Aku sering mendengar orang berkata bahwa tato hanya diatas kulit.
“Jangan bergerak.”
Suara Drevian Vendrell terdengar pelan, tapi tegas di atas kepalaku.
Jarumnya menyentuh kulitku, dingin dan tajam.
Ini pertama kalinya aku ditato, tapi aku lebih sibuk memikirkan jarak tubuhnya yang terlalu dekat.
Aku bisa mencium aroma tinta, alkohol, dan... entah kenapa, dia.
Hangat. Menyebalkan. Tapi bikin aku mau tetap di sini.
“Aku suka caramu diam.” katanya tiba-tiba.
Aku hampir tertawa, tapi kutahan.
Dia memang begitu. Dingin, sok datar, seolah dunia hanya tentang seni dan tatonya.
Tapi aku tahu, pelan-pelan, dia juga sedang mengukir aku lebih dari sekadar di kulit.
Dan bodohnya, aku membiarkan dia melakukannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reenie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tatapan yang Tak Dimengerti
Cahaya matahari masuk lewat jendela besar di bagian depan, memantul di deretan buku yang tersusun rapi. Liora berdiri di belakang meja kasir, menandai daftar stok buku yang baru saja datang.
Dia mengenakan kemeja merah muda lengan panjang, celana panjang hitam, dan rambutnya dikuncir setengah. Tidak ada yang istimewa, hanya penampilan rapi seperti biasa. Tato kecil di lengannya, yang pernah ia dapat dari Drevian, tersembunyi di balik kain.
Pintu toko berbunyi 'kring" saat seseorang masuk.
Liora mengangkat kepala. Seorang pria bertubuh tinggi memakai kaus dengan jaket hitam, dan rambut sedikit acak memasuki toko. Dia memegang ponsel ditangannya dan langkahnya santai. Tidak ada yang mencurigakan.
“Selamat datang,” ucap Liora sopan.
Pria itu hanya mengangguk singkat, lalu berjalan menyusuri rak-rak buku.
Ia memilih-milih buku seolah sedang mencari sesuatu. Sesekali jari-jarinya menyentuh punggung buku, lalu menarik satu, membolak-balik halamannya, mengembalikannya lagi, pindah ke rak lain.
Liora tak terlalu memperhatikan. Toko ini memang sering kedatangan pengunjung yang sekadar melihat-lihat tanpa membeli.
Namun, pria itu akhirnya memilih duduk di kursi baca dekat jendela. Dia membuka sebuah novel dan mulai membaca.
Sebenarnya dia bukan membaca sepenuhnya. Sesekali matanya melirik ke arah meja kasir ke arah Liora. Tatapan itu tidak intens, hanya singkat dan cepat, seolah memastikan sesuatu.
Itu Zeke.
Bukan sebagai Zeke yang ramah seperti biasanya, tapi sebagai “pengunjung biasa” yang sedang menjalankan misi.
Beberapa jam sebelumnya, Drevian sudah menugaskannya.
“Pergi ke Evianne Books. Lihat apakah dia masih berpakaian sopan dan menutupi tato itu. Jangan biarkan dia tahu kamu yang mengamatinya.”
Zeke sempat protes, tapi akhirnya menerima tugas itu.
Sekarang, dia duduk di sana, pura-pura larut dalam cerita novel yang bahkan tidak dia baca.
"Bagaimana?" bossnya mengirim pesan.
Zeke tak melihat bossnya mengirim pesan. Dia fokus memperhatikan Liora yang sedang menyusun buku.
Liora terus membereskan buku-buku di meja display. Saat berjalan menuju rak dekat tempat Zeke duduk, ia bisa merasakan tatapan pria itu sekilas. Namun, Liora menganggapnya wajar mungkin dia hanya pengunjung yang kebetulan memperhatikan.
“Buku itu bagus?” tanya Liora ramah saat melewati meja baca.
Zeke tersenyum tipis. “Lumayan.” Suaranya dibuat santai, berbeda dari gaya bicaranya yang biasanya ceria.
“Kalau butuh rekomendasi, bilang saja,” kata Liora sambil kembali ke kasir.
Zeke mengangguk dan melanjutkan membaca. Membolak-balik halaman seolah-olah menikmati cerita novel tersebut.
Tak lama, Livia datang dan menemui Liora yang sedang menyusun buku.
"Tumben kamu cepat datang, biasanya telat mulu." ujar Livia bercanda.
"Bisa diam gak?" bentak Liora
Livia menahan tawa. Ia tahu Liora tak bisa marah apalagi karena wajahnya yang polos dan lugu itu.
Jam terus berjalan. Beberapa pelanggan lain datang dan pergi. Zeke tetap di tempatnya, berpindah dari satu buku ke buku lain. Semua demi memberi kesan bahwa dia benar-benar datang untuk membaca.
Sesekali, Zeke mencatat dalam pikirannya. Kemeja merah muda lengan panjang dan celana hitam. Tato nggak kelihatan. Masih sama seperti dulu.
"Lio, pria yang kemarin itu gak datang lagi?" tanya Livia penasaran.
"Hah? Siapa?"
"Itu lho si Vendrel." ujarnya
"Mana aku tahu. Kau pikir aku ini bapaknya?" balas Liora kesal.
Ia lalu kembali ke meja kasir, membiarkan Livia menyusun buku sendirian.
Drevian kembali mengirimkan pesan kepada Zeke
"Kenapa pesan saya tidak dibalas?"
Lima menit kemudian, Zeke membuka ponselnya dan langsung membalas pesan bosnya
"Maaf bos. Iya bos gadis itu tetap berpakaian sopan. Dia memakai kemeja merah muda lengan panjang menutupi tato dan memakai celana hitam." balas Zeke
"Bagus. Lanjutkan." balas Drevian
Sekitar satu jam kemudian, Zeke menutup buku yang ia pegang, lalu berdiri. Dia melangkah ke arah pintu. Saat lewat di depan meja kasir, ia sempat menatap Liora sebentar.
Tatapan itu membuat Liora sedikit bingung. Ada sesuatu yang aneh bukan seperti tatapan pelanggan biasa.
“Terima kasih sudah mampir,” ucap Liora.
Zeke hanya mengangguk lagi, lalu keluar.
"Itu siapa ya? Kok aneh banget orangnya?" tanya Livia
"Entah. Aku merasa dari tadi dia menatapku." ujar Liora.
Livia memperhatikan pria itu masuk ke dalam mobil lalu pergi mengendarainya. Ia pergi ke arah dimana tempat tato Vendrell berada. Tapi Livia tidak peduli dan tidak memikirkan itu.
Sementara Liora mengerutkan kening. Dia mencoba mengingat, tapi tidak berhasil.
"Itu siapa sih? Kok wajahnya familiar gitu?" gumam Liora
"Coba kamu ingat-ingat dulu. Mana tahu kalian pernah ketemu." ujar Livia
"Eh, tadi aku lihat dia bawa mobil arahnya seperti mau ke studio Vendrell." lanjut Livia.
Liora teringat, Ia menatap Livia sahabatnya.
"Aku tahu. Itu pasti Zeke." ucapnya.
"Zeke siapa?"
"Zeke itu karyawannya Drevian. Tapi untuk apa dia kesini?" gumam Liora sambil memegang dagunya bingung.
Liora malas memikirkan itu lalu Ia kembali ke balik kasir. Melayani pembeli dengan senyum ramah.
"Terima kasih, datang kembali ya." ujar Liora pada pembeli.
Hari itu toko buku cukup rame. Kali ini banyak anak sekolah yang mampir membaca buku tanpa membeli. Liora tak mempermasalahkan itu. Asalkan buku dijaga dan disimpan rapi.
Sementara itu Zeke kembali ke studio tato dan menemui bossnya di ruang tato pribadi.
Zeke mengetuk pintu
"Masuk." ucap Drevian
"Izin boss. Sesuai yang saya beritahukan tadi bahwa gadis itu tetap berpakaian sopan dan tidak memperlihatkan tato." ujarnya.
"Ada lagi?"
"Ada bos. Tadi sewaktu gadis itu menyusun buku, ada lagi seorang gadis yang menanyakan padanya tentang anda. Mungkin itu teman atau saudaranya, bos."
"Menanyakan apa?" tanya Drevian datar
"Dimana pria yang datang kemarin? Itu pertanyaannya bos. Lalu gadis itu bilang dia tidak tahu."
"Oh, menarik. Aku tahu siapa itu. Itu sahabatnya, Livia. Hanya dia yang tahu kalau aku yang mentato gadis itu. Kemarin aku datang ke toko buku dan berbicara sedikit kepada Liora tapi ada sahabatnya disampingnya. Bagiku tak masalah karena aku tahu mulut sahabatnya itu bisa dijaganya."
Zeke mengangguk mengerti apa yang dikatakan bossnya.
"Tadi kau ketahuan?" tanya Drevian.
"Tidak boss. Saya tadi hanya memperhatikan dari sudut. Gadis itu ramah kepada pelanggannya. Tapi sahabatnya suka meledek gadis itu. Apakah mereka memang seperti itu, bos?" tanya Zeke.
"Bisa kukatakan, iya. Ya sudah, kembali bekerja dan perhatikan pelanggan. Jika ada pelanggan wanita yang memaksa bertemu denganku, segera usir dia keluar." ucap Drevian dingin
"Baik, bos. Dimengerti."
Zeke kembali ke lantai bawah. Tempat dimana pelanggan ditato. Pelanggan mereka lumayan banyak tapi lebih banyak lagi wanita yang harus diurus karena memaksa ingin ditato oleh Drevian.
Drevian kembali mengingat apa yang dikatakan Zeke tadi. Ia menganggap gadis itu patuh pada ucapannya. Semakin lama Ia menjadi tertarik dengan gadis itu.
"Liora kanvasku." gumamnya.