NovelToon NovelToon
AKU HANYA ISTRI WASIAT

AKU HANYA ISTRI WASIAT

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Seiring Waktu / Keluarga / Romansa / Menikah Karena Anak / Ibu Mertua Kejam / Naik ranjang/turun ranjang
Popularitas:4.5k
Nilai: 5
Nama Author: Hare Ra

Aluna ditinggal mati suaminya dalam sebuah kecelakaan. Meninggalkan dia dengan bayi yang masih berada dalam kandungan. Dunianya hancur, di dunia ini dia hanya sebatang kara.
Demi menjaga warisan sang suami, ibu mertuanya memaksa adik iparnya, Adam, menikahi Aluna, padahal Adam memiliki kekasih yang bernama Laras.
Akankah Aluna dan Adam bahagia?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hare Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 4

"Apa kau mendengarku?" tanya Adam.

Dia kesal karena Aluna hanya diam. Wanita itu bahkan hanya bergeming, ekspresi datar saat mendengar dia memiliki kekasih. 

Adam merasa terbebani. Dia bahkan tidak tahu, apakah Aluna marah atau tidak.

"Iya. Aku mendengar, Mas."

"Kenapa kau diam saja?"

"Terus, aku harus menjawab apa, Mas?" Kali ini, Aluna yang balik bertanya. Dan Adam tidak bisa menjawabnya.

Keduanya terdiam, tidak ada lagi pembicaraan. Diluar, angin mulai bertiup kencang. Udara dingin, bahkan menusuk hingga ke tulang.

Malam ini adalah awal bagi Aluna dan Adam, hidup mereka berubah.

Hari-hari yang dilalui tidak lagi sama, terutama bagi Adam. Dia kini tinggal satu atap dengan Aluna dan Kiya. Setiap hari melihat wajah Aluna, dilayani semua kebutuhannya oleh Aluna.

Wanita yang bernama Laras yang diketahui kekasih Adam itu, ternyata tinggal di kota XXX. 

Hingga tanpa terasa, sudah delapan bulan pernikahan mereka. Kini Kiya sudah bisa berjalan, dia tumbuh menjadi anak yang ceria. Bahkan dia memanggil Adam dengan sebutan Papa. Kiya tidak tahu apa-apa tentang hidup ini, yang dia tahu Mamanya adalah Aluna dan Papanya adalah Adam.

“Aluna, aku mau ke kota XXX, sekitar seminggu,” kata Adam pagi ini berpamitan kepada sang istri.

Ini adalah hari libur. Dan dia memilih untuk pergi daripada menghabiskan waktu di rumah bersama Aluna.

Aluna yang sedang menyuapi Kiya hanya mengangguk. “Iya, Mas.”

Dia tahu persis kota XXX itu bukan cuma soal urusan kerja atau bisnis. Setiap kali Adam pergi ke sana, pasti ada hubungannya dengan Laras. Adam akan bertemu dengan kekasihnya.

“Kalau Papa sama Mama nanya, bilang aja aku ada reunian sama temen-temen kampus,” tambah Adam, sambil memeriksa ponselnya.

“Iya, Mas.”

Jawaban Aluna datar. Tidak marah, tidak menangis, hanya pasrah. Hatinya memang tidak pernah benar-benar kosong, tapi sudah lama ia belajar untuk tidak menunjukkan apa-apa. Ia tahu posisinya, istri sah, tapi bukan yang dicintai.

Hatinya hampa, entah akan seperti apa hidup mereka ke depannya. Dia adalah istri sah, tapi membiarkan suaminya menemui pacarnya. Meskipun hingga kini dia tidak tahu perasaannya kepada Adam itu apa, tapi tetap saja rasanya ada yang nyeri setiap kali mendengar Adam ingin bertemu dengan Laras.

Ia tidak tahu harus merasa apa pada Adam. Bukan benci, tapi juga belum bisa dibilang cinta. Hanya ada kebiasaan, tanggung jawab, dan rasa terima yang tulus.

Sejauh ini, orang tua Adam belum tahu soal Laras. Mereka bahkan menganggap rumah tangga Adam dan Aluna baik-baik saja. Padahal, dari luar memang terlihat normal: Adam tidak kasar, tidak cuek, bahkan cukup perhatian pada Kiya. Tapi Aluna tahu, ada jarak yang nggak pernah tertutup antara mereka. Ada tembok yang berdiri kokoh penghalang mereka.

Adam biasanya pergi ke kota XXX tidak pernah menginap. Cukup buat ketemu Laras, lalu pulang. Tapi kali ini beda. Seminggu. Ada rasa cemas yang mengendap, tapi Aluna memilih diam. Ia tidak mau bikin masalah. Ia juga tidak punya alasan untuk protes.

“Oh iya, jangan telepon atau chat aku selama di sana,” lanjut Adam.

“Iya, Mas.”

Aluna kembali fokus ke Kiya, yang mulai gelisah karena makanannya sudah habis. Ia membersihkan wajah putrinya, lalu menggendongnya pelan-pelan.

Sejak menikah dengan Adam, hidupnya tidak banyak berubah. Ia tetap mengerjakan semua pekerjaan rumah sendiri, merawat Kiya, memasak, mencuci—sama seperti dulu saat bersama Arman.

Ia juga tetap menjalani kewajiban sebagai istri, termasuk urusan ranjang. Tidak pernah menolak. Ia lakukan dengan ikhlas, meski kadang terasa hampa. Baginya, itu bagian dari kontrak tak tertulis, ia menjaga nama baik rumah tangga, Adam menjaga haknya sebagai ayah Kiya.

Dari luar, mereka terlihat seperti pasangan normal. Harmonis. Tapi di dalamnya rapuh. Mereka bicara seperlunya, jarang bercanda, apalagi curhat jangan ditanya. Mereka hanyalah dua orang yang tinggal satu atap karena kewajiban, bukan karena rasa.

Tapi satu hal yang membuat Aluna lega, Adam benar-benar sayang sama Kiya. Itu yang membuat Aluna bisa bertahan. Karena setidaknya, anaknya punya ayah yang peduli, Kiya tumbuh tidak kekurangan kasih sayang.

“Ada yang mau kamu titip?” tanya Adam lagi, sambil memasukkan koper ke mobil.

Aluna menggeleng. “Nggak ada, Mas.”

“Dadah, Papa,” bisik Aluna sambil mengangkat tangan Kiya, melambai ke arah mobil yang perlahan menjauh, meninggalkan debu tipis di udara pagi.

“Dadah… Paaa…” ucap Kiya riang, tertawa kecil. Ia masih terlalu kecil untuk tahu bahwa ayahnya tidak sedang pergi untuk urusan kerja—tapi untuk menemui perempuan lain.

Setelah mobil menghilang dari pandangan, Aluna membawa Kiya ke samping rumah. Di sanalah kebun kecil mereka—beberapa rumpun kacang panjang, terong, tomat, dan satu rumpun singkong yang belum pernah dipanen. Tempat ini adalah pelarian Aluna. Tempat ia mengisi waktu, mengusir kesepian, dan mengenang Arman.

Dulu, saat hamil Kiya, Aluna sering merasa bosan. Arman sibuk bekerja, pulang larut, bahkan saat libur tetap bekerja dari rumah. Sampai suatu hari, Arman membawa bibit, cangkul, dan tanah. “Aku bikin kebun buat kamu, Sayang. Biar nggak bosen di rumah terus.”

Kini, setiap kali Aluna menyiram atau memetik sayur, ia merasa Arman masih ada. Masih menemani.

“Mas,” gumamnya pelan, matanya menatap rumpun singkong, “tanaman yang dulu kamu tanam masih tumbuh baik.”

Kiya berdiri di tepi kebun, memakai sepatu boot lucu berwarna merah, menatap ibunya dengan mata besar penuh rasa ingin tahu.

“Luna, Adam mana?” tanya suara dari balik pagar.

Aluna menoleh. Bu Ratna sudah berdiri di depan rumah, tangannya sudah terangkat, siap menggendong Kiya.

“Nek!” seru Kiya girang, langsung berlari ke arahnya.

Ratna langsung memeluk cucunya erat. Meski hubungannya dengan Aluna selalu dingin, satu hal yang tidak bisa disangkal, ia menyayangi Kiya. Dan bagi Aluna, itu sudah cukup. Tidak perlu cinta untuknya, cukup berikan untuk Kiya, dia akan bertahan.

“Pergi ke kota XXX, Ma,” jawab Aluna, masih sambil memetik kacang panjang.

Ratna mengerutkan kening. “Ngapain kesana? Katanya dia mau ikut Papa survey alat berat. Orangnya buru-buru mau jual, mau pindah. Adam kan paling ngerti mesin. Kok malah pergi?”

“Reuni kampus katanya, Ma.”

“Reuni?” tanya Ratna seolah tidak percaya.

Aluna hanya diam. Ia tahu jawabannya, tapi tidak mungkin mengatakannya.

Tanpa berkata apa-apa, ia mulai memasukkan sayuran ke dalam keranjang kecil. “Ini, Ma. Bawa pulang, biar bisa dimasak.”

Ratna mengangguk, tapi matanya masih penuh tanda tanya. “Kapan dia pulang?”

“Katanya seminggu.”

“Seminggu? Reuni kampus aja seminggu? Kok lama banget sih?” Ratna mendengus. “Telepon dia. Suruh pulang besok. Lusa paling lambat, orangnya nunggu!”

Aluna mengangguk pelan. “Iya, Ma.”

Tidak lama, Ratna pergi sambil melambaikan tangan kepada Kiya. Ia memang tidak pernah lama-lama di rumah Aluna. Pernah suatu kali ia bilang, “Rumahmu gelap, Luna. Auranya berat.” Aluna tidak tahu maksudnya apa—kesedihan, atau mungkin rasa kesalnya yang tersimpan.

Setelah Ratna pergi, Aluna duduk di bangku kayu di teras. Ia menatap ponsel di tangannya. Haruskah ia menelepon Adam?

Adam sudah berpesan melarangnya menghubungi selama dia pergi atau lebih tepatnya selama dia bersama Laras. Tapi kalau ia tidak menyampaikan pesan Ratna, pasti dimarahi lagi. Ia terjepit—antara disalahin sama mertua, atau melanggar perintah suami.

Akhirnya, dengan jantung berdebar, ia menekan tombol panggilan. Dia tahu, Adam pasti belum tiba di kota XXX, setidaknya panggilan telepon darinya tidak mengganggu acara Adam dan Laras.

Tiga detik. Empat detik. Lalu, suara Adam menyambut—dingin, ketus. “Ada apa? Bukankah aku sudah bilang jangan hubungi aku!”

Aluna menelan ludah. Tangannya gemetar. “Maaf, Mas. Tapi tadi Mama kesini, katanya Mas Adam harus pulang besok. Ada urusan alat berat, orangnya buru-buru.”

1
Iin Wahyuni
pusing aku kok lemah banget pemeran utamanya,tolong Thor bt pemeran utamanya aluna lebih tegas lagi SM suami dan keluarga nya jgn kyk gini Thor JD nggk berdebar bacanya,JD gregetan sorry Thor sblmnya menurut aku sih heee
Hare Ra: siap kak. terima kasih sudah mampir, setelah ini dia akan bangkit kak.
total 1 replies
Haris Saputra
Baper mode on. 😭💔
Hare Ra: Terima kasih kak sudah mampir..
total 1 replies
Alucard
Kagum banget! 😍
Hare Ra: Hai kak, terima kasih sudah mampir..
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!