NovelToon NovelToon
Pernikahan Penuh Luka

Pernikahan Penuh Luka

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Obsesi / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:3.9k
Nilai: 5
Nama Author: Rima Andriyani

Aku tidak pernah percaya bahwa pernikahan bisa jadi sekejam ini. Namaku Nayla. Hidupku berubah dalam semalam saat aku dipaksa menikah dengan Reyhan Alfarezi, seorang pria dingin, keras kepala, dan kejam. Baginya, aku hanya alat balas dendam terhadap keluarga yang menghancurkan masa lalunya. Tapi bagaimana jika perlahan, di antara luka dan kemarahan, ada sesuatu yang tumbuh di antara kami? Sesuatu yang seharusnya tak boleh ada. Apakah cinta bisa muncul dari reruntuhan kebencian? Atau aku hanya sedang menipu diriku sendiri?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rima Andriyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 12

Ara menatapku dengan ekspresi tak percaya. Wajahnya memerah menahan malu dan marah. Ia mencoba bangkit sambil memegangi sikunya, tapi aku tidak berniat menolongnya.

Reyhan tampak terkejut dengan tindakanku barusan, tapi ia tidak langsung bereaksi. Tatapannya bergantian mengarah padaku dan pada Ara yang masih duduk di lantai.

“Apa yang kau lakukan, Nayla?” tanyanya akhirnya.

Aku mengalihkan pandanganku padanya. “Sudah jelas, bukan? Dia menjatuhkan dirinya sendiri dan menuduhku. Jadi kupastikan tuduhannya itu benar… walau kali ini tanpa kebohongan.”

Ara mendongak, masih berusaha memainkan perannya. “Aku benar-benar kesakitan, Reyhan. Lihat apa yang dia lakukan padaku!”

“Sudahlah, Ara.” Aku memotong ucapannya dengan nada tajam tapi tenang. “Kau pikir aku sebodoh itu untuk terjebak dalam drama yang sama dua kali?”

Dia terdiam, wajahnya mulai kehilangan keyakinan.

Aku menoleh pada Reyhan. “Sebaiknya kau urus saja tuan putrimu ini dulu. Aku mau mencari udara segar yang belum terkontaminasi.”

Reyhan tidak langsung menjawab. Tatapannya kini lebih dalam, seperti mencoba membaca pikiranku.

Aku melangkah ke meja, mengambil tasku, lalu menoleh sekali lagi.

“Sebaiknya kalian berdua selesaikan urusan ini. Aku tidak akan ikut campur dalam sandiwara ini lagi.”

Lalu aku menatap Ara dengan senyum tipis. “Dan satu lagi… kalau kau memang yakin Reyhan akan menceraikanku demi menikahimu, kenapa kau masih harus menjatuhkan dirimu ke lantai untuk membuatku terlihat salah?”

Aku melangkah keluar ruangan tanpa menoleh ke belakang, membiarkan keheningan yang tertinggal menjadi jawaban atas semuanya.

Reyhan mengeratkan rahangnya mendengar ucapan Nayla yang menusuk. Ada kemarahan yang membara, tapi juga kebingungan yang tak bisa ia sembunyikan. Sikap Nayla berubah begitu cepat hanya dalam semalam.

Apa ini bentuk kemarahannya? Atau sekadar cara Nayla menarik perhatiannya?

“Aku tidak suka sikapmu, Nayla,” ucap Reyhan dingin, nadanya tajam dan penuh tekanan. “Minta maaf pada Ara.”

Langkahku terhenti di depan pintu. Perlahan aku menoleh, menatapnya dengan sorot datar.

“Maaf?” ulangku, setengah tidak percaya. “Aku tidak akan meminta maaf atas sesuatu yang tidak kulakukan, Rey.”

“Nayla, cukup,” tegasnya. “Jangan bersikap kekanak-kanakan hanya karena—”

Aku mengangkat tangan, menghentikan ucapannya. “Kalau kau hanya akan membelanya dan terus menyalahkanku, maka kita memang tak perlu berbicara lagi.”

Tanpa menunggu balasannya, aku kembali melangkah. Tapi tiba-tiba, pergelangan tanganku ditarik kuat oleh Reyhan. Aku terpaksa berbalik dan menatapnya tajam.

“Nayla.” Suaranya terdengar rendah, hampir menggeram. “Jangan pernah mengabaikanku saat aku bicara.”

Aku menepis tangannya dengan tegas. “Kau seharusnya menyimpan perlakuan itu untuk seseorang yang benar-benar bersalah.”

Reyhan mendengus kesal. Ia menoleh ke arah Ara yang masih kini duduk di sofa dengan ekspresi manja yang dibuat-buat.

“Pulang, Ara,” perintahnya dingin.

Ara terlihat kaget. “Tapi Reyhan, aku—”

“Sekarang.” Tatapan Reyhan berubah tajam, membuat nada suaranya terdengar tak bisa dibantah.

Dengan enggan dan kesal yang jelas terlihat di wajahnya, Ara akhirnya bangkit. Ia melirikku tajam sejenak sebelum berjalan keluar dari ruangan dengan langkah menghentak.

Begitu pintu tertutup kembali, aku dan Reyhan terdiam. Aku menarik tanganku dari pegangannya.

Reyhan mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. Pandangannya menancap padaku seperti ingin menusuk hingga ke tulang.

“Kau lupa, Nayla?” ucapnya pelan namun dingin. “Kau berada di sini… karena ayahmu. Karena Papamu, yang menyebabkan Papaku meninggal.”

Aku menatapnya tajam, tapi tak berkata apa-apa.

“Pernikahan ini bukan karena cinta. Kau menikah denganku karena kau harus menebus semuanya.” Suaranya menahan emosi. “Karena kau harus membayar dosa keluargamu.”

Aku terdiam sejenak… lalu tertawa. Tawa yang hambar dan sinis. Aku menatapnya penuh kecewa.

“Astaga, Rey… Kau benar-benar buta.” Aku menggeleng pelan, kemudian mendekat beberapa langkah, menatap wajahnya tanpa gentar. “Sampai hari ini pun kau masih hidup dalam dendam yang bahkan tidak pernah kau cari kebenarannya.”

“Nayla—”

“Diam!” potongku tajam. “Awalnya aku masih punya sedikit harapan bahwa kau akan melihat siapa aku sebenarnya. Tapi ternyata, aku hanya boneka penebus dosa bagimu.”

Reyhan mengatupkan bibirnya, menahan amarah. Tapi aku tidak berhenti.

“Kalau kau pikir aku akan terus menunduk dan membiarkan kau dan keluargamu menginjak harga diri keluargaku, kau salah besar.” Suaraku meninggi. “Aku akan membersihkan nama Papa, Rey. Sekalipun itu berarti aku harus melawan semua orang, termasuk kamu!”

Wajah Reyhan tampak terkejut, tapi matanya semakin tajam. “Jadi ini alasan perubahanmu?” gumamnya. “Karena kau mulai membangkang? Karena kau tak ingin lagi menjadi ‘penebus dosa’?”

“Tidak,” jawabku mantap. “Karena aku sadar… aku bukan budak siapa pun. Dan yang paling penting, aku bukan anak dari pembunuh seperti yang selalu kau tuduhkan.”

“Kau tidak tahu apa yang kau katakan, Nayla,” sahut Reyhan dengan nada yang lebih tinggi.

“Aku tahu persis, Reyhan,” bisikku tajam. “Lebih dari yang pernah kau pedulikan selama ini.”

Kami berdiri saling menatap, sama-sama terdiam oleh amarah yang tertahan. Hubungan yang dulu pernah terasa hangat, kini hanya menyisakan luka, dendam yang mengendap terlalu lama.

Reyhan tiba-tiba menarik lenganku dengan keras, membuatku terhuyung ke belakang. Tubuhku jatuh ke sofa tanpa sempat melawan.

"Apa yang kau mau sebenarnya, Nayla?!" Suaranya keras, penuh emosi yang tak terkendali. "Perhatian dariku? Kasih sayang? Atau pengakuan?!"

Aku menatapnya, terengah karena dorongannya yang kasar. "Aku tidak butuh semua itu darimu," ucapku pelan, tapi tegas.

Namun Reyhan tidak mundur. Ia mendekat, wajahnya hanya beberapa inci dariku. Tatapannya membara, bibirnya gemetar menahan amarah dan... sesuatu yang lain. Emosi yang campur aduk, tak bisa kupahami.

"Kalau perhatian yang kau inginkan," bisiknya dengan nada menekan, "maka akan kuberi."

Tanpa aba-aba, ia menunduk dan menciumku. Bukan ciuman yang lembut, ciuman itu kasar, penuh tekanan, membuatku tercekat.

Aku memalingkan wajahku, mendorong dadanya sekuat tenaga. “Reyhan, hentikan!”

Ia tertegun, nafasnya memburu. Seketika, ada keraguan di matanya, seperti baru menyadari tindakannya sendiri.

Aku berdiri dengan menahan air mata yang mulai berkumpul. "Kau brengsek!"

Reyhan terdiam. Ia menatapku.

“Segala yang kau pikir kau tahu tentangku… ternyata cuma ilusi, ya?” aku melanjutkan. “Aku bukan perempuan lemah yang bisa kau injak kapan saja, Rey. Kau tidak punya hak untuk menyentuhku seperti itu.”

Aku melangkah pergi tanpa menoleh, meninggalkan Reyhan yang terpaku.

---

Tanganku gemetar saat membuka pintu keluar ruangan Reyhan. Langkahku goyah. Aku berusaha tetap tegak, tapi pandanganku mulai buram. Mual kembali datang, menghantam seperti gelombang yang tak bisa kuhindari.

Tidak. Bukan sekarang. Aku tidak boleh tumbang.

Aku menyandarkan diri di dinding koridor, menarik napas panjang, mencoba meredakan gejolak di lambungku yang terasa seperti terbakar. Jantungku berdebar cepat. Punggungku basah oleh keringat dingin.

Air mataku hampir jatuh, bukan karena Reyhan, tapi karena tubuhku yang mulai menyerah.

“Apa ini efek obat?” bisikku pelan, mencoba menenangkan diriku sendiri.

Aku menggigit bibir bawahku, memejamkan mata sejenak. Suara-suara dari ruang kerja terdengar samar di belakangku. Aku tahu Reyhan mungkin masih berdiri di sana, bingung dengan keputusanku pergi. Tapi aku tidak bisa memikirkannya sekarang.

Karena hari ini bukan tentang Reyhan. Ini tentang aku. Tentang misi yang harus kuselesaikan.

Enam bulan. Itu yang dikatakan dokter. Enam bulan untuk bertahan. Enam bulan untuk menyelesaikan apa yang belum sempat dilakukan Papa.

Kupeluk perutku, menahan rasa sakit yang menyusup seperti pisau kecil yang mencabik dari dalam. Tapi aku tak akan berhenti. Aku sudah terlalu jauh melangkah untuk menyerah sekarang.

Aku menegakkan kepala, menatap bayanganku sendiri di dinding kaca kantor Reyhan. Mataku sayu, wajahku pucat. Tapi di sana, aku melihat wanita yang tidak akan menyerah meski dunia mencemoohnya.

“Aku akan membuatmu membuka mata, Reyhan,” bisikku lirih. “Kalau pun aku harus pergi nanti... aku akan pergi setelah kau tahu kebenarannya.”

Aku membetulkan letak tas di pundakku, menarik napas panjang, dan melangkah keluar dari kantor itu tanpa sedikit pun menoleh ke belakang.

1
Hendri Yani
Luar biasa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!