Wu Lan Cho, adalah sebuah Negeri yang sangat penuh dengan misteri, pertumpahan darah, perebutan kekuasaan. salah satu kekaisaran yang bernama Negeri Naga yang di pimpin oleh seorang Kaisar yang sangat kejam dan bengis, yang ingin menguasai Negeri tersebut.
Pada saat ini dia sedang mencari penerusnya untuk melanjutkan tekadnya, dia pun menikahi 6 wanita berbeda dari klan yang mendukung kekaisarannya. dan menikahi satu wanita yang dia selamatkan pada saat perang di suatu wilayah, dan memiliki masing-masing satu anak dari setiap istrinya.
Cerita ini akan berfokus kepada anak ketujuh, yang mereka sebut anak dengan darah kotor, karena ibunya yang bukan seorang bangsawan. Namanya Wēi Qiao, seorang putri dengan darah gabungan yang akan menaklukan seluruh negeri dengan kekuatannya dan menjadi seorang Empress yang Hebat dan tidak ada tandingannya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hazelnutz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Prolog – Kilatan Biru dari Langit
Hujan deras mengguyur jalanan berbatu di pinggiran hutan. Suara derap langkah kaki beradu dengan gemuruh guntur yang memecah langit malam.
Wēi Qiao berlari sekuat tenaga. Nafasnya terengah-engah, napas dingin bercampur uap panas keluar dari mulutnya. Hatinya tahu—bukan sekadar hembusan angin yang mengikutinya, tapi kematian yang sedang mengejarnya.
Dari balik pepohonan, bayangan-bayangan hitam melesat, langkah mereka ringan seperti hantu, mata mereka dingin, tanpa ragu. Assassin. Kiriman seseorang yang tak ingin dirinya mencapai Istana Langit untuk mengikuti pelajaran bela diri.
“Jangan biarkan dia lolos!” salah satu dari mereka berteriak.
Wēi Qiao menoleh sekilas. Lima, enam… tidak, tujuh orang. Masing-masing bersenjata, wajah mereka tertutup kain hitam. Dia tak punya pedang, tak punya ilmu bela diri, hanya naluri bertahan hidup yang memaksanya terus berlari.
Namun, langkahnya tersendat saat sebuah tebing curam menghadang. Tidak ada jalan lagi.
Ia membalikkan badan.
Para assassin sudah mengepung.
“Akhir dari darah kotormu… ada di sini.”
Suara itu dingin, menusuk.
Wēi Qiao menggenggam sebatang kayu patah yang ia temukan di tanah. Jantungnya berdetak kencang. Ia tahu ini bodoh—melawan pembunuh terlatih tanpa ilmu bela diri. Tapi menyerah berarti mati.
Serangan pertama datang cepat. Wēi Qiao menangkis dengan kayunya, tapi pergelangannya terpelintir. Pedang lain menebas, menggores bahunya. Rasa sakit membakar, namun dia tetap mencoba memukul, menendang, mengelak sebisanya.
Itu tidak cukup.
Sebuah pedang menembus perutnya. Nafasnya tercekat.
Wēi Qiao terjatuh, pandangannya kabur.
Tiba-tiba… Craaack!
Langit meledak. Cahaya biru menyambar dari atas, menghantam tanah di sekitarnya. Petir itu bukan milik alam biasa—ia berdenyut, berputar, dan dalam sekejap, semua assassin yang mengepungnya terjerembab, tubuh mereka hangus oleh kilatan biru yang menyala bagai api hidup.
Dari dalam cahaya itu, seseorang melangkah keluar. Sosok tinggi berjubah hitam dengan mata menyala biru, wajahnya samar tertutup kabut listrik.
Tanpa banyak bicara, ia berlutut di samping Wēi Qiao. Sebuah jarum kristal biru muncul di tangannya. Dengan satu tusukan cepat ke leher, cairan berwarna gelap mengalir masuk ke tubuh Wēi Qiao.
“Kamu harus kuat… wahai leluhurku,” suara pria itu dalam, bergaung seperti petir di lembah. “Belajarlah menggunakan para Bots yang kusuntikkan. Kamu akan terbiasa.”
Kilatan biru melesat, dan sosok itu menghilang secepat ia datang.
Wēi Qiao sempat ingin bertanya—Siapa kau? Mengapa menyebutku leluhur?—namun rasa panas menjalar di seluruh tubuhnya. Pandangannya menghitam, dunia memudar.
Yang terakhir ia rasakan hanyalah suara petir yang terus berdentum… seakan langit sendiri sedang memanggil namanya.
Satu minggu telah berlalu sejak malam itu.
Wei Qiao perlahan membuka matanya. Cahaya redup menembus jendela kayu di sudut ruangan, menimpa wajahnya. Pandangannya buram, tapi ia segera menyadari dirinya sedang terbaring di atas sebuah ranjang sederhana. Nafasnya terasa berat, seolah baru saja kembali dari perjalanan yang sangat panjang.
Ia memiringkan kepala, menatap langit-langit kamarnya yang berwarna kusam. “Aku… masih hidup?” gumamnya pelan.
Namun saat mencoba bangkit, tubuhnya terasa lengket. Tatapannya jatuh pada kulitnya yang tertutup cairan hitam pekat, mengkilap, dan berbau busuk menusuk hidung. Wei Qiao spontan meringis dan menahan mual. Bau itu begitu tajam hingga seolah menusuk otaknya. Rasa polos dan kebingungan di wajahnya perlahan menghilang, digantikan tatapan resah.
Tiba-tiba—
"Micro Bots Active. Nomor seri 256990, generasi ke-9."
Suara itu bergema… bukan di telinganya, tapi di dalam kepalanya. Wei Qiao sontak tersentak kaget. “Siapa di sana?!” teriaknya, matanya menyapu sekeliling ruangan, tapi ia tak menemukan siapa pun.
Suara itu kembali terdengar, tenang dan datar, "Tidak perlu panik, Master. Aku adalah sistem yang kini hidup di dalam tubuhmu."
Wei Qiao mematung. Master? Suara itu terdengar seperti berbicara langsung ke pikirannya. “Kau… kau bisa telepati?” tanyanya dengan nada waspada.
"Jika itu istilah di zamanmu, anggap saja begitu," jawab suara itu. "Aku adalah Micro Bots. Aku terhubung langsung dengan tubuhmu. Dan mulai saat ini, kau adalah pengendali kami."
Wei Qiao masih bingung, keningnya berkerut. “Aku… masih tidak mengerti.”
Seolah memahami, suara itu berubah nada, lebih menyesuaikan dengan gaya bicara di zamannya. "Baiklah, tuanku. Aku adalah segerombolan robot kecil yang kini tinggal di dalam darah dan otot-ototmu. Aku bisa memperkuatmu… jika kau mengizinkan."
Wei Qiao terdiam. Robot? Ia tidak paham benar apa itu, tapi rasa penasaran dan sedikit keyakinan mulai muncul. “Kalau begitu… tunjukkan padaku.”
"Izinkan aku menanamkan informasi ke dalam ingatanmu. Proses ini akan… sedikit tidak nyaman."
Wei Qiao menghela nafas panjang, lalu mengangguk. “Baik. Lakukan.”
Begitu izinnya diberikan, sebuah rasa panas mengalir cepat dari tengkuk hingga ke seluruh tubuhnya. Sekejap kemudian, ia merasa seperti disambar petir—seluruh ototnya menegang, matanya berkunang-kunang, dan napasnya memburu. Mulutnya tiba-tiba memuntahkan cairan kuning kental yang menyisakan rasa pahit luar biasa.
Tubuhnya bergetar hebat, dan di tengah rasa sakit itu… ia mengerti. Gambar-gambar, tulisan aneh, dan penjelasan teknis membanjiri otaknya—Micro Bots adalah sekumpulan unit kecil tak kasat mata, berjumlah 6.897.556 butir, masing-masing memiliki kemampuan perbaikan, peningkatan fisik, dan bahkan… pembunuhan.
Wei Qiao terduduk di ranjangnya, keringat bercucuran. Tangannya bergetar, tapi sorot matanya kini berbeda—ada api kecil yang mulai menyala di sana.
Kini, mata Wei Qiao terlihat begitu tajam dengan wajah serius. Dalam hatinya, ia bertekad:
“Aku pasti akan menemukan pembunuh ibuku… dan akan kubalaskan dendamku.”
Pintu kamar tiba-tiba didobrak keras.
Wēi Qiao sontak kaget, tubuhnya menegang. "Micro Bots, diam!" perintahnya panik.
Namun suara itu tetap terdengar tenang di kepalanya.
"Master, hanya Anda yang bisa mendengar saya. Tidak ada orang lain."
Meskipun diyakinkan begitu, Wēi Qiao tetap kekeh. "Pokoknya diam dulu!" bentaknya dalam hati.
Ia menoleh cepat ke arah pintu, dan di sana berdiri seorang wanita dengan mata berkaca-kaca, hampir menangis. Rambut hitam panjangnya berantakan karena berlari tergesa-gesa.
Itu adalah Ling Yue Lan, penjaga pribadi Wēi Qiao sejak kecil.
"Putri! Anda baik-baik saja, kan?!" seru Yue Lan sambil berlari menghampiri, suaranya penuh kekhawatiran.
Wēi Qiao terdiam sejenak, lalu tersenyum samar untuk menenangkan. Ia meraih tangan Yue Lan, lalu menariknya ke dalam pelukan.
"Aku baik-baik saja, Yue Lan. Jangan khawatir."
Namun Yue Lan belum puas. Ia menatap mata Wēi Qiao, bertanya dengan nada serius, "Malam itu… sebenarnya apa yang terjadi? Siapa yang mengalahkan para assassin itu?"
Wēi Qiao menarik napas panjang, lalu menyusun cerita palsu dalam sekejap.
"Aku… yang mengalahkan mereka. Semua assassin itu tumbang karena pedangku."
Yue Lan menatapnya lama, matanya seakan berkata "Aku tidak percaya", namun bibirnya hanya mengeluarkan kata lembut, "Baiklah, kalau begitu."
Begitu mendekat, wajah Yue Lan langsung berubah. Ia menutup hidungnya dengan tangan. "Putri… bau sekali…"
Wēi Qiao memutar bola mata, lalu tersenyum tipis. "Ya ampun… sampai segitunya, ya?"
Mereka berdua pun akhirnya tertawa kecil, mencairkan ketegangan. Yue Lan kemudian mendorong pelan bahu Wēi Qiao sambil berkata, "Cepatlah mandi, sebelum seluruh istana pingsan karena bau ini."
Dengan tawa yang masih tersisa, Wēi Qiao melangkah ke arah ruang mandi, menyembunyikan semua rahasia yang baru saja ia dapatkan—dan tekad membara yang kini ia simpan di dalam hati.
Lanjuuuuutttt