“Satu malam, satu kesalahan … tapi justru mengikat takdir yang tak bisa dihindari.”
Elena yang sakit hati akibat pengkhianat suaminya. Mencoba membalas dendam dengan mencari pelampiasan ke klub malam.
Dia menghabiskan waktu bersama pria yang dia anggap gigolo. Hanya untuk kesenangan dan dilupakan dalam satu malam.
Tapi bagaimana jadinya jika pria itu muncul lagi dalam hidup Elena bukan sebagai teman tidur tapi sebagai bos barunya di kantor. Dan yang lebih mengejutkan bagi Elena, ternyata Axel adalah sepupu dari suaminya Aldy.
Axel tahu betul siapa Elena dan malam yang telah mereka habiskan bersama. Elena yang ingin melupakan semua tak bisa menghindari pertemuan yang tak terduga ini.
Axel lalu berusaha menarik Elena dalam permainan yang lebih berbahaya, bukan hanya sekedar teman tidur berstatus gigolo.
Apakah Elena akan menerima permainan Axel sebagai media balas dendam pada suaminya ataukah akan ada harapan yang lain dalam hubungan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Dua Puluh Empat
Aldi duduk di dalam mobilnya cukup lama. Hujan semakin deras, membuat suasana parkiran rumah sakit terasa semakin muram. Lampu-lampu jalan memantul di genangan air, seperti mempermainkan pikirannya yang kacau.
Ia memejamkan mata sebentar, lalu bersandar di kursi mobil. Napasnya terasa berat.
“Aku harus minta maaf dengan Elena,” gumam Aldi pelan. “Aku harus mencoba bicara dan memohon maaf lagi. Harus ….”
Tapi, saat pintu rumah sakit terbuka, jantungnya seperti berhenti berdetak sejenak. Elena keluar. Wajahnya masih lelah, bibirnya tampak bengkak dan ada plester kecil menempel di ujungnya. Aldi menelan ludah, rasa bersalahnya makin menghantam.
Langkah Elena pelan, tapi kemudian Aldi melihat sesuatu yang membuat darahnya langsung mendidih. Ada Axel dibelakang sang istri.
Pria itu muncul dari dalam rumah sakit, berjalan cepat menyusul Elena. Tanpa banyak kata, Axel memayungi Elena dengan payung besar hitam, lalu menuntunnya menuju mobil yang terparkir tak jauh dari sana.
Aldi menegang di tempat duduknya. Matanya tak lepas dari pemandangan itu.
"Kapan Axel datang ke rumah sakit ini? Apakah benar mereka ada hubungan? Apakah Elena benar-benar tak mencintaiku lagi?" tanya Aldi dalam hatinya.
Axel bahkan sempat meraih lengan Elena pelan, seakan memastikan wanita itu bisa berjalan dengan baik. Gerakan kecil itu seperti tamparan keras di muka Aldi.
Rahang Aldi mengeras. Genggamannya di setir sampai berbunyi. Nafasnya memburu, panasnya dada membuatnya ingin keluar dari mobil dan menarik Elena paksa. Tapi kakinya berat. Ia hanya bisa memandang dari kejauhan, ketika mobil Axel melaju pergi, membawa serta Elena.
Hujan semakin deras, suara rintiknya bercampur dengan degup jantung Aldi yang membahana di telinga. Dia menutup mata sebentar, mencoba bernapas. Tapi amarah yang sejak tadi ia tekan justru meledak.
“Aku nggak bisa!” Aldi menghantam setir mobil keras-keras, membuat klakson berbunyi. “Aku nggak bisa liat dia dengan sepupuku sendiri!"
Tanpa pikir panjang, Aldi menyalakan mesin mobil dan melaju kencang keluar dari parkiran. Bukan untuk mengejar Elena, mobilnya sudah terlalu jauh, tapi untuk melarikan diri dari rasa sesak yang hampir membunuhnya.
Jalanan kota yang basah dilalui dengan kecepatan tinggi. Hujan membuat pandangan kabur, tapi Aldi tidak peduli.
Di lampu merah, ia berhenti mendadak. Tangannya masih gemetar memegang setir. Pikirannya terus berputar. Wajah Elena dan Axel yang berdiri bersama di bawah payung tadi terus terbayang.
Rasa sakit itu berubah jadi dorongan gila-gilaan. Aldi membanting setir, berbelok menuju sebuah minimarket 24 jam.
Ia turun dari mobil, masuk ke dalam, dan membeli beberapa botol minuman beralkohol. Tanpa banyak bicara, ia bayar di kasir, lalu keluar lagi dan kembali ke mobilnya.
Bukannya pulang ke apartemen, Aldi justru mengarahkan mobilnya ke tempat yang sudah terlalu sering ia datangi, apartemen Lisa.
Lisa membuka pintu dengan wajah bingung ketika melihat Aldi berdiri di depan pintu dengan pakaian basah kuyup. Pria itu tak mengatakan akan ke apartemennya.
“Aldi?” tanyanya heran. “Kamu kenapa basah-basahan begini?”
“Boleh aku masuk?” tanya Aldi dengan suara berat, nadanya lelah.
Lisa mengangguk cepat, menyingkir dari pintu dan memberi jalan. “Masuklah. Seperti baru pertama kali ke sini saja. Aku ambil handuk dulu.”
Aldi masuk tanpa melepas sepatu. Tangannya membawa kantong plastik berisi minuman. Begitu duduk di sofa, ia langsung membuka salah satu botol dan menenggaknya tanpa bicara.
Lisa kembali dengan handuk, dan menyerahkan pada pria itu, lalu duduk di samping Aldi. “Kamu habis dari mana? Kok kayak orang habis berantem?”
Aldi tidak menjawab. Ia hanya menenggak lagi botolnya, lalu mengusap wajahnya yang basah. “Aku nggak ngerti lagi sama hidup aku, Lis.”
Lisa terdiam, menatap pria itu lama. “Elena lagi?”
Aldi mengangguk pelan. “Dia keluar sama Axel. Dari rumah sakit. Aku liat sendiri.”
Lisa menghela napas. Matanya berkilat. “Aldi, mungkin ini waktu yang tepat kamu benar-benar melepaskan dia. Kamu sudah memiliki alasan yang tepat menceraikan Elena!"
Aldi menatap kosong. “Aku tak akan menceraikan Elena. Tak akan aku biarkan dia bahagia dengan Axel!"
Lisa mendekat, tangannya mengepal menahan amarah mendengar ucapan Aldi. Tapi, dia sadar, kalau bukan waktu yang tepat berdebat. "Aldi, apa yang kamu pertahankan lagi dengan pernikahanmu. Kamu bilang akan bersamaku. Aku akan menemani kamu selamanya, Aldi."
Aldi menoleh, menatap Lisa. Tatapan itu berbeda malam ini. Ada amarah, ada luka, ada rasa frustasi. Dan entah kenapa, ada hasrat yang bercampur jadi satu.
Tanpa banyak bicara, Aldi menarik Lisa mendekat dan mencium bibirnya kasar. Lisa sempat terkejut, tapi tidak menolak. Bahkan ia membalas dengan lebih lembut, seakan mencoba menenangkan Aldi.
Malam itu, amarah Aldi menemukan pelampiasan. Mereka terjerat dalam hubungan badan seperti biasanya, tapi kali ini terasa lebih emosional. Aldi seperti berusaha melupakan rasa sakitnya dengan setiap ciuman, setiap sentuhan.
Lisa membiarkan Aldi menuntaskan emosinya sampai pria itu akhirnya tertidur di sisi ranjang, dadanya masih naik turun. Namun, Lisa tidak tidur.
Ia bangkit pelan dari ranjang, duduk di tepi ranjang sambil memandangi pria itu. Ada senyum tipis di bibirnya.
Lisa meraih ponselnya, lalu mengarahkan kamera ke tubuh Aldi yang telanjang dada. Ia memotret dari sudut yang memperlihatkan tubuh Aldi dengan jelas, tapi tidak memperlihatkan wajahnya.
Ia lalu membuka aplikasi edit foto, menambahkan stiker lucu untuk menutupi wajahnya. Setelah itu, ia menatap hasilnya sebentar, memastikan foto itu cukup provokatif untuk membuat Elena panas.
Lisa mengetik pesan singkat, “Maaf, aku meminjam suamimu. Apa kau masih percaya jika kau satu-satunya dalam hatinya?"
Lisa juga mengirimkan foto itu ke nomor Elena, menggunakan nomor tak dikenal. Dia ingin sahabatnya itu tak berpikir lagi untuk berpisah.
Di apartemen Axel, Elena duduk di sofa dengan bantal di pangkuannya. Lampu ruangan hanya redup, membuat suasana tenang. Axel sudah masuk kamar untuk berganti baju, meninggalkannya sendiri sejenak.
Elena menatap kosong ke arah jendela, pikirannya kacau. Tadi di rumah sakit ia sempat ragu melanjutkan proses visum, tapi akhirnya ia tetap melakukannya. Luka di bibir dan lengannya sudah diperiksa. Semua terasa begitu nyata sekarang.
Ponselnya yang tergeletak di meja bergetar. Elena meraih ponsel itu. Ada pesan masuk. Nomor tidak dikenal. Keningnya berkerut. Tapi, ia tetap membuka pesan itu.
Dan seketika dadanya seperti diremas. Seseorang mengirim foto Aldi. Bertelanjang dada. Di ranjang bersama dengan seorang wanita yang hanya terlihat tubuhnya.
Elena terdiam sesaat. Tapi matanya langsung mengeras. Itu bukan sekadar ranjang, itu ranjang di apartemen Lisa. Sprei bermotif bunga, gorden krem yang ia tahu persis karena dia yang menemani Lisa memilihnya setahun lalu.
“Lisa ….” Suara Elena hampir berbisik. "Apa kau pikir bisa menyakitiku dengan mengirim foto ini. Hatiku sudah mati untuk Aldi. Milikilah untukmu," gumam Elena.
Elena lalu mengetik, dia membalas pesan itu. "Maaf, aku tak peduli. Jika kamu ingin mengambil barang bekasku, ambil saja. mungkin kamu hanya mampu memiliki barang bekas."
Axel yang sudah mengganti bajunya keluar dari kamar. Dia melihat Elena sedang menatap foto.
"Kangen Aldi?" tanya Axel. Sekilas dia melihat kalau itu foto Aldi.
"Nggaklah. Ini foto dikirim seseorang. Aku yakin Lisa. Saat ini Aldi berada di apartemennya," jawab Elena.
"Kamu marah? Cemburu?" tanya Axel lagi. Entah mengapa dia ingin tahu jawaban dari wanita itu. Sebenarnya dia yang merasa cemburu melihat Elena menatap foto suaminya. Axel tahu ini salah. Tapi, dia tak bisa menolak perasaan itu. Elena hanya tersenyum. Belum menjawab pertanyaan pria itu.
semoga elena kuat melihat perbuatan mereka ber2