PEDANG GENI. seorang pemuda yang bernama Ranu baya ingin membasmi iblis di muka bumi ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fikri Anja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 4
"Siapa kau?!" Seorang lelaki dewasa berpakaian serba merah bertanya dengan nada sedikit membentak. Di sampingnya, seorang lelaki berperawakan tidak terlalu tinggi, tapi memiliki perawakan kekar dan berpakaian sama, menatap Ranu dengan kecurigaan besar.
"Aku tidak tahu, Paman. Tiba-tiba saja aku berada di sini. Sebenarnya aku berada di mana sekarang?" jawab Ranu berpura-pura bingung memandangi sekitar.
"Kau jangan bohong, Anak Muda! Kau pasti sengaja menyusup masuk ke sini, kan?"
"Menyusup bagaimana, Paman? Apa mungkin penjagaan yang ketat seperti itu aku bisa melewatinya?" Ranu menunjuk dua pos penjagaan yang tinggi di setiap sudut kompleks bangunan, dan masing-masing pos penjagaan diisi 5 orang anggota perguruan tersebut.
Kedua orang lelaki mengendorkan kecurigaannya, setelah melihat Ranu dari atas ke bawah dan tidak ditemukan tanda-tanda yang mencurigakan.
Tapi mereka berdua tidak melepaskan begitu saja pemuda itu. Dengan sedikit memaksa, Ranu dibawa dan dimasukkan ke dalam penjara bawah tanah yang letaknya berada di bagian belakang komplek perguruan.
"Kau tidak akan kami lepaskan terlebih dahulu! Tunggu keputusan dari ketua Durna," kata lelaki bertubuh agak pendek sambil mendorong Ranu ke dalam penjara besi.
"Kapan ketua Durna kembali, Paman?" tanya Ranu.
"Mungkin besok atau lusa. Ketua Durna sedang pergi keluar!" jawab lelaki itu kemudian beranjak pergi meninggalkan ruangan penjara.
"Bagaimana dengan Mahesa jika aku di sini sampai dua hari ke depan?" tanya Ranu dalam hati. Dia berpikir keras untuk mencari jalan keluar tapi bisa kembali lagi.
"Geni, apa kau punya solusi bagaimana aku bisa keluar tanpa merusak penjara ini, dan bisa kembali lagi?" Ranu terpaksa bertanya kepada Geni, karena otaknya sedang buntu dan tidak bisa berpikir lagi.
"Lumpuhkan seorang penjaga dan ganti pakaianmu dengannya," jawab Geni singkat.
"Lalu selanjutnya aku harus bagaimana?"
"Kau ini katanya pintar, tapi ternyata bodoh. Pikir saja sendiri, aku hanya memberi jalan pembuka saja!"
"Hehehe ... kau sepertinya sedang ada masalah. Kalau boleh tahu ada masalah apa? Apakah masalah kekasih?" Ranu terkekeh menggoda Geni.
"Sudahlah, males aku menanggapi pendekar gendeng. Lebih baik aku tidur lagi," sahut Geni kesal.
Ranu duduk di sudut penjara yang sedikit lembab.
Pikirannya bekerja keras untuk melanjutkan rencana yang sudah dibuat Geni untuknya.
"Lumpuhkan seorang penjaga dan ganti pakaianku dengannya." Ranu menggumam pelan. Tangannya mengorek-orek membuat gambar tak beraturan di lantai penjara.
Sesaat kemudian, otak tengil Ranu bekerja, "Kenapa aku tidak bersandiwara saja?" ucapnya pelan sambil terkekeh.
Ranu telentang sambil memegang perutnya. Dia mengaduh kesakitan dengan begitu keras, hingga membuat penjaga penjara mendengarnya.
"Tolooong...!" teriaknya.
Penjaga penjara bergegas menuju penjara tempat Ranu ditahan, "Kau kenapa? Jangan membuat keributan!" bentaknya.
Ranu berguling-guling sambil memegangi perutnya, "Tolong, Tuan. Perutku sakit sekali!"
Penjaga tersebut tidak menghiraukan Ranu dan hendak meninggalkannya. Tapi pemuda itu tidak kehilangan akal. Dia terus berteriak, bahkan semakin keras.
Karena kesal dengan teriakan Ranu yang tak juga berhenti, penjaga tersebut kemudian membuka pintu penjara untuk memeriksa.
Setelah penjaga itu berada di dekatnya dan berjongkok untuk memeriksanya, tapi dengan cepat Ranu memukul tengkuknya hingga jatuh pingsan.
"Hehehehe, aku pinjam bajumu sebentar," ucap Ranu pelan.
Tangannya bekerja membuka seluruh pakaian penjaga itu, dan kemudian ganti meloloskan pakaiannya. Dengan cepat Ranu memakai pakaian penjaga tersebut, lalu memakaikan pakaiannya ke penjaga yang pingsan. Setelah itu, dia menidurkan miring penjaga tersebut menghadap dinding membelakangi pintu penjara.
"Aku harus melewati penjagaan di luar dengan cepat tanpa ketahuan," gumamnya pelan.
Ranu melongok melihat keluar untuk melihat keadaan.
Setelah dipastikan tidak ada penjaga lain, dia keluar dan menutup kembali pintu penjara lalu mengunci gemboknya.
Dalam satu helaan napas, Ranu melesat dengan Langkah Angin dan melewati belasan orang anggota perguruan tanpa ketahuan.
Bagi orang biasa atau pendekar tingkat rendah, mereka akan sulit atau bahkan tidak bisa melihat Ranu yang melintas dengan cepat.
Dalam satu lompatan, Ranu bisa melewati dinding yang kokoh itu dan tetap melesat menuju Mahesa yang menunggunya.
"Kenapa kau berpakaian seperti itu? Pakaian siapa yang kau pakai?" berondong Mahesa yang sempat terkejut melihat Ranu tiba-tiba sudah ada di sampingnya, dan memakai pakaian lain.
Ranu menceritakan situasi yang tadi di alaminya kepada Mahesa.
"Aku tidak bisa berlama-lama di sini. Aku harus segera kembali!"
"Bisa jadi aku menunggumu di sini sampai dua hari?" tanya Mahesa.
Ranu terkekeh pelan, "Jangan bilang kau takut sendirian."
"Tidak mungkin aku takut, paling kesepian saja," jawab Mahesa seraya tertawa kecil.
"Hehehe... apa mau aku panggilkan Putri Andini untuk menemanimu?" Ranu mengalihkan pandangannya sambil menahan tawanya.
"Cepat kembali ke sana, lebih baik aku sendiri daripada ditemani makhluk sialan itu!" Mahesa mendengus kesal.
Ranu tertawa kemudian melesat kembali ke dalam Perguruan Jiwa Darah. Dengan mudah dia mengelabui semua anggota perguruan itu dan kembali ke dalam penjara.
Selesai mengganti pakaiannya, tiba-tiba penjaga itu terbangun.
"Kau ...!" bentaknya.
Ranu bergerak cepat mencengkeram leher penjaga itu.
Dia terpaksa menggunakan api hitam untuk membakar penjaga itu hingga menjadi abu. Ranu berpikiran untuk menghilangkan saksi ataupun barang bukti, dan membunuh penjaga itu adalah jalan satu-satunya.
Keesokan harinya, dua orang anggota Perguruan Jiwa Darah yang kemarin menangkap Ranu mendatangi penjara.
"Ketua Durna sudah kembali, Anak Muda. Ikut kami menemui beliau!"Ranu keluar dari penjara yang sudah terbuka pintunya.
Dia berjalan diapit dua orang penjaga, hingga memasuki sebuah ruangan yang besar.
"Ketua, pemuda ini kami tangkap kemarin sedang berada di dalam perguruan kita," lapor lelaki bertubuh kekar
"Dia bilang tiba-tiba saja ada di dalam perguruan kita, Ketua." tambah temannya.
Durna, lelaki bertubuh tinggi besar dan berwajah sangar yang merupakan ketua Perguruan Jiwa Darah, menatap Ranu penuh curiga. Dia merasa ada yang janggal dengan pemuda yang sedang berlutut di depannya itu. Namun dia tidak bisa menemukan kejanggalan yang dirasakannya, karena penampilan Ranu yang jauh dari kesan pendekar ataupun mata-mata.
"Kau berasal dari mana dan kenapa ada di sini?" Durna bertanya dengan suara beratnya.
"Aku berasal dari daratan Jawadwipa, Tuan. Kemarin aku sedang menggembala kambing, tapi entah kenapa aku tiba-tiba berada di perguruan ini," jawab Ranu.
Durna mengernyitkan dahinya, antara percaya dan tidak, dia kemudian bertanya lebih lanjut, "Apa ada kejadian sebelum kau terbuang ke sini?"
"Saat itu aku berteduh di pohon karena hujan lebat. Lalu ada petir yang menyambar pohon tempatku berteduh, Tuan. Setelah itu, tiba-tiba aku terbangun dan sudah berada di tempat ini," Ranu menjawab dengan ekspresi datar.
Durna terus memandang Ranu dengan tatapan tajam. Dia ingin percaya dengan alasan yang dikemukakan pemuda itu, tapi hatinya merasakan ada suatu kejanggalan.
"Kalau kau kulepaskan, bagaimana kau akan kembali ke daratan Jawadwipa?"
Ranu menggeleng, "Entahlah, Tuan. Aku juga tidak tahu bagaimana caranya aku kembali ke daratan Jawadwipa."Seorang lelaki terlihat memasuki ruangan tersebut.
Setelah memberi hormat kepada Durna, lelaki itu duduk di sebuah kursi.
"Bagaimana tugas yang kuberikan kepadamu, Badra?" tanya Durna.
Lelaki yang baru saja masuk ke ruangan itupun menjawab pertanyaan Durna.
"Proses ritual untuk nanti malam sudah siap, Ketua.Tujuh orang gadis perawan berhasil kami dapatkan dalam dua hari ini," jawab Badra
Kedua alis Ranu menyatu karena kaget mendengar pembicaraan Durna dan Badra. "Ritual apa yang menggunakan tujuh orang gadis perawan sebagai bahannya?
Apakah sama dengan dengan ritual yang dulu sempat hampir terjadi di daratan Walidwipa?" tanya Ranu dalam hati.
"Bawa pemuda ini kembali ke penjara! Besok aku akan menanyainya kembali setelah ritual nanti malam selesai. Aku mau beristirahat dulu agar staminaku bisa pulih ketika mengeksekusi 7 gadis itu," perintah Durna.
"Baik, Ketua," jawab lelaki bertubuh kekar.
Ranu berdiri dan kembali digiring menuju penjara. Di tengah perjalanan, Ranu bertanya kepada dua orang lelaki yang mengapitnya.
"Ritual apa yang dimaksud, Paman? Kenapa harus menggunakan tujuh gadis perawan? Apa ketua Durna akan memerawani mereka?"
"Kau jangan terlalu banyak bertanya! Kujelaskan pun kau tidak akan paham," balas lelaki bertubuh kekar.
"Aku hanya sekedar bertanya saja, Paman. Siapa tahu bisa ikut mencicipi gadis-gadis itu setelah diperawani Tetua Durna." Ranu meringis kecil.
Lelaki bertubuh kekar tiba-tiba menghentikan langkahnya. "Kukira kau pemuda yang polos, tidak tahunya pikiranmu ternyata mesum juga, Anak muda!" ucapnya dengan sedikit mengendorkan emosinya
"Benar, Wurya. Tidak ada salahnya kau memberitahu dia. Toh dia tidak akan bisa berbuat apa-apa," sahut lelaki satunya.
"Baiklah." Penjaga bertubuh kekar yang bernama Wurya itu menghela napas berat. "Ritual itu untuk membuat ketua Durna menambah ilmu kanuragannya. Setelah 7 gadis itu diperawani, mereka akan dibunuh dan diambil darahnya untuk dipersembahkan kepada siluman penjaga gunung ini."
"Bangsat, ternyata sama saja dengan di Balidwipa!" umpat Ranu dalam hati. Tangannya terkepal dengan keras namun segera direnggangkan kembali agar tidak dicurigai.
"Berarti ketua Durna ini pendekar hebat, Paman. Ilmu kanuragannya pasti tinggi," puji Ranu, "Aku ingin bisa menjadi pendekar, tapi tidak pernah ada yang mau mengajariku."
"Memang benar! Bahkan, setiap pengorbanan yang ketua lakukan selalu mendapatkan tambahan kekuatan dari siluman itu! Tidak salah jika ketua mendapat julukan Iblis Penghisap Darah," Lelaki kekar itu dengan bangga menceritakan tentang ketuanya.
Deg!
Jantung Ranu serasa berhenti. Dia merasa usahanya kali ini tidak seperti yang dia harapkan, karena yang dia datangi ternyata bukan Racun Utara seperti yang Wismoyo katakan.
Ranu mengumpat dalam hati sudah ditipu oleh Wismoyo yang kini sudah membusuk di neraka.
"Geni, ternyata aku sudah salah sasaran. Perguruan ini bukan tempat Racun Utara tinggal," ucap Ranu lirih kepada Geni.
"Setiap perjuangan pasti ada aral rintangan yang menghadang. Setidaknya, tugasmu kini adalah menghancurkan perguruan ini dan menyelamatkan 7 gadis itu," balas Geni.
"Masuklah ke dalam!" perintah Lelaki bertubuh kekar. Kali ini dia tidak mendorong Ranu seperti kemarin, saat pertama kali menjebloskan Ranu ke dalam penjara.
Kedua orang lelaki itupun pergi setelah mengunci kembali pintu penjara.
"Aku harus mencari 7 gadis itu dulu sebelum bergerak menghancurkan perguruan ini!" ucap Ranu dalam hati.
Pemuda itu duduk bersila dan memejamkan matanya.Dia mengalirkan tenaga dalamnya untuk menajamkan pendengarannya.
"Kenapa tidak terdengar sama sekali?" gumam Ranu dalam hati. Dia heran, jika radiusnya hanya seluas perguruan itu, harusnya dia bisa mendengar jika ada suara meminta pertolongan.
Sementara itu, Mahesa yang masih berada di luar
Perguruan Jiwa Darah bersembunyi ke dalam semak-semak begitu mendengar suara kaki kuda yang menarik gerobak mengarah ke tempatnya.
Matanya dengan tajam mengawasi gerobak yang dikawal 10 orang berpakaian merah. Di dalam gerobak tersebut, Mahesa bisa melihat dengan jelas jika ada 7 orang gadis yang terikat tangannya, dan mulut yang tersumpal kain.