Apa yang kita lihat, belum tentu itulah yang sebenarnya terjadi. Semua keceriaan Aurora hanya untuk menutupi lukanya. Dia dipaksa tumbuh menjadi gadis kuat. Bahkan ketika ayahnya menjual dirinya pada seorang pria untuk melunasi hutang-hutang keluarga pun, Aurora hanya bisa tersenyum.
Dia tersenyum untuk menutupi luka yang semakin menganga. Memangnya, apa yang bisa Aurora lakukan selain menerima semuanya?
"Jika kamu terluka, maka akulah yang akan menjadi obat untuk lukamu." —Skala Bramasta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon widyaas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
...༄˖°.🎻.ೃ࿔*:・...
Aurora mendorong kursi roda Nenek Aster menyusuri lorong di rumah besar itu. Sedangkan Nenek Aster mengarahkan jalannya pada Aurora. Hingga akhirnya mereka sampai di depan sebuah pintu berwarna coklat.
"Ini kuncinya." Nenek Aster menyerahkan kunci tersebut pada Aurora, dan Aurora segera membuka gembok tersebut.
Nyittt
Suara pintu terbuka terdengar. Nenek Aster tersenyum melihat isi di dalamnya.
Aurora bergerak mendorong Nenek ke dalam. Matanya menatap sekelilingnya dengan mata sedikit berbinar.
Ruang musik.
Banyak alat musik yang ada di sana, piano, seruling, angklung, biola. Semuanya terlihat kuno. Apakah itu adalah milik Nenek Aster selagi masih muda? Namun, justru barang kuno seperti inilah yang membuat Aurora tertarik.
"Nenek ingin memainkan alat musik?" tanya Aurora.
Nenek Aster mengangguk. Dia meminta Aurora mendorong kursi roda nya ke arah piano.
Ruangan ini jarang didatangi orang-orang, tapi para pelayan rajin membersihkan nya. Jadi, terlihat rapi dan nyaman.
Ting...
Jemari keriput itu mulai memainkan piano di depannya. Aurora tersenyum mendengar nada yang diciptakan oleh piano tersebut.
Nenek Aster terlihat begitu mahir memainkannya. Aurora tak menyangka kalau Nenek Aster masih bisa memainkan alat musik seperti ini di usianya yang tak lagi muda. Memainkan alat musik tentunya harus mengingat nada-nada yang ada. Meski sudah tua, ingatan Nenek Aster begitu tajam.
Sambil menikmati suara piano itu, Aurora melihat yang lainnya. Ingin rasanya dia memainkan salah satu alat musik di sana, meskipun tidak se mahir Nenek Aster.
"Kamu bisa memainkan alat musik?" tanya Nenek Aster, dia menyudahi menekan-nekan piano tersebut.
Aurora mengangguk singkat. "Ya, tapi tidak terlalu bisa, Nek," jawabnya.
"Ambil alat musik yang ingin kamu mainkan."
Meski ragu, Aurora tetap berjalan mengambil biola yang berada di atas meja. Benda itu berdiri dengan cantik.
"Biola?"
Aurora mengangguk.
Nenek Aster tersenyum. "Hebat. Nenek bahkan tidak bisa memainkannya, karena itu Nenek meletakkannya di meja paling pojok."
Aurora hanya tersenyum. Dia mengapit biola tersebut diantara rahang dan pundaknya. Perlahan dia menggesek bow/tongkat biola ke senar tersebut hingga menciptakan bunyi yang merdu. Aurora memejamkan matanya sambil terus menggesek bow nya.
Nenek Aster tersenyum lebar. Sungguh, pemandangan di depannya begitu membuatnya takjub. Matanya beralih melihat salah satu lukisan di ruangan itu, lukisan seorang perempuan yang memainkan biola. Persis seperti Aurora sekarang.
Perlahan, tangan keriputnya kembali menekan piano. Hingga terciptalah suara indah bersahutan yang diciptakan oleh alat musik yang mereka mainkan di ruangan tersebut.
Karena suaranya lumayan kencang, Skala yang sedang bicara dengan ayahnya pun jadi terdiam untuk mendengarkan lebih jelas lagi.
"Sepertinya itu nenek," ucap sang ayah, Javas Bramasta. "Tapi, suaranya seperti 2 macam alat musik, kan? Dengan siapa nenekmu berada di sana?"
Tidak ada yang bisa memainkan alat musik selain Nenek Aster. Wajar saja kalau mereka terkejut saat mendengar dua alat musik tersebut bersahutan.
Karena penasaran, Skala pun melangkah ke ruang musik sang nenek, di susul Javas di belakang.
Aurora dan Nenek Aster terus memainkan alat musik mereka, seolah dunia hanya milik mereka berdua.
Skala dan Javas terdiam melihat pemandangan di depan mereka. Kedua wanita itu masih belum sadar akan kedatangan mereka.
Aurora menggesek bow nya dengan pelan sebagai akhir dari nada dan irama yang mereka ciptakan. Begitupun dengan Nenek Aster. Mereka tersenyum lebar bersama setelah sunyi menerpa.
"Indah sekali. Katamu tidak terlalu mahir, tapi apa ini?" Nenek Aster terkekeh.
Aurora menunduk malu.
"Ambil saja biola itu untukmu. Hadiah dari Nenek," ujar Nenek Aster.
"Benarkah?!" Aurora seketika senang, bahkan matanya berbinar cerah. Skala yang melihatnya tanpa sadar tersenyum tipis, samar, tapi Javas bisa melihatnya.
Nenek Aster mengangguk. "Ya, Rora," ujarnya.
Aurora menatap biola yang dia pegang dengan mata berbinar. Dulu, dia ikut ekstrakurikuler musik di sekolah. Dari situlah dia belajar memainkan biola. Bahkan ketika teman-teman nya sudah pulang, Aurora akan berdiam di ruang musik selama satu jam untuk belajar biola.
Meski suka memainkan alat musik itu, Aurora tidak memiliki benda tersebut di rumah. Dia cukup tau diri untuk meminta sesuatu pada ayahnya, apalagi harga biola tidaklah murah.
Dan sekarang, dengan percuma Nenek Aster memberikan biola tersebut, tentu saja Aurora senang.
"Terimakasih, Nenek!" Aurora bersimpuh di depan Nenek Aster sambil mengecup tangan keriput itu dengan tulus.
Nenek, Javas serta Skala seketika tersentuh melihat betapa sopannya Aurora.
Nenek Aster mengelus kepala Aurora dengan lembut. "Jaga biola itu baik-baik."
Aurora langsung mengangguk cepat, dia memeluk Nenek Aster dengan lembut. Dan saat itu juga dia menyadari ada suami serta mertuanya di ambang pintu.
"Daddy, Skala?" Aurora melepas pelukannya lalu berdiri menatap kedua pria itu.
Nenek Aster menoleh. "Sejak kapan kalian ada di sana?"
Javas tersenyum, dia melangkah masuk. "Sejak kami mendengar alunan yang indah."
Pipi Aurora tiba-tiba memerah. Dia malu! Pasti Javas dan Skala melihatnya memainkan biola tadi.
Nenek Aster menatap Aurora yang menunduk, lalu dia kembali menatap Skala. "Kala, ajak istrimu istirahat."
Aurora menoleh pada nenek. "Ayo, aku antar Nenek ke kamar."
"Tidak perlu, biar Daddy yang antar nenek," sela Javas.
Sedangkan Skala mengode Aurora agar mengikutinya. Setelah itu dia keluar lebih dahulu.
"Rora permisi, Dad, Nenek," pamit Aurora sembari membungkuk. Lalu dia berjalan cepat mengikuti langkah lebar Skala.
"Gadis itu sangat sopan," gumam Nenek Aster.
Javas yang berada di belakangnya pun mengangguk setuju. "Syukurlah Skala mendapat pendamping yang tepat. Meskipun mereka menikah tanpa ada cinta."
"Aku yakin, Skala bisa membuka hatinya nanti."
Javas mengangguk. "Baiklah, sekarang Ibu harus istirahat sebelum makan malam."
Pria paruh baya itu mendorong kursi roda ibunya keluar dari sana.
Aurora mendudukkan dirinya di pinggiran ranjang sambil menatap biola yang dia pegang. Sedangkan Skala sedang mandi.
"Akhirnya setelah bertahun-tahun tidak menyentuh benda ini, aku bisa menyentuhnya lagi. Bahkan memilikinya." Ia terkekeh kecil lalu memeluk erat biola tersebut.
Ceklek
Aurora tersentak, dia mendongak menatap Skala yang sudah rapi dengan kaos putih serta celana pendek berwarna hitam. Tubuhnya yang tinggi kekar membuat kaos itu terlihat kekecilan hingga mencetak otot-otot nya.
"Alat musik itu sudah kuno. Tidak mau membeli yang baru?" tanya Skala tiba-tiba.
"Tidak. Aku suka yang ini. Lagi pula ini hadiah dari nenek, aku harus merawatnya," balas Aurora. Dia masih memeluk biola tersebut.
Skala mengangguk singkat. "Bersihkan dirimu, setelah itu kita makan malam."
Aurora melihat jam dinding, ternyata sudah pukul 6 sore. Kenapa waktu terasa cepat berlalu? Dia meletakkan biola tersebut ke atas meja panjang bertingkat, lalu segera menuju kamar mandi.
Skala dapat melihat betapa Aurora adalah sosok yang begitu menghargai setiap pemberian, tanpa memandang nilai atau kondisi barang tersebut. Meskipun mungkin itu hanya barang murah atau bahkan sesuatu yang sudah tak layak pakai, Aurora tetap memperlakukan semua dengan penuh rasa syukur dan penghormatan. Sikapnya yang tulus ini sering kali membuat Skala terheran-heran. Bagaimana mungkin seorang gadis sebaik itu dijadikan sebagai alat untuk melunasi utang?
Lebih mengejutkan lagi, Aurora dengan penuh kesadaran dan keterbukaan menerima tawaran untuk menjadi istri Skala. Dalam pikiran Skala, muncul berbagai pertanyaan yang tak kunjung terjawab. Kenapa gadis secerdas dan sebaik Aurora mau terlibat dalam situasi seperti ini? Mengapa ia bersedia menjadi pengganti utang, seolah-olah hidupnya adalah sebuah perjanjian yang tak memiliki nilai lebih dari sekadar transaksi?
Ah, betapa rumitnya hidup ini. Terkadang, keputusan yang diambil tidak bisa diulang kembali. Keberanian untuk melangkah ke arah yang tidak pasti, terkadang membawa kita pada jalan yang tak terduga.
Meskipun awan keraguan masih melingkupi pikiran Skala. Ia bertanya-tanya, apakah cinta bisa tumbuh dari situasi yang tidak biasa ini? Apakah mungkin, di balik semua ini, mereka bisa menemukan kebahagiaan yang sejati?
Skala berusaha untuk memahami perasaannya. Mungkin, perjalanan ini bukan hanya tentang utang yang harus dibayar, tetapi juga tentang menemukan makna dan tujuan dalam hidup. Aurora, dengan segala kebaikannya, mungkin akan menjadi cahaya dalam kegelapan yang mengelilingi Skala. Dalam perjalanan ini, mereka bisa saling melengkapi dan menemukan arti cinta yang sesungguhnya.
bersambung...
lanjuuuut