Nayra Kirana, gadis berusia 22 tahun yang baru lulus kuliah, dihadapkan pada kenyataan pahit, ayahnya sakit keras dan keluarganya berada di ambang kehancuran ekonomi. Ketika semua pintu tertutup, satu-satunya jalan keluar datang dalam bentuk penawaran tak terduga—menikah dengan Arka Pratama, pria terpandang, CEO sukses, sekaligus... paman dari senior sekaligus bos tempatnya magang.
Arka adalah duda berusia 35 tahun, dingin, tertutup, dan menyimpan banyak luka dari masa lalunya. Meski memiliki segalanya, ia hidup sendiri, jauh dari kehangatan keluarga. Sejak pertama kali melihat Nayra saat masih remaja, Arka sudah merasa tertarik—bukan secara fisik semata, melainkan pada keteguhan hati dan ketulusan gadis itu. Ketika Nayra tumbuh dewasa dan kesulitan menghimpit hidupnya, Arka melihat kesempatan untuk menjadikan gadis itu bagian dari hidupnya.
Tanpa cinta, tanpa keromantisan, mereka memulai hidup sebagai suami istri berdasarkan perjanjian: tidak ada kewajiban fisik, tidak ada tuntutan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lee_ya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cinta atau Kontrak?
“Aku nggak pernah minta jadi sorotan, Arka.”
Suaraku bergetar saat kutunjukkan ponselku yang menampilkan judul artikel:
“Gadis Misterius Calon Istri CEO Arka Pratama: Siapa Sebenarnya Nayra Kirana?”
Wajah Arka tetap tenang. Tapi rahangnya mengeras.
“Media selalu haus bahan. Mereka akan korek apa pun yang bisa dijual,” katanya.
“Ini bukan cuma gosip, Arka. Mereka mulai datangi kampusku. Tanya ke dosen pembimbing. Bahkan ke rumah kontrakan temanku,” ucapku sambil menahan emosi.
“Aku bukan artis. Aku nggak terbiasa dikejar-kejar kamera hanya karena tunangan pria kaya.”
Arka menghela napas.
“Aku akan suruh tim hukum urus ini.”
Aku menatapnya tajam.
“Kalau dari awal kamu tahu ini bakal jadi begini, kenapa kamu nggak kasih tahu aku dulu?”
Dia terdiam.
“Aku pikir aku bisa jaga kamu. Ternyata aku salah.”
Dan entah kenapa, kalimat itu terasa seperti pengakuan yang tulus. Tapi aku terlalu lelah untuk menyentuhnya.
***
Hari itu, suasana rumah kembali tegang.
Dira datang membawa tumpukan dokumen yang katanya dari tim hukum keluarga. Dengan senyum ramah yang terlalu rapi, dia berkata:
“Ada sedikit tambahan di perjanjian pranikah. Mama ingin kamu baca dan tanda tangan.”
Aku menerima berkas itu dengan tangan dingin. Halaman pertama langsung membuatku kehilangan selera makan siang:
“Apabila pernikahan berakhir sebelum lima tahun, maka tidak ada hak atas properti, fasilitas, atau akses ke aset pribadi suami, terlepas dari kondisi rumah tangga.”
Ada juga klausul yang menyatakan bahwa aku tidak boleh tampil di media kecuali dengan izin tertulis keluarga, dan bahwa aku wajib menjaga citra Arka di publik.
“Ini... mengunci aku, bukan melindungi,” gumamku pelan.
Dira tersenyum manis.
“Bukan begitu, sayang. Ini cuma untuk jaga-jaga. Kamu tahu sendiri, banyak perempuan yang masuk ke dunia ini demi satu hal yaitu uang.”
Aku mengangkat wajah.
"Dan kamu pikir aku salah satu dari mereka?”
“Bukan aku yang berpikir begitu.” Dia tersenyum, mengangkat bahu.
“Tapi kalau kamu bukan, kamu pasti nggak keberatan tanda tangan, kan?”
Aku menatap Arka yang baru masuk dari arah dapur. Dia melihat tumpukan kertas itu, dan wajahnya langsung mengeras.
“Apa ini perlu?” tanyanya tajam pada Dira.
“Ini permintaan Mama. Supaya semua jelas.”
Aku berdiri pelan.
“Aku nggak akan tanda tangan hari ini. Aku butuh waktu baca.”
“Silakan,” jawab Dira datar.
“Tapi jangan terlalu lama. Waktu kalian menikah tinggal satu minggu.”
Dan dia pun pergi. Meninggalkan aroma parfum mewah, serta luka yang belum sempat kuurai.
***
Malam harinya, aku duduk di ruang baca, halaman kontrak tergeletak di meja. Aku belum menyentuhnya. Hanya menatap, seolah berharap huruf-huruf itu berubah sendiri.
Arka masuk tanpa suara, lalu duduk di sofa seberang.
“Aku bisa batalkan itu,” katanya.
“Kalau kamu nggak nyaman.”
Aku menatapnya.
“Kalau aku tolak, kamu yakin mereka masih akan terima aku di keluarga kalian?”
Arka diam. Itu jawaban paling jujur malam ini.
“Aku bukan takut kehilangan asetmu, Arka,” lanjutku
"Tapi aku takut kehilangan diriku sendiri.”
Dia mendekat, lalu duduk di sampingku. “Kamu nggak akan kehilangan apa pun. Aku akan pastikan itu.”
Aku menoleh.
“Bahkan kalau pernikahan ini gagal?”
Dia menarik napas panjang.
“Aku akan tetap bantu keluargamu. Itu bukan tergantung pada status kita.”
Aku mengangguk.
“Dan kalau aku pergi suatu hari nanti... kamu akan lepaskan tanpa luka?”
Kali ini, dia tidak langsung menjawab.
“Aku nggak tahu,” bisiknya akhirnya.
“Mungkin saat itu aku sudah terlalu dalam untuk tidak luka.”
Itu pengakuan pertama bahwa ada perasaan, meski samar di balik matanya yang selalu dingin.
***
Dua hari kemudian, aku memutuskan untuk menandatangani kontrak pranikah itu.
Bukan karena aku menyerah. Tapi karena aku ingin membuktikan bahwa aku tidak datang untuk merebut apa pun. Dan karena aku ingin memegang kendali, bahkan jika semua orang ingin merebutnya dariku.
Saat Arka menerima dokumen itu, dia menatapku lama.
“Terima kasih,” katanya pelan.
Aku hanya tersenyum tipis.
“Kamu masih utuh setelah semua luka. Tapi aku belum tentu sekuat itu, Arka. Jangan paksa aku jadi seseorang yang bukan aku.”
“Aku tahu.” Dia menatapku. “Dan aku akan belajar mencintai kamu, bukan mengatur kamu.”
Kalimat itu... membuatku ingin menangis.
Karena untuk pertama kalinya, aku merasa... ada celah kecil yang terbuka di dinding hati pria itu.
***
Di balik semua glamor dan status sosial yang tak pernah kuinginkan, aku masih Nayra Kirana.
Dan meski dunia mencoba membentukku sesuai ekspektasi mereka, aku ingin pernikahan ini jadi milikku juga.
Dengan atau tanpa cinta... aku ingin tetap bisa mengenali diriku sendiri di cermin.
***
“Pengantin wanita sudah siap?”
Suara pelan dari balik pintu membuyarkan lamunanku.
Aku menoleh pada pantulan wajahku di cermin besar. Gaun putih berpotongan sederhana jatuh anggun di tubuhku. Makeup tipis di wajah, sedikit shimmer di kelopak mata, dan rambut disanggul rapi. Aku terlihat... dewasa.
Terlalu dewasa untuk usia 22 tahun. Terlalu dewasa untuk seseorang yang masih belum tahu apa arti cinta sebenarnya.
“Sudah, Bu,” sahutku pelan.
Bu Nani masuk dengan wajah penuh haru. “Kamu cantik sekali, Nayra... Arka beruntung.”
Aku tersenyum kecil. Tapi senyum itu hanya bertahan beberapa detik sebelum berubah jadi kegelisahan.
“Bu Nani... boleh aku tanya sesuatu?”
“Iya, Nak?”
“Arka... pernah mencintai Rania, nggak?”
Bu Nani menatapku lama. Lalu menjawab dengan suara pelan,
“Dia mencoba. Tapi dia lebih banyak menyembunyikan luka daripada perasaan cinta.”
Aku mengangguk. Kata-kata itu cukup untuk membuat hatiku berdebar lebih cepat. Bukan karena cemburu. Tapi karena aku takut menjadi pengulangan dari masa lalunya.
***
Aula pernikahan dihiasi putih dan krem, dengan taburan mawar putih di sepanjang lorong. Tidak megah berlebihan, tapi elegan. Persis seperti yang Arka inginkan, suasana tenang, bersih, dan tak terlalu ramai.
Kepalaku menunduk saat berjalan di lorong bersama Papa yang dibantu tongkat. Langkahnya pelan, tapi pasti. Seolah ini bukan hanya mengantarku ke pelaminan, tapi juga menyerahkan harapan terakhirnya padaku.
“Maaf ya, Nak... Papa nggak bisa kasih banyak. Tapi kalau kamu bahagia, itu cukup buat Papa,” bisik Papa sebelum melepaskan tanganku.
Aku nyaris menangis.
Lalu... di ujung altar itu berdiri Arka, mengenakan jas hitam dengan dasi abu gelap. Wajahnya tenang. Tapi matanya tak lepas dari pandanganku sedetik pun. Seolah sedang mencoba mencari kebenaran di balik langkah-langkahku yang pelan.
Kami berdiri berhadapan. Ada lantunan doa. Ada janji yang diucap. Dan saat Arka menyelipkan cincin di jari manisku, tangannya sedikit bergetar.
“Aku akan menjagamu dengan seluruh kemampuanku,” katanya lirih.
Aku mengangguk, menatap matanya.
“Dan aku akan mencoba mengerti kamu, meski dunia mungkin tak akan.”
***
Resepsi berjalan dengan senyum dan jabat tangan. Wartawan tidak diundang, tapi foto-foto sudah bocor juga ke media sosial. Dira mendekat, lalu mencium pipiku dengan senyum diplomatis.
“Selamat datang di keluarga, Nayra.”
“Terima kasih,” jawabku sopan.
Ibu Arka hanya menatap dari jauh. Rania tidak datang, entah karena dilarang atau karena memilih pergi. Farel? Aku tidak melihatnya sejak pagi. Tapi aku tahu dia hadir. Karena di kamar pengantin tadi, ada seikat bunga matahari kecil. Dan hanya satu orang yang tahu bunga itu adalah kesukaanku.
***
Malamnya, kami kembali ke rumah dalam diam. Di dalam mobil, Arka menggenggam tanganku, tidak erat, tapi tidak dingin.
“Lelah?” tanyanya.
Aku mengangguk.
“Tapi lebih karena pikiran daripada fisik.”
Dia tidak bertanya lebih lanjut. Mungkin dia tahu, ada hal-hal yang hanya bisa dicerna oleh waktu, bukan kata-kata.
***
Setibanya di rumah, kami masuk ke kamar masing-masing. Tapi malam itu, Arka mengetuk pintuku. Dia tidak masuk. Hanya berdiri di ambang.
“Boleh aku bicara sebentar?”
Aku mengangguk dan mempersilakannya duduk di kursi di pojok kamar.
“Aku tahu kamu menikah bukan karena cinta,” katanya pelan.
“Dan aku pun sama. Tapi hari ini... saat kamu jalan ke arahku, aku merasa sesuatu berubah.”
Aku menatapnya, diam.
“Aku masih belajar mencintai. Tapi kalau kamu mau... kita bisa mulai dari hari ini.”
Aku menarik napas.
“Kalau kamu menyentuhku sekarang, aku akan takut.”
Dia tersenyum kecil.
"Aku nggak akan sentuh kamu. Kecuali kamu sendiri yang menarik tanganku.”
Aku berdiri pelan, mendekatinya. Lalu duduk di karpet di depannya, seperti anak kecil yang ingin cerita.
“Aku pernah bermimpi pernikahan itu tentang cinta, pelukan, dan saling tatap sebelum tidur,” kataku pelan.
"Tapi ternyata... ini lebih seperti ujian. Ujian menakar seberapa besar keberanian kita untuk berjalan berdampingan tanpa tahu arah akhirnya.”
Arka menatapku dalam.
"Kalau kamu tersesat di tengah jalan, aku akan cari kamu.”
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, dia tidak menyentuhku dengan tangan. Tapi dengan kehadirannya.
Dan itu cukup.
Untuk malam ini.
***
Aku tidur sendiri malam itu. Tapi di meja samping ranjangku, ada sepucuk surat yang ditulis tangan:
"Nayra, aku tidak pandai menulis, apalagi merayu. Tapi aku ingin kamu tahu, aku ingin belajar mencintai bukan karena kamu sempurna, tapi karena kamu memilih bertahan. Itu sudah cukup alasan bagiku untuk mencoba."
– Arka
Aku memeluk surat itu, mungkin aku menikah tanpa cinta, tapi tidak tanpa harapan.