Sebagai seorang putra mahkota Kekaisaran Tang, sudah selayaknya Tang Xie Fu meneruskan estafet kepemimpinan dari ibunya, Ratu Tang Xie Juan.
Namun takdir tidak berpihak kepadanya. Pada hari ulang tahun dan penobatannya sebagai seorang kaisar, terjadi kudeta yang dipimpin oleh seorang jenderal istana. Keluarga besarnya tewas, ibunya dieksekusi mati, dan kultivasinya dihancurkan.
Dengan cara apa Tang Xie Fu membalaskan dendamnya?
Ikuti kisahnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muzu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keanehan
Tubuh Xie Fu yang kotor tidak digotong, melainkan diseret kedua kakinya oleh Jun He dan Yu Chen ke ujung tebing, sementara Ling Tian dan dua murid lainnya terus mengawasi untuk memastikan tidak ada yang mengetahui aksi mereka. Sampai di ujung tebing, barulah dua murid lainnya mengangkat kedua tangan Xie Fu.
“Satu … dua … lempar!” ucap mereka serentak seraya mengayun-ayun tubuh Xie Fu dan diakhiri dengan melemparnya ke jurang.
“Apakah dia bakal mati, Ka?” tanya Yu Chen sambil mengamati jatuhnya tubuh Xie Fu yang tertelan rimbunnya pepohonan.
“Dilihat dari kondisinya, harusnya dia mati begitu jatuh. Apalagi di bawahnya banyak batu cadas dan juga binatang buas yang pasti saling berebut memakannya,” tutur Ling Tian merasa yakin.
Mereka kemudian kembali ke sekte dengan riang tanpa sedikit pun merasa bersalah. Adapun mereka melakukannya bukan semata karena kebencian terhadap Xie Fu maupun keluarga istana, melainkan karena titah dari salah seorang tetua sekte.
Senantu Tetua Xue tampak gundah memikirkan cara untuk melenyapkan Xie Fu tanpa harus melibatkan dirinya. Maka dari itu, ia memanggil enam murid terbaiknya untuk datang ke kediamannya tepat setelah matahari terbenam.
“Guru, apakah ada misi dari Kepala Sekte untuk kami?” tanya Ling Tian begitu tiba di kediaman Tetua Xue. Ia dan teman-temannya menduga akan diberi misi mencari sumber daya untuk berkultivasi, seperti yang biasa dilakukan oleh semua murid sekte demi menaikan tingkat kultivasi ke ranah berikutnya.
“Guru sangat menyukai semangat kalian, tetapi bukan seperti yang kalian semua pikirkan,” ujar Tetua Xue tak lepas memperhatikan semangat dari murid-murid terbaiknya.
Ling Tian dan teman-temannya mengernyit heran. Mereka pun antusias untuk mendengar alasan di balik pemanggilannya.
“Seperti yang kalian ketahui, sekte kita memiliki seorang sampah yang jika tidak disingkirkan, maka akan jadi bumerang untuk sekte kita ke depannya.”
“Pangeran Xie Fu?” kata Yu Chen langsung menebaknya.
“Tepat.” Tetua Xue mengangguk senang. Ekor matanya melirik satu per satu muridnya, lalu menambahkan, “Sampah itu sudah bisa berjalan. Mungkin besok atau beberapa hari ke depan, dia akan keluar dari ruang pengobatan. Guru minta kalian diam-diam mengikutinya. Jika ada kesempatan, habisi dia dan pastikan tidak ada orang lain yang mengetahuinya.”
“Maaf, Guru. Bagaimana dengan para tetua?” tanya Ling Tian.
“Kebetulan mulai besok, Guru dan tetua lainnya akan melakukan pelatihan tertutup selama sebulan penuh. Jadi, pergunakan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya.”
“Baik, Guru!” ucap keenam murid serempak.
***
Di kegelapan hutan yang pekat, terdengar derap langkah kaki seekor beruang hitam yang meratap. Mencari seonggok daging dengan penuh harap. Indra penciumannya yang tajam tak berhenti mengendus keberadaan hewan yang mungkin saja sedang sekarat. Namun, yang pertama kali dapat justru pendengarannya. Suara debam benda jatuh terdengar samar dari kejauhan. Beruang hitam itu mengabaikannya. Tampaknya ia lebih percaya pada indra penciumannya yang memang menjadi andalan dalam mencari mangsa daripada pendengarannya. Benar saja, tak lama kemudian indra penciumannya itu mengendus aroma darah yang terbawa semilirnya angin. Langkahnya melambat sambil memutar kepala mengikuti indra penciumannya yang kuat. Setelah mendeteksi aroma darah tersebut, sang beruang pun mempercepat langkah ke sumber aroma itu berasal.
Beruang itu kembali memperlambat langkahnya begitu melihat sosok tubuh manusia yang terjerembab di semak belukar. Bola matanya yang cemerlang, mengamati sosok itu dengan sikap waspada sambil terus memangkas jarak. Akan tetapi, beruang hitam itu tidak sendirian. Dari rerimbunan semak belukar dalam jarak puluhan tombak, beberapa ekor serigala tengah mengintai dalam pekatnya malam di tengah rimba. Mereka mengendap nyaris tanpa suara; membangun formasi; menutup ruang gerak sang beruang hitam tanpa memberi celah untuk melarikan diri.
Meskipun demikian, adanya gerombolan serigala yang mengintai dari kegelapan, tidak serta merta membuat beruang hitam itu mengendurkan kewaspadaannya. Insting melindungi diri dari ancaman membuat sang beruang hitam berhenti melangkah, menyisakan jarak dua tombak dengan sosok tubuh manusia yang terkulai tanpa daya. Indra penciumannya yang tajam dapat menentukan jumlah serigala di sekelilingnya. Beruang hitam itu pun berdiri sambil mendongakkan kepala, lalu menggeram keras.
Suara geraman beruang yang panjang membuat kawanan serigala yang bersembunyi terpaksa menampakkan diri. Bola mata dari kawanan serigala itu menyala di kegelapan; rahangnya terbuka menampakkan taring tajam yang siap merobek daging dalam sekali gigitan.
Langkah serigala terlihat hati-hati dan penuh perhitungan. Diam-diam kawanan serigala membentuk formasi mengurung keberadaan beruang hitam yang masih bergeming di tempatnya. Salah satu dari serigala berada dekat dengan tubuh Xie Fu. Sambil mengendap, serigala itu menarik tubuh Xie Fu dan membawanya menjauhi beruang hitam. Namun, sang beruang tidak akan membiarkan santapannya hilang begitu saja. Dalam posisi berdiri, beruang hitam langsung menerjang serigala yang masih menyeret tubuh Xie Fu. Pertarungan pun dimulai. Beruang hitam berhasil mengoyak leher serigala dalam satu serangan cepat hingga membuat serigala itu terkapar di samping tubuh Xie Fu.
Kawanan serigala yang lainnya serentak menyerang beruang hitam dari tiga arah berbeda. Dua serigala yang datang dari kedua sisi berhasil dihindari, tetapi seekor serigala yang melompat dari arah belakang, menaiki tubuhnya dan mengunci lehernya dengan gigitan. Beruang hitam menggeram pilu, lalu bergulingan di tanah untuk melepaskan diri. Setelahnya ia melangkah mundur dengan banyak luka yang meneteskan darah.
Melihat kondisi beruang hitam yang kepayahan, kawanan serigala kembali bergerak dengan memutar tubuh beruang. Seekor dari mereka menyerang bagian pinggul, tetapi si beruang meresponsnya dengan memutar tubuh dan menggigit leher serigala yang berada dalam jangkauannya.
Namun, beruang hitam itu tidak menyadari adanya jebakan dari kawanan serigala yang sengaja mengulur waktu untuk mencari peluang melakukan serangan brutal secara berkelompok. Tiga serigala yang berada dalam posisi bebas, langsung menyerangnya dengan buas. Beruang hitam tak memiliki waktu untuk menghindar. Ia hanya bisa melakukan serangan dengan kedua cakarnya secara refleks. Nahas, perlawanannya untuk melindungi diri harus terkecoh oleh serangan dua serigala yang berhasil mengalihkan perhatiannya. Seekor serigala yang menyerang di belakang dua serigala justru luput dari perhatiannya. Tak ayal, perut beruang hitam terkoyak oleh taring tajam serigala hingga ususnya terburai keluar. Sang beruang menggeram kesakitan.
Kondisi beruang yang lemah, kembali dimanfaatkan oleh kawanan serigala. Mereka menyerangnya dengan brutal dan tanpa ampun. Beruang hitam pun tewas dengan kondisi yang mengenaskan.
Pada saat itu, Xie Fu siuman. Ia meringis merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Kawanan serigala yang mendengarnya langsung menghampiri dan menatapnya dengan tajam. Rahang dari kawanan serigala itu masih dipenuhi oleh darah segar, tetapi tak membuat Xie Fu takut melihatnya.
“Kalian mau memakanku? Silakan!” ucapnya pasrah, lalu menutup mata.
Santapan empuk terpampang sempurna di hadapan kawanan serigala yang lapar setelah pertarungan sengit dengan beruang hitam. Namun, begitu mereka akan menyantapnya, sekelebat cahaya yang menyilaukan keluar dari kening Xie Fu, meleburkan tubuh serigala dan mengisap inti jiwa ke dalam kening. Setelah itu cahaya menghilang lalu muncul simbol kuno yang terukir di kening Xie Fu.
Suasana yang hening membuat Xie Fu membuka mata. Ia tidak melihat keberadaan serigala yang sebelumnya berdiri di dekatnya.
“Ke mana serigala-serigala buas itu?” ucapnya heran.
Tanpa sadar, Xie Fu berdiri dan melangkah memperhatikan jejak darah di rerumputan dan bekas pertarungan yang terjadi. “Apakah ada hewan lain yang membuat mereka tidak jadi memakanku?” Xie Fu masih penasaran.
Ia melangkah dengan begitu cepat seperti seekor kuda yang berlari sambil terus memikirkan ke mana hilangnya kawanan serigala. Namun, begitu ia menyadari dirinya tidak merasakan sakit dan dapat berjalan normal, tiba-tiba saja ia terjatuh bergulingan di atas tanah dan kembali ke keadaan semula. Ukiran simbol di keningnya pun menghilang.
Keanehan kembali merayapi pikirannya. “Apa yang sebenarnya terjadi? Bukankah tadi diriku berjalan normal dan tidak merasakan sakit?” Xie Fu menampar pipinya dengan keras dan mencubit tangannya. Jelas ia merasakan sakit, dan berpikir bahwa yang dialaminya hanya halusinasi.
“Terlalu banyak pikiran, membuatku seperti orang gila,” gumamnya.
Ia kemudian merangkak seraya menahan sakit di sekujur tubuhnya. Akan tetapi, kondisi tanah yang dipenuhi akar-akar besar dan duri-duri tajam dari semak belukar membuatnya sangat kesulitan untuk sekadar berpindah posisi, Xie Fu mencoba berdiri dengan menopang pada pohon.
Dalam posisi berdiri, tubuh Xie Fu bergetar hebat. Dengan sekuat tenaga ia menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Lama ia berdiam diri sambil memeluk pohon, rasa sakit yang dideritanya mulai mereda. Pelan-pelan ia melangkahkan kaki, berpindah dari satu pohon ke pohon lainnya.
Setiap kali menempuh lima pohon, Xie Fu duduk, lalu bangkit dan terus berulang hingga langkahnya terhenti tepat di pinggir sungai yang berada di tengah hutan.
“A … aku berhasil,” ucapnya, lalu menjatuhkan diri karena kelelahan. Ia pun tertidur pulas di atas batu pipih yang besar.
jawab gitu si Fan ini tambah ngamuk/Facepalm/