NovelToon NovelToon
Glass Wing

Glass Wing

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi / Cinta Terlarang / Penyeberangan Dunia Lain / Fantasi Wanita / Saudara palsu / Dark Romance
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Vidiana

—a dark romance—
“Kau tak bisa menyentuh sayap dari kaca… Kau hanya bisa mengaguminya—hingga ia retak.”

Dia adalah putri yang ditakdirkan menjadi pelindung. Dibesarkan di balik dinding istana, dengan kecantikan yang diwarisi dari ibunya, dan keheningan yang tumbuh dari luka kehilangan. Tak ada yang tahu rahasia yang dikuburnya—tentang pria pertama yang menghancurkannya, atau tentang pria yang seharusnya melindunginya namun justru mengukir luka paling dalam.

Saat dunia mulai meliriknya, surat-surat lamaran berdatangan. Para pemuda menyebut namanya dengan senyum yang membuat marah, takut, dan cemburu.

Dan saat itulah—seorang penjaga menyadari buruannya.
Gadis itu tak pernah tahu bahwa satu-satunya hal yang lebih berbahaya daripada pria-pria yang menginginkannya… adalah pria yang terlalu keras mencoba menghindarinya.

Ketika ia berpura-pura menjalin hubungan dengan seorang pemuda dingin dan penuh rahasia, celah di hatinya mulai terbuka. Tapi cinta, dalam hidup tak pernah datang tanpa darah. Ia takut disentuh, takut jatuh cinta, takut kehilangan kendali atas dirinya lagi. Seperti sayap kaca yang mudah retak dan hancur—ia bertahan dengan menggenggam luka.

Dan Dia pun mulai bertanya—apa yang lebih berbahaya dari cinta? Ketertarikan yang tidak diinginkan, atau trauma yang tak pernah disembuhkan?

Jika semua orang pernah melukaimu,
bisakah cinta datang tanpa darah?



Di dunia tempat takdir menuliskan cinta sebagai kutukan, apa yang terjadi jika sang pelindung tak lagi bisa membedakan antara menjaga… dan memiliki?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vidiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

4

Hari sudah mulai gelap ketika mereka tiba di rumah Elvero. Mobil berhenti di depan bangunan sederhana bercat abu lembut itu—rumah yang berada di tengah kota, namun tetap terasa tersembunyi dari hiruk pikuk bangsawan Argueda. Dan di sana, berdiri seseorang yang sudah lebih dulu menunggu: Kael.

Ia bersandar santai di sisi pintu, tangan dimasukkan ke saku celana, tubuh tegapnya diselimuti bayangan senja. Wajahnya tenang, tapi sorot matanya gelap. Seolah kedatangan mereka—atau mungkin keberadaan Ara di sisi Elvero—adalah sesuatu yang tidak dia sukai, namun sudah ia antisipasi.

Tanpa banyak kata, Elvero melangkah ke depan, mengeluarkan kunci dari saku dan membuka pintu. Tak ada sapaan antara dua sahabat itu, hanya pertukaran tatap mata yang singkat, dan senyap.

Begitu masuk, Ara langsung membawa kantong-kantong belanjaan ke dapur. Sementara itu, Elvero mengangkat tas-tas pakaian dan perlengkapan mandi milik Ara ke kamar tamu yang kini secara tidak resmi menjadi miliknya. Langkah kakinya tenang, tidak tergesa. Wajahnya tetap datar seperti biasa, tapi ada sedikit perubahan dalam sorot matanya—sesuatu yang tidak ia perlihatkan saat Tania berada di dekatnya.

Kael? Dia duduk di ruang tamu, diam, memperhatikan. Pandangannya kadang tertuju pada Ara, kadang ke arah kamar yang baru saja dimasuki Elvero. Tak ada senyum di bibirnya, hanya kesenyapan yang terlalu penuh untuk disebut netral.

“Aku akan mandi dulu,” kata Elvero akhirnya, muncul dari lorong kamar. Suaranya terdengar acuh, seolah mengabaikan keberadaan Kael di sofa. Ia lalu melangkah ke kamar mandi, membuka pintu, dan menghilang di balik suara air yang mulai mengalir.

“Aku akan menyiapkan makan malam,” kata Ara, pelan namun cukup jelas.

Kael masih duduk di ruang tamu ketika Elvero pergi ke kamar mandi. Posisi duduknya santai, namun tatapannya tajam, seperti seseorang yang sedang menilai keadaan dengan seksama. Ara bisa merasakan tatapan itu menelusuri punggungnya saat ia membungkuk di dapur, menyusun bahan makanan satu per satu ke rak dan lemari kecil yang berantakan.

Rumah Elvero tidak terlalu besar. Tapi nyaman. Temboknya berwarna hangat, dan ada aroma kayu dan kopi yang menempel di udara. Tapi dapurnya? Berantakan. Seolah tempat itu hanya digunakan sekadar untuk bertahan hidup, bukan benar-benar ditinggali.

Ara tidak mengatakan apa-apa, hanya mulai merapikan. Ia menyusun kaleng-kaleng bumbu berdasarkan ukuran, menyelipkan sayur ke dalam laci pendingin, menyapu remah di meja, dan menata ulang rak piring. Gerakannya cepat, efisien, seperti sudah terbiasa mengurus rumah orang lain. Tapi ada kelembutan juga, seolah ia ingin tempat itu menjadi sedikit lebih “hidup”.

Kael memperhatikannya dari balik sofa, dagunya bertumpu pada tangan. Matanya tajam, tapi ekspresinya sulit dibaca.

“Kau selalu begini?” tanyanya pelan.

Ara menoleh sedikit. “Begini?”

“Masuk ke rumah orang… dan langsung mengatur semuanya?”

Pertanyaan itu terdengar tenang, tapi Ara bisa merasakan sindiran tipis di baliknya. Ia tak menjawab, hanya mengangkat bahu.

“Ini rumah Elvero,” katanya akhirnya. “Dia tinggal sendiri. Sepertinya dia tidak terlalu peduli dengan kerapian.”

Kael berdiri perlahan dan berjalan ke dapur, berhenti di sisi meja saat Ara tengah mencuci sayur. Ia berdiri terlalu dekat, tapi tak menyentuh. Suaranya datar saat berbicara lagi.

“Dia tidak pernah membiarkan siapa pun tinggal di sini sebelumnya.”

Ara diam. Ia tidak tahu harus merasa tersanjung atau waspada.

“Dan sekarang… kau bahkan akan memasakkan makan malam,” Kael menambahkan dengan nada seolah sedang berbicara tentang sebuah teka-teki yang tak masuk akal.

Ara menatapnya. Mata mereka bertemu, dan ada sejenak ketegangan mengalir di udara.

“Aku tidak berusaha mengambil tempat siapa pun,” kata Ara perlahan.

Kael tersenyum samar, seperti seseorang yang tahu terlalu banyak. “Aku harap kau tidak perlu mencoba.”

Aroma bawang yang ditumis dengan mentega mulai memenuhi dapur. Api kecil menyala di bawah wajan, dan uap hangat menyelimuti wajah Ara saat ia mencicipi kuah sup yang baru saja ia bumbui. Gerakannya lincah namun tenang, seperti seseorang yang terbiasa merawat rumah tangga, meski ini bukan rumahnya, dan lelaki yang tinggal di dalamnya pun bukan siapa-siapanya.

Ara memasak untuk dua orang. Tapi tangannya menambahkan sedikit lebih banyak dari seharusnya—sejumput sayur ekstra, satu butir telur tambahan, dan dua mangkuk, bukan satu. Meskipun Kael belum mengucapkan sepatah kata pun sejak mereka tiba, entah mengapa Ara merasa lelaki itu tidak akan segera pergi.

Lalu, suara Gulf milik Elvero—bergetar dan memancarkan cahaya biru di meja ruang tamu. Sekali. Dua kali. Layar kecilnya berkedip, menampilkan nama pemanggil yang belum sempat dijawab.

Elvero belum keluar dari kamar mandi. Air masih terdengar mengalir.

Ara ragu sejenak, kemudian melangkah cepat, menyeberangi ruang tamu. Tapi jalannya terhenti saat ia menyadari Kael—matanya yang tajam menoleh pada Ara seolah tahu bahwa dia akan melewati batas tak kasat mata.

Namun Ara tidak mundur. Ia menguatkan diri dan tetap maju, menyentuh Gulf itu… dan langsung terpaku. Nama pemanggil yang muncul di layar membuat jantungnya berdegup kencang.

Sebelum ia sempat membuat keputusan, tangan lain meraih Gulf itu.

“Elvero…” bisiknya, nyaris tanpa suara.

Pemuda itu muncul tanpa sepatah kata, rambutnya masih basah dan setengah kering, hanya mengenakan kaus longgar dan celana kain gelap. Dengan tenang, ia mengambil Gulf dari tangan Ara. Namun alih-alih menjawab panggilan itu di tempat, ia berbalik, berjalan beberapa langkah menjauh, membelakangi Ara—membiarkan tubuhnya menjadi penghalang antara si penelepon dan gadis itu.

Gerakan kecil… tapi sangat jelas. Elvero tak ingin wajah Ara terlihat oleh orang di balik layar.

Ara tetap berdiri di tempatnya, sebelum memutuskan kembali ke dapur, tubuhnya sedikit gemetar, seolah belum kembali dari dunia kenangan yang mendadak dibuka oleh sebuah nama yang terlalu familiar.

“Ya… Ada apa?” suara Elvero terdengar datar, tenang seperti biasanya, meski sedikit serak karena baru keluar dari kamar mandi.

Dari Gulf di tangannya, suara tajam langsung menyahut, tanpa basa-basi.

“Apa Lyeria ada di sana?”

Elvero mengusap rambutnya yang masih basah dengan satu tangan, mengernyit sedikit. Suara di seberang bukan suara biasa, dan pertanyaannya… langsung menusuk.

“Dia tidak ada di sini,” jawabnya tanpa ragu. “Apa yang terjadi?”

“Jika kau mendapat kabar darinya, segera hubungi aku.”

Nada suara itu berubah menjadi lebih serius. Tegas. Hampir cemas.

Elvero melangkah ke jendela, menjauh dari ruang tengah. Ia mendengus kecil. “Apa yang sebenarnya terjadi?” tuntutnya lagi, kali ini dengan tekanan yang lebih dalam.

“Dia tidak ada di istana. Tidak juga di asrama. Dia pergi.”

Keheningan menggantung beberapa detik. Hanya terdengar suara embusan napas Elvero.

“Wajar kalau dia akhirnya pergi,” katanya pelan, seperti bicara pada dirinya sendiri. “Dia mengalami banyak hal tidak menyenangkan akhir-akhir ini. Mungkin dia butuh waktu untuk menenangkan diri.”

Kemudian, nadanya berubah lebih serius, nyaris tajam. “Bagaimana dengan Ferlay? Apakah dia sudah ada kabar?”

“Dia tidak bersama Lyeria.”

Elvero mencibir tipis, matanya menyipit ke layar Gulf di tangannya. “Kalau Ferlay saja tidak tahu, bagaimana aku bisa tahu?” katanya—lebih ke gumaman, namun cukup terdengar ketidaksukaannya pada pertanyaan-pertanyaan yang menurutnya hanya mengulang siklus panik.

Di dapur, Ara berhenti mengaduk masakan. Punggungnya kaku. Ia tahu nama itu. Ia tahu betul apa artinya jika nama itu muncul. Sendok kayu di tangannya gemetar ringan, nyaris tak terlihat, namun cukup untuk membuat percikan kecil kuah panas mengenai punggung tangannya.

Dia tak bereaksi pada panas itu. Yang terlihat justru adalah wajah yang tiba-tiba memucat. Sorot matanya kosong, dan dalam hening sesaat, ada sirat ketakutan yang tak bisa disembunyikan.

Rasa takut itu bukan kepanikan biasa. Itu lebih dalam. Seolah nama itu membuka kembali pintu-pintu yang sudah lama ia paksa terkunci—penuh suara jeritan, bayangan darah, dan dinginnya malam yang tak pernah mau selesai.

Dan Kael melihatnya.

Ketika Elvero menutup gulf dan membalikkan tubuh, tatapannya langsung jatuh pada Ara.

Mata gadis itu menunduk, tangannya sibuk merapikan piring—terlalu sibuk untuk sesuatu yang belum waktunya disajikan.

“Apa kau baik-baik saja?” tanyanya pelan.

Ara mengangkat wajah, tersenyum samar. Terlalu cepat. Terlalu dibuat-buat.

“Ya. Aku kenapa?” sahutnya ringan, seolah nada Elvero barusan tak bermakna apa-apa. Seolah tubuhnya tak baru saja bergetar saat nama itu disebut.

Elvero tidak langsung menjawab. Ia hanya memperhatikannya sejenak, sebelum akhirnya berkata, “Mereka mencari Lyeria.”

Ara membeku sepersekian detik. Tapi sebelum ia sempat merespons, Kael yang berdiri didekatnya akhirnya membuka suara—nada suaranya tenang, namun penuh makna.

“Lyeria? Putri Raja dan Ratu Garduete terdahulu?” Kael melirik Elvero, mengingatkan dengan nada tak langsung bahwa ia masih ada di ruangan itu. Bahwa ia mendengar segalanya.

1
Vlink Bataragunadi 👑
hmmmm.... ada yg cemburu?
Vlink Bataragunadi 👑: oooh gitu, siap kak, aku ke sana dulu /Chuckle/
Vidiana A. Qhazaly: Mungkin supaya paham alur yg ini bisa baca di morning dew dulu klik aja profilku
total 2 replies
Vlink Bataragunadi 👑
kynya rameeee, tp awal bab byk kata kiasan yg aku blm ngerti
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!