Ketika perang abadi Alam atas dan Alam bawah merembes ke dunia fana, keseimbangan runtuh. Dari kekacauan itu lahir energi misterius yang mengubah setiap kehidupan mampu melampaui batas dan mencapai trensedensi sejati.
Hao, seseorang manusia biasa tanpa latar belakang, tanpa keistimewaan, tanpa ingatan masa lalu, dan tumbuh dibawah konsep bertahan hidup sebagai prioritas utama.
Namun usahanya untuk bertahan hidup justru membawanya terjerat dalam konflik tanpa akhirnya. Akankah dia bertahan dan menjadi transeden—sebagai sosok yang melampaui batas penciptaan dan kehancuran?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Slycle024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Klan Mu bagian 1
Benua Awan merupakan salah satu dari lima benua besar di dunia ini. Wilayahnya terbagi menjadi lima bagian: timur, barat, selatan, utara, dan pusat. Setiap sub-wilayah memiliki konsentrasi aura spiritual langit dan bumi yang relatif seimbang—kecuali wilayah pusat yang menjadi pengecualian.
Di Benua Awan bagian timur, kekuatan utama dikuasai oleh empat sekte super dan satu kekaisaran. Di bawah mereka, berdiri berbagai klan berpengaruh serta sekte-sekte dari tingkat atas hingga bawah.
Satu tingkat di bawah salah satu sekte super, terdapat empat klan besar yang memiliki kedudukan dan pengaruh cukup besar dalam perkembangan wilayah tersebut, yaitu klan Mu, Xu, Hua,dan Zhang.
Menurut aturan yang berlaku, setiap klan besar berhak menguasai satu kota secara penuh. menjadikannya pusat kekuatan dan simbol kejayaan bagi klan mereka.
Klan Mu, misalnya, menguasai Twilight Cloud City—sebuah kota megah yang memiliki garis pantai. Ombak laut yang tak pernah berhenti berdebur menjadi saksi bisu kejayaan mereka, sementara bangunan-bangunan di pusat kota menjulang tinggi dan megah. Kota itu bukan hanya pusat perdagangan, tetapi juga markas utama di mana darah dan warisan klan Mu dijaga dengan ketat.
Namun, klan besar bukanlah satu-satunya penguasa di sub-wilayah ini. Beberapa sekte tingkat atas, baik kekuatan atau ketenaran hampir dapat disejajarkan dengan empat klan besar. Mereka bergerak seperti bayangan: kadang menjadi sekutu, kadang menjadi duri tersembunyi yang siap menusuk kapan saja.
***
Di suatu tempat yang tidak diketahui, di mana ruang dan waktu seolah kehilangan arti. Dua siluet humanoid, satu berwarna putih seperti cahaya, dan satunya kelabu seperti bayangan kehancuran, duduk saling berhadapan.
Keduanya menutup mata begitu lama, hingga hening itu sendiri terasa mendesak. Lalu, siluet putih perlahan membuka mata. Tatapannya dalam, senyum tipis yang penuh arti terukir di wajahnya.
“Belum waktunya,” katanya dengan suara tenang. “Tapi persiapan sangat diperlukan, mari bangunkan dia.”
Ia lalu mengangkat satu bidak putih, jari-jarinya bergerak lambat, penuh perhitungan dan kehati-hatian.
***
Di kediaman utama klan Mu, malam tiba-tiba diterangi oleh pilar cahaya emas yang menembus langit. Sesaat kemudian, cahaya itu berubah menjadi putih menerangi kegelapan malam.
Dalam dunia ini, pilar cahaya menandakan seseorang berhasil membentuk Laut Spiritual dan warna menandakan bakat seseorang.
Umumnya, Laut Spiritual terbagi dalam lima tingkatan warna: kuning, hijau, biru, ungu, dan emas. Kuning adalah yang terendah, sementara emas adalah yang tertinggi. Namun malam itu, ketika berubah menjadi putih, kemungkinan terjadi mutasi atau individu tersebut memiliki fisik istimewa.
***
Kediaman Hao
Sebelum cahaya matahari melahap kegelapan, keluarga Hao telah berangkat menuju kediaman utama klan Mu, untuk menghadiri upacara penobatan.
Di sepanjang jalan, mereka melihat banyak kereta dan rombongan lain bergerak ke arah yang sama. Jalan setapak yang biasanya sepi, kini ramai oleh gerbong kereta yang berdesakan.
Tiga jam kemudian, mereka akhirnya bisa melihat gerbang kota yang menjulang tinggi dan megah. Ukirannya penuh dengan simbol naga laut dan awan senja, seakan menegaskan sejarah wilayah ini.
Setibanya di gerbang, Zhang Feng menyerahkan kartu identitasnya.
Setelah pemeriksaan singkat oleh penjaga, mereka dipersilahkan masuk. Tanpa membuang waktu, rombongan mereka langsung menuju kediaman utama klan Mu.
***
Gerbang utama kediaman klan Mu berdiri dengan anggun, dijaga oleh barisan pengawal bersenjata rapi. Setibanya disana, suasana di dalam sangat ramai; tamu-tamu dari berbagai klan (keluarga) dan sekte bercampur, saling bercakap dengan penuh sopan santun namun penuh kewaspadaan.
Zhang Mei, yang masih muda dan penuh rasa ingin tahu, tak dapat menahan dirinya. Ia menoleh ke arah ibunya, lalu berkata pelan,
“Ibu, aku ingin berjalan-jalan.” dengan nada memohon.
Fei Yin menatap suaminya sejenak. Setelah mendapat persetujuan, ia pun meminta Hao menemani adiknya.
Tanpa menunggu jawaban, Fei Yin bersama suaminya segera melangkah menuju ruang tamu yang telah disediakan bagi keluarga mereka.
Melihat itu, Hao hanya bisa pasrah menemani adiknya menelusuri jalan-jalan yang ramai dikunjungi para pedagang.
Setelah cukup lama berkeliling, akhirnya Zhang Mei mulai kelelahan. Lalu Hao membawanya ke aula utama dan bergabung dengan ayah dan ibunya.
****
Di langit, sebuah kereta terbang melaju dengan kecepatan tinggi. Di dalamnya, seorang sosok duduk dengan wajah tegang. Dialah orang yang pernah bertemu dengan Hao, kini tengah menatap gadis kecil bernama Lanlan dengan ekspresi penuh kekhawatiran.
Meski dari luar Lanlan tampak sehat, sudah setengah hari lamanya ia tidak kunjung bangun. Hal itu membuat hatinya semakin resah.
Dengan tergesa, ia membuka alat komunikasi dan mengirim pesan singkat: Segera siapkan tabib terbaik. Ada yang tidak beres dengan kondisi Lanlan.
Satu jam berlalu, dari kejauhan, akhirnya ia melihat sebuah bangunan megah. Tanpa ragu, ia langsung mengendalikan kereta terbangnya menuju ke sana. Begitu mendarat, ia melompat turun dan berteriak dengan panik: “Cepat! Mana tabib? Cepat!”
Teriakannya membuat seorang pria muda berusia sekitar tiga puluhan muncul tergesa. Dengan wajah heran, pria itu bertanya, “Lin Tua, ada apa? Mengapa kau begitu panik?”
Lin Tua tidak punya waktu, dengan nada mendesak ia berkata, “Jangan banyak bicara! Di mana tabibnya?”
Melihat betapa serius dan gelisahnya Lin Tua, pria muda itu segera menunjuk ke arah dalam bangunan.
Tanpa pikir panjang, Lin Tua langsung melesat masuk, meninggalkan jejak angin di belakangnya.
----
Di dalam ruangan yang sunyi, tabib segera meraba nadi Lanlan. Alisnya perlahan berkerut, lalu ia mengangkat pandangan ke arah Lin Tua.
“Kondisi Lanlan tidak berbahaya,” ucapnya pelan. “Jiwanya hanya tertidur karena menghirup bunga tidur. Namun, racun di tubuhnya harus dikeluarkan terlebih dahulu. Dengan begitu, energi dalamnya akan kembali bekerja dan mulai menyembuhkan dirinya sendiri.”
Mendengar penjelasan itu, Lin Tua akhirnya menghela nafas lega. Namun, raut wajah tabib yang masih dipenuhi tanda tanya membuatnya kembali tegang. Ia menatapnya tajam. “Ada apa lagi?”
Tabib itu menunduk, lalu berkata dengan suara berat, “Ada energi kehidupan dalam jumlah besar di dalam tubuh Lanlan. Aku khawatir tubuhnya tidak mampu menanggung beban sebesar itu.”
Lin Tua terdiam, lalu bertanya, “Bukankah bisa dikeluarkan saja?”
Tabib itu menggeleng mantap. “Tidak mungkin. Energi kehidupan ini sudah menyatu dengan darah Lanlan. Atau lebih tepatnya… dengan darah orang lain.”
Mata Lin Tua menyipit. “Maksudmu, Lanlan—?”
Tabib hanya mengangguk pelan, tak menambahkan kata lain. Sementara itu, ia mulai menarik racun yang bersemayam di tubuh Lanlan.
Di sisi lain, Lin Tua mengangkat tangannya dan dengan tenang melepaskan segel pada Laut Spiritual Lanlan.
Sekejap kemudian, aura spiritual yang dahsyat menyembur liar dari tubuh gadis itu. Energi kehidupan dalam darahnya berbaur dengan Laut Spiritual, menciptakan gelombang kekuatan yang menggetarkan udara. Dalam seketika, ranah Lanlan menembus hingga puncak Alam Laut Spiritual.
Perlahan, Lanlan membuka mata. Ia menjilat bekas darah di bibirnya, wajahnya memerah karena kecanduan, lalu menatap Lin Tua.“Di mana… anak itu?”
Lin Tua tertegun. “Anak itu? Maksudmu siapa, Lanlan?”
Lanlan menggenggam selimut, suaranya bergetar namun tegas. “Anak yang pernah menyelamatkanku… aku ingin dia.”
Tabib menoleh serius, lalu membereskan perlengkapan dan berlari pergi.
Lin Tua menghela nafas. "Lanlan, anak itu meminta menurunkannya di sebuah gerbang desa kecil. Kemungkinan dia sudah kembali kerumah orangnya"
Lanlan menghela panjang, lalu mulai memeriksa tubuhnya dan pikirannya mulai berputar.
Segera, wajahnya memerah. Dalam hatinya bergumam. Anak sialan itu terlalu kejam bahkan setelah melakukan hal itu dia masih terlihat biasa saja....dasar kayu mati. Aku harus membuatnya membayar.
Ia lalu berdiri, membersihkan sisa darah kering di bibirnya, lalu berjalan keluar dari ruangan.