh ambisi.
"Bagaimanapun caranya, aku harus dapatkan Ema. Kalau nggak ketemu di bandara, aku akan ke pameran dan menunggunya di sana. Aku nggak percaya… aku nggak bisa ketemu dia."
----
Suasana mal sore itu cukup ramai, tapi tetap terasa eksklusif dengan butik-butik kelas atas dan pencahayaan yang hangat. Di salah satu lorong dekat toko mainan, Alia berjalan sambil menggandeng tangan Alya dan Arel, yang tampak antusias melihat etalase penuh mainan robot dan boneka.
"Mama, yang ini lucu banget!" seru Alya sambil menunjuk boneka kelinci besar berwarna pink.
Alia tersenyum. "Oke, tapi satu saja ya, jangan semua kamu minta."
Dari kejauhan, sepasang mata mengawasi dengan tajam. Mery, yang baru saja keluar dari butik perhiasan, menghentikan langkahnya saat matanya menangkap sosok yang familiar.
Ia menyipitkan mata. "Bukannya itu… Alia?" gumamnya pelan. Wajahnya sedikit tegang.
Sinta yang berada di sampingnya menoleh. "Siapa, Bu?"
"Tunggu di sini," ucap Mery cepat, lalu melangkah mendekat ke arah Alia.
Langkah Mery terhenti ketika dua anak kecil menoleh bersamaan ke arah Alia—anak kembar.
Sejenak, Mery terdiam. Matanya membesar sedikit. Tatapan mata si anak laki-laki… garis rahangnya… senyumnya…
"Astaga… mirip sekali dengan Leonardo."
Wajah Mery berubah pucat. Ia tak percaya dengan apa yang ia lihat. Ia menyatukan potongan-potongan masa lalu—kejadian di hotel, hilangnya Alia, dan identitas misterius yang tidak pernah ia ungkapkan kepada siapa pun.
Sementara itu, Alia yang baru menyadari keberadaan Mery, mendongak. Tatapan mereka bertemu.
Hening.
Beberapa detik yang terasa seperti berjam-jam.
"Alia?" suara Mery akhirnya pecah, sinis namun penuh keterkejutan. " bukannya kamu diluar negeri."
"Kenapa kamu pulang ke sini?" tanya Mery dengan nada tajam.
"Kenapa? Nggak boleh pulang ke sini?" sahut Alia tenang, meski matanya menyiratkan kemarahan yang ditahan.
"Oh, benar juga. Mana ibumu apakah sudah mati."
Alia menatap Mery tajam. "Mery, setelah lama nggak ketemu, kamu masih juga nggak bisa jaga mulut busukmu."
Mery menyeringai. "Kamu…"
Alia menggenggam tangan anak-anaknya lebih erat, berusaha tetap tenang. "Kau masih sama seperti dulu, Mery. Masih suka mencampuri urusan yang bukan milikmu."
"Mama, mama... dia itu siapa?" tanya Arel, menoleh ke arah Mery yang baru saja pergi dengan wajah tak bersahabat.
Alia menggenggam tangan Arel dan Alya lebih erat. "Sayang, dia cuma wanita yang nggak sopan. Mama juga nggak tahu siapa dia. Ayo, mama bawa kalian pulang."
Biar kita bisa cepat sampai kerumah.
"Iya, ayo!" sahut Alya riang, meski matanya masih menoleh penasaran ke arah wanita yang membuat mamanya berubah raut wajah.
Sementara itu, Mery berdiri di belakang pilar, memperhatikan mereka dari kejauhan.
"Mereka berdua… anak Alia. Umur mereka sekitar enam tahun… apa mungkin?" pikir Mery. Wajahnya tegang, bibirnya menggumam pelan, "Enam tahun yang lalu, malam itu…"
Di dalam mobil, Arel masih belum puas dengan jawabannya.
"Mama, mama… wanita kasar itu sering ganggu mama, ya?"
Alia tersenyum pahit, lalu menatap anaknya lewat cermin spion. Dalam hati, ia bergumam,
"Tidak disangka... baru pertama kali ketemu Mery, tapi Arel sudah menyadarinya."
"Mana mungkin ada orang yang berani mengganggu mama. Arel, tenang saja ya."
"Okeh! Tapi kalau sampai ada yang ganggu mama, aku pasti akan lindungi mama!" jawab Arel mantap, menepuk dadanya.
"Aku juga pasti akan lindungi mama!" sambung Alya, tak mau kalah.
Alia menoleh, tersenyum lembut. "Terima kasih, sayang. Mama sayang kalian berdua... jadi ayo, pulang ke rumah kita."
"Ayo!" jawab mereka serempak.
Namun Arel hanya melirik ke jendela, menyandarkan kepalanya, dan dalam hati ia berkata,
"Mama masih saja nggak pintar berbohong. Aku ini nggak mudah dibodohi."
"Nggak apa-apa… kalau aku lihat bibi jahat itu lagi, aku pasti akan kasih dia pelajaran."
----
"Al, kamu di mana? Malam ini malam perayaan pencapaianmu. Kamu nggak datang ke pameran, tapi datanglah ke pestanya!"
"Ucap seorang diseberang telepon"
"Sebentar lagi aku sampai. Jangan berisik," jawab Alia sambil tertawa kecil, mencoba meredakan gugup yang menyelimuti dirinya sejak sore.
Gaun panjang berwarna gading membalut tubuhnya dengan elegan. Rambutnya ditata rapi, dan aroma parfum lembut menambah kesan mewah pada penampilannya malam itu. Ia melangkah keluar dari mobil, menatap hotel mewah tempat pesta perayaannya digelar.
Namun langkahnya terhenti ketika ia melihat sosok seseorang yang bersandar di dinding lorong samping lobi hotel.
Tubuh itu gemetar, jasnya robek di bagian lengan, dan sedikit darah menodai kemejanya. Nafasnya berat, wajahnya pucat.
"Tuan, Anda tidak apa-apa?" tanya Alia panik, ketika melihat pria di depannya nyaris terjatuh.
"Kejar ke sana!" teriak suara dari kejauhan.
"Cepat!"
Pria asing itu spontan menarik tangan Alia dan membawanya ke balik tiang besar di lorong hotel.
"Tuan—"
"Ssst! Jangan berisik," bisik pria asing itu sambil menutup mulut Alia perlahan, tapi tegas. "Jangan bicara."
Langkah-langkah tergesa terdengar semakin dekat.
"Di mana dia? Cepat cari!" salah satu pria berteriak. Di tangannya terlihat pisau berlumuran darah—darah pria asing itu .
"Berpencar kalian! Aku ke arah kiri, kalian ke kanan!" perintah pria itu sambil memindai setiap sudut lorong.
Alia menggigit bibirnya, tubuhnya menegang dalam pelukan pria asing yang melindunginya. Ia tak tahu siapa dia, tapi instingnya mengatakan: pria ini dalam bahaya besar.
"Saat keluar nanti, jangan bilang kamu lihat aku," bisik pria itu pelan.
Alia hanya mengangguk cepat, jantungnya berdebar kencang.
Setelah keadaan dirasa aman, Pria itu perlahan berjalan menjauh dari tempat persembunyian. Namun baru beberapa langkah…
"Eh, Tuan! Anda baik-baik saja?"
Tubuh Pria itu limbung, lalu terjatuh.
"Tuan! Anda pingsan!" Alia segera berlutut, mencoba menopang tubuhnya.
"Astaga… gimana ini? Perayaan pamerannya sudah mau dimulai, tapi… pria ini…!"
Tanpa banyak pikir, Alia segera memanggil taksi dan membawanya ke rumah sakit terdekat. Meski ia tak tahu siapa pria itu, hatinya tak tega membiarkan seseorang dalam keadaan seperti itu.
“Siapa dia sebenarnya?” batin Alia, sambil menggenggam ponselnya gelisah.
 
                     
                     
                    