NovelToon NovelToon
Daisy

Daisy

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Seiring Waktu / Persahabatan / Romansa / Kriminal dan Bidadari / Chicklit
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Inisabine

Hidup Singgih yang penuh kegelapan di masa lalu tanpa sengaja bertemu dengan Daisy yang memintanya untuk menjadi bodyguard-nya.


Daisy
Penulis: Inisabine
Copyright Oktober 2018

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Inisabine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 04

Mobil melaju tak tahu menuju ke mana. Daisy Cattleya hanya bisa mengoceh tak jelas dengan kedua tangan terikat di belakang. Sebagian tubuhnya merebah di jok belakang―berharap ada seseorang―siapa pun datang menyelamatkannya.

"Katakan berapa uang yang kalian mau?"

Daisy berusaha melepas ikatan tali yang menyimpul pergelangan tangannya.

"Nggak perlu minta ke papaku. Aku bisa memberi kalian sejumlah uang. Katakan saja berapa? Dan bebaskan aku sekarang..."

Penawaran Daisy diabaikan oleh dua penculik itu. Mereka lebih asyik berdendang mengikuti lagu Via Vallen yang diputar melalui radio.

"Sayaaang... opo kowe krungu? Jerite atiku... mengharap engkau kembali..."

"Aku juga mau kembali pada orang tuaku," sahut Daisy, yang kemudian berteriak histeris. "Pulangkan saja aku pada ibuku... atau ayahku..."

Penculik yang berada di balik kemudi setir mengorek sebelah telinga dengan jari kelingking. "Berisik banget! Sumpal aja mulutnya!"

"Diem nggak!" hardik penculik satunya.

Daisy terdiam mendengar hardikan menakutkan dari penculik itu. Pandangnya melempar keluar jendela.

Udara mulai menggelayut dingin. Entah dingin yang berasal dari penyejuk udara mobil atau karena sekarang mereka berada di daerah tinggi.

Pepohonan tampak menjulang tinggi di pinggir jalan yang mereka lalui. Sebuah bangunan kecil berwarna putih dengan atap setengah lingkaran tertangkap mata Daisy. Bangunan yang sangat familier meski ia tak pernah sekalipun mengunjungi bangunan itu.

Tak berapa lama kemudian, mobil berhenti. Penculik di sebelah kemudi setir membuka pintu mobil, lalu menyeret Daisy turun. Langkah Daisy tergopoh dan nyaris tersandung. Tubuh Daisy didorong masuk ke sebuah pondok kecil.

"Mau teriak? Teriak aja!" Penculik itu melepas ikatan tali di pergelangan tangan Daisy. "Di sini nggak ada yang bisa mendengarmu."

Daisy mengamati pergelangan tangannya yang memerah sakit.

"Nggak usah takut kelaparan." Penculik satunya melangkah masuk dengan menenteng dua kantongan plastik besar berisi roti dan air minum. "Hanya untuk beberapa hari. Setelah itu akan kami bebaskan."

Kedua penculik itu keluar dan mengunci pintu.

Daisy terduduk di tepian ranjang. Dibilang penculikan, tapi tak bisa dibilang penculikan juga. Mana ada penculikan disediakan makanan agar tidak kelaparan.

Di ruangan ini ia dilepaskan tanpa takut kemungkinan ia akan kabur. Tapi siapa juga yang bisa kabur jika jendelanya saja berteralis besi begini. Mana ia berada di tengah hutan dan kalaupun bisa kabur, astaga, kalau bertemu dengan hantu di tengah pelariannya bagaimana?

Setengah hari sudah Daisy mendekam dalam ruangan. Ia sama sekali tak menyentuh makanan yang disediakan.

Matanya tanpa sengaja menumbuk pada seorang laki-laki yang tengah mencari ranting pohon. Ia mengeluarkan tangannya melalui sela-sela teralis besi sembari memanggil lirih.

"Psspt! Woiii... Iya, kamu yang di sana." Suara lirihnya yang kemungkinan besar hanya bisa didengar oleh cecak yang merayap di dinding.

Laki-laki itu hanya menoleh sekilas ke arahnya, lalu pergi setelah mengumpulkan ranting pohon dalam dekapan tangan.

"Yaah... yaah... kok malah pergi? Hei, jangan pergi!"

Daisy mendengus putus asa.

Sore pun bergulir malam. Daisy hanya duduk di tepian ranjang sambil mencari akal agar ia bisa lepas dari sini.

Kedua penculik itu masih asyik bersahutan menyanyikan lagu Via Vallen. Ia bisa pastikan keluar dari sini hafal lagu Sayang di luar kepala dan mungkin ia akan mengikuti kontes dangdut.

Mata Daisy terus berjaga meski ia ngantuk. Takut jikalau penculik itu menyergapnya di saat ia tengah lengah. Sayangnya, lamat-lamat matanya tak bersahabat dan ia terlelap saking ngantuknya.

    *

Paginya, Daisy melonjak kaget terbangun dari tidur. Matanya menyapu seluruh tubuhnya. Napasnya mengembus lega saat tak ada yang kurang dari tubuhnya.

Ia berjingkat-jingkat menuju pintu. Menempelkan sebelah telinga di daun pintu berusaha menguping suara Via Vallen yang menggema di luar.

Sepi. Hening.

Daisy mengintip melalui sela-sela lubang kayu. Kedua penculik itu tidak ada di tempat. Mereka meninggalkannya sendirian di sini.

"Mama... Papa... mereka membuangku di sini..." tangisnya.

Tangisannya berhenti saat suara di perutnya berbunyi nyaring.

"Aduh... lapar."

Daisy mengusap-usap perut yang belum diisi sejak kemarin siang. Mana sempat mengisi perut sementara dirinya dalam bahaya.

Matanya melirik ragu ke kantongan plastik yang berada di atas meja. Ah, peduli amat. Perutnya lapar dan ia tak bisa menyiksa perutnya yang terus keroncongan.

Sambil menggigit roti, Daisy mengedarkan pandangnya ke penjuru ruang. Ia harap ia bisa menemukan cara keluar dari sini.

Tahu-tahu pandangnya tertumbuk di luar jendela saat melihat laki-laki kemarin sore ada di sana sedang memunguti ranting pohon.

Daisy melepas bungkusan roti, lalu bergerak menuju jendela.

"Hei!" teriak Daisy dengan tangan melambai-lambai dari sela-sela teralis. "Iya, kamu! Kamuuuuu!! Cowok Ranting!!"

Laki-laki itu menoleh ke arahnya. Namun, hanya menatapnya diam.

"Tolong aku," pinta Daisy. "Aku diculik dan mereka menyekapku. Tolong lepasin aku!" rengeknya.

Laki-laki itu mengabaikan. Tetap melanjutkan memunguti ranting yang berserakan di tanah.

"Dia nggak dengar aku apa, ya?" cemas Daisy. "Hei, Cowok Ranting!" panggilnya lebih kencang lagi. "Seratus juta!" tawarkannya sejumlah uang. "Kuberi seratus juta kalau kamu membebaskanku dari sini," lanjutnya mengiming-imingi. "Aku diculik. Mereka menyekapku di sini. Tolong, bebaskan aku!"

Laki-laki itu masih mengabaikan.

"Cowok Rantiiiiing!"

Laki-laki itu mengikat ranting-ranting yang dikumpulkannya dengan tali, lalu memanggulnya di punggung.

"Cowok Ranting! Kumohon lepasin aku..." Suara Daisy terdengar serak.

Laki-laki itu berjalan menjauh tanpa peduli dengan isakan tangis Daisy.

Daisy mencengkeram teralis besi. Air matanya merembes jatuh. Tertunduk dalam isak tangis. Harapannya meminta pertolongan buyar. Ia benar-benar dibuang di tempat ini. Malang benar nasibnya.

Tahu-tahu, laki-laki itu sudah berdiri di depan jendela teralis.

"Seratus juta. Benaran itu?"

Daisy mengangkat kepala, lalu mengangguk cepat. Harapannya yang sempat terputus, kini kembali tersambung, dan sebentar lagi akan terlihat sinar di ujung jalan.

"Aku akan membayarmu seratus juta. Kutambahkan seratus juta lagi kalau kamu mengantarku pulang ke rumah." Daisy menjanjikan. "Tolong... aku mohon...," pintanya dengan berlinang air mata.

"Tunggu sebentar."

Bibir Daisy mulai melengkung penuh harapan.

"Pintunya digembok."

Lengkungan senyum Daisy lenyap. "Terus gimana?" paniknya. "Mama... Papa... anakmu akan mati sendirian di sini."

 Daisy terduduk lunglai di tepian ranjang. Air matanya mulai jatuh.

"Mah, aku bohong waktu bilang mau belajar kelompok di rumah Gendis. Sebenarnya kita nonton konser," aku Daisy meski kebohongannya itu terjadi ketika ia duduk di bangku SMA. "Aku bohong waktu bilang teman sekamarku, Audrey. Sebenarnya aku sekamar sama Athan," akunya makin bersalah. "Athan nggak ada tempat tinggal dan aku memberikannya tempat tinggal. Uang sewa dari Athan buat tambahan bayar listrik dan air. Aku sama sekali nggak ada hubungan cinta-cintaan sama Athan, meskipun sebenarnya aku ingin. Athan juga sudah punya pacar. Teman klub fotografinya."

Curhatan Daisy makin melantur. Ia mengeluarkan apa yang terlintas di hatinya.

"Setiap kali bohong sama mama hatiku sakit. Tapi aku juga berbohong demi kebaikan kita. Mama... aku rindu Mama..." Daisy tak kuasa membendung tangisannya. "Tolong sampaikan pada Mama..."

Curhatan Daisy tertahan melihat pintu terbuka lebar di hadapannya.

"Pintunya kebuka?" wajah Daisy melongo pilon.

"Sampaikan sendiri pada Mamamu."

Daisy menghapus basah di kedua pipi. Gegas ia beranjak keluar dan menghirup udara bebas sebebas-bebasnya.

"Bebaaass! Aku bebas!!" Daisy tak dapat menutupi kegembiraannya.

Laki-laki itu mengerut kening mengamati Daisy. Gadis itu seakan baru saja mendekam dalam balik jeruji sel yang dingin dan sekarang menghirup udara kebebasan.

"Sekarang antarkan aku ke rumah."

"Di mana rumahmu?"

"Jakarta. Bintaro. Antarkan aku ke Bintaro." Daisy tak bisa mengendalikan semangatnya.

Pelarian mereka terkendala saat mobil penculik itu kembali. Mobil belum merapat dengan sempurna di pelataran pondok, salah satu penculik yang duduk di samping kemudi melompat keluar dan mencegah aksi sanderanya yang hendak melarikan diri.

Daisy panik. Tahu-tahu pergelangan tangannya dicengkeram laki-laki itu dan menariknya agar berlari mengikuti laki-laki itu.

Mereka berlarian di tengah hutan. Daisy bahkan tak peduli betapa lelah tubuhnya saat ini.

Jeritan kecil mengeluar dari mulut Daisy saat ilalang panjang mengenai kakinya. Daisy menoleh ke belakang dan masih mendapati penculik itu mengejar mereka.

Laki-laki itu makin mempercepat laju ayunan kakinya, yang secara otomatis membuat Daisy mempercepat larinya juga.

Napas Daisy sudah hampir habis, tetapi ia tetap berlari. Ia tak mau tertangkap dan dikurung lagi. Tapi sepertinya laki-laki ini tidak bisa berkelahi karena membuatnya berlari seperti ini. Memang amannya adalah melarikan diri.

Laki-laki itu menarik tubuh Daisy agar bersembunyi di balik semak-semak yang lumayan cukup untuk menutupi tubuh mereka.

Napas Daisy benar-benar mencapai batas habis. Daisy sontak merapatkan dirinya di samping laki-laki itu saat melihat kedua penculik itu melintas di depan semak-semak yang melindungi mereka.

Laki-laki itu tetap waspada mengintai keberadaan kedua penculik itu. Setelah memastikan kedua penculik itu benar-benar sudah pergi, barulah ia bersuara.

"Mereka sudah pergi."

"Mereka sudah pergi?" Daisy membeo lirih.

"Lebih baik aku mengantarmu ke kantor polisi."

Daisy mendongak. Tercekat menangkap mata legam milik laki-laki itu. Aneh memang―tapi ia merasa aman ketika bersama dengan orang ini. Mungkin karena laki-laki ini adalah orang yang telah menyelamatkannya.

"Namaku Daisy."

Laki-laki itu hanya menatap Daisy. Kemudian menyebutkan namanya. "Singgih."

"Nama yang cukup," Daisy mengulum senyum simpul, "unik."

    *

1
elica
wahhh keren bangettt🤩🤩
mampir di ceritaku juga dong kak🤩✨
elica
hai kak aku mampirrr🤩✨
Inisabine: Haii, makasih udah mampir 😚✨
total 1 replies
US
smg aksyen baku hantam /Good//Good/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!