Orang bilang Abel yang jatuh cinta duluan dengan gombalan-gombalan itu, tapi Abi juga tahu kalau yang rela melakukan apa saja demi membuat Abel senang itu Laksa.
.
Berawal dari gombalan-gombalan asbun yang dilontarkan Abel, Laksa jadi sedikit tertarik kepadanya. Tapi anehnya, giliran dikejar balik kok Abel malah kabur-kaburan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nanadoongies, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 13
Demi apapun, Anjani merasa jantungnya akan meledak saat ini juga. Kalau Laksa betulan ketahuan, bisa-bisa peperangan akan meledak untuk kali kedua.
“Pindah aja. Jangan ngerusuh di kasur Abel.”
“Hah?”
Bian menoleh, sedikit kebingungan karena reaksi Anjani. “Pindah ke sini. Biar Abel tidur lebih nyenyak.”
“Ohhh, oke-oke.”
Anjani kontan mengedarkan pandangan ke sekeliling. Dia sama sekali tidak mendengar suara pintu terbuka, tapi Laksa juga tidak ada di sana. Selain blasteran Indo x Korea, Laksa bukan keturunan alam fana x alam dewa seperti cerita mitologi China, ‘kan?
“Laksaaaa. Lo ngumpet di mana?” bisiknya cukup hati-hati. Takut-takut Bian masih ada di sekitar sana. “Eh, yang ngajak gue ngobrol barusan beneran orang, ‘kan? Nggak lucu njir kalau ada yang nyamar jadi Laksa.”
Laksa yang berbaring pada ranjang paling ujung memilih meneruskan tidurnya.
***
Rapat OSIS digelar di bawah pohon beringin, dekat lapangan basket yang sore itu masih sepi karena ekstrakurikuler belum dimulai. Mereka duduk melingkar dengan camilan masing-masing, pokoknya anti tegang karena ada camilan favorit yang menenangkan. Pada bagian ini, Abel mengonsumsi siomay dengan kenikmatan tiada tara, bahkan enggan ikut mengoceh seperti teman-temannya yang lain.
“Anteng amat, Bu?” Dito geleng-geleng kepala. “Biasanya yang lain duduk aja lo udah atraksi sendiri.”
“Kampret! Lagi nggak punya tenaga gue, kalau tenaga lo mau gue sedot sampe habis, gue mau kalau disuruh atraksi.”
“Emang sinting.”
“Minta risol boleh nggak?” Abel menatap Dito dengan binar mata menggemaskan, bau-bau capernya ada banget kalau kata Anjani.
“Tinggal ambil dah, nggak perlu kedap-kedip kayak orang cacingan begitu.”
“Ehehehe. Ini risol apa??”
“Sayur. Mau beli yang mayo udah keburu kehabisan. Tapi rasanya sama-sama enak kok.”
Mendengar kata “risol mayo” Abel jadi membeku. Mendadak jadi kepikiran Laksa lagi padahal tidak ada yang melabeli nama Laksa dengan camilan yang satu itu. Lantas entah bagaimana ceritanya, segalanya terasa sedikit aneh. Rindu? Bukan. Tapi muncul sedikit kesedihan seolah segalanya tentang Laksa selalu membuatnya tersedu-sedu.
“Dimakan. Dlihatin doang mana kenyang?”
“Kalau nggak tega makannya, biar gue aja.” Anjani merampas sisa risol terakhir dan mengunyahnya sampai mulut penuh.
“Emang kenapa jadi nggak tega?” Dito menatap dua sahabat hebringnya dengan dahi mengerut. “Lo nggak tega karena sayurnya dipotong-potong buat dijadiin isian?”
“Mungkin?”
“Cewek tuh kalau lagi PMS jadi ngeri-ngeri, ya? Gue jadi kepikiran buat jomblo lebih lama daripada pusing-pusing ngurusin kaum kalian.”
Anjani ikut mendengus. Tak lama setelah itu, Bian bersama kawan-awannya mulai memasuki lapangan dengan beberapa camilan yang memenuhi tangannya. Seporsi sotong dia letakkan di pangkuan Abel tanpa mengatakan apa-apa.
“Udah pada kumpul semua, ‘kan?”
“UDAAAHHH!”
“Kalau gitu, rapatnya gue mulai sekarang. Berdasarkan program kerja yang udah kita buat sebelumnya, akhir pekan minggu depan kita bakal mengadakan camping malam keakraban kelas sepuluh ....”
“Bel. Bel. Lo dilihatin sama gengnya Dinda tuh,” bisik Anjani. Dito jadi ikut menoleh ke arah yang sama mentang-mentang duduk di antara keduanya.
“Biarin aje. Sayang udah dikasih mata kalau nggak dipake buat lihatin gue. Mumpung ada bahan gibah depan mata nih, masa cuma dianggurin doang? Julidin dong!”
“Emang cuma lo doang yang dibenci sama orang tapi malah kegirangan.”
“Itung-itung gugurin dosa asbun gue, To.”
“Temen-temen yang kebagian survey siapa aja nih?” tanya Bian. Dia diam-diam memperhatikan Abel yang tak kunjung menyentuh sotong pemberiannya malah menyantap permen milkita.
“Gue. Gue. Gue.” Dito melambaikan tangan dengan begitu antusias. Semangat dia kalau diajak menaiki gunung menuruni lembah. Kan, saudaranya Dora.
“Sabtu besok gue sama Rezza bakal survey ke tempat yang udah kita pilih sebelumnya. Kalau lokasinya nggak kompatibel buat semua acara kita, nanti cari tempat lain. Eh, Pak, harusnya lo ikut nggak sih? Biar gue sama yang lain bisa langsung tau lo setuju sama tempatnya atau nggak.”
“Iya, ntar gue ikut turun.”
“Nah, mantab tuh!”
“Ada yang mau ikut turun lagi?”
“Gue mau. Gue mau.”
“Yakin lo mau ikut, Din? Bukan apa-apa nih, kita ke sana buat survey bukan buat liburan. Gue nggak tanggung jawab, ya, kalau kulit lo yang shining shimmering splendid itu digigitin sama nyamuk,” ujar Dito. Sebetulnya ia tidak begitu yakin, sebab Dinda bersama geng ala-alanya itu lumayan merepotkan dengan lingkungan seperti itu.
“Jangan norak deh! Ini udah tahun berapa sampai lo nggak mengenal teknologi yang namanya lotion anti nyamuk?”
“Kasih tau doang kali. Ntar nangis-nangis lagi kalau tangannya bentol-bentol.”
“Lo kira gue secupu itu apa? Pokoknya gue mau ikut. Titik.”
“Abel nggak mau ikut?” tanya Bian. Sejak awal dia memang mengharapkan kehadiran gadis ini. Tahu-tahu malah Dinda yang mengangkat tangan lebih dulu.
“Boleh daripada guling-guling di kasur doang.”
“Jani ikut aja. Biasanya juga sepaket sama Abel.”
“Nah, demen nih gue. Seenggaknya gue nggak kelihatan kayak kambing congek sendirian,” sahut Rezza.
“Gue aja yang ikut survey mumpung nggak ada kegiatan di rumah,” ujar Evan. Dia jadi ikutan gatel mentang-mentang Anjani ikut juga.
“Alah, alah, mau modus doang, ‘kan, lo? Kemarin diajakin jadi tim survey nggak pernah mau, giliran Jani ikut lo nggak mau ketinggalan juga. Emang kampret!” seru Rezza.
“Setelah gue pikir-pikir kayanya jadi tim survey seru juga, ehehehe.”
“PRET!”
“Nggak usah. Lo tim perlengkapan, ‘kan? Daripada ikut survey mending mulai siapin tenda dan peralatan lain. Sisanya mulai susun rundown biar nggak gitu dadakan. Selain yang ikut survey tetap datang ke sekolah buat urusin yang lain.”
“Lo mah nggak setia kawan, Bi.”
“Salah siapa malah nolak?” Rezza menjulurkan lidahnya, mulai menggoda.
“Emang kampret lu, Za.”
“Kumpul di sekolah jam setengah delapan.”
“Agak siangan dikit kenapa, Bi? Nggak sekolah, nggak libur masa gue harus bangun pagi terus?” protes Chandra.
“Nah, kalau yang ini gue juga setuju nih. Jangankan buat survey, mata gue aja belum melek kalau kumpulnya harus jam segitu,” sahut Dito.
“Jam delapan. Kalau ada yang nego lagi, gue jadiin ketuplak.”
“SYAP!”
“Jemput gue, Jan. Malas bawa motor.”
“Motor kok dibawa? Motor mah dinaikin, Bel. Dinyalain, tancap gas, ngeeeeeng. Superman lo bisa bawa motor segala?”
“Asbun lo beneran udah sampai tahap kronis, ya?”
“Ehehehe.”
Obrolan mengalir semakin jauh, meskipun tak semuanya membicarakan tentang hal-hal serius. Sesekali Abel masih asbun, ditambah kerandoman Dito yang membuat suasana jauh lebih hidup. Tidak heran jika beberapa di antara mereka justru mengatai keduanya sebagai orang gila.
“Bel?”
Yang dipanggil kontan menoleh, bersama dua sahabat yang ikut menoleh pula.
“Kenapa, Bi?”
“Sabtu nanti berangkat sama gue aja biar Jani berangkat sama Dito atau Reza.”
“Pak, lo tega membuang gue yang paling setia kawan ini?” Anjani menepuk dadanya dengan gerak dramatis. “Gue yang diajakin duluan loh, Pak, main nikung-nikung aja lo. Kayak gitu tuh nggak baik tau. No no.”
“Dramatis anying!” maki Dito, Anjani malah cekikikan. “Biar aja mereka bawa motor berdua, lo naik motor sama gue aja.”
“Sial! Masih aja dibahas.”
“Deal, ya?”
Abel mengangguk kecil. Ia juga tidak punya alasan lain untuk menolak ajakan Bian. Daripada jadi masalah—Laksa akan jadi kambing hitamnya— lebih baik mengiyakan saja. Lumayan, ‘kan, dapat jemputan gratis.
“See you,” ujarnya sembari mengusap puncak kepala.
“EWWWH!"