Arlena, gadis muda yang dipaksa menikah oleh keluarganya.
Arlena menolak dan keluarganya langsung mengusir Arlena
Arlena akhirnya memutuskan untuk meninggalkan rumah demi mencari arti kebebasan dan harga dirinya.
Dikhianati dan dibenci oleh orang tuanya serta dua kakak laki-lakinya, Arlena tak punya siapa pun... sampai takdir membawanya ke pelukan Aldric Hartanto — seorang CEO muda, sukses, dan dikenal berhati dingin.
Ketika Aldric menawarkan pekerjaan sebagai pelayan pribadinya, Arlena mengira hidupnya akan semakin sulit. Tapi siapa sangka, di balik sikap dingin dan ketegasannya, Aldric perlahan menunjukkan sisi yang berbeda — sisi yang membuat hati Arlena berdebar, dan juga... takut jatuh cinta.
Namun cinta tak pernah mudah. Rahasia masa lalu, luka yang belum sembuh, dan status yang berbeda menjadi tembok besar yang menghalangi mereka. Mampukah cinta menghangatkan hati yang membeku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Mobil melaju tenang menyusuri jalanan kota. Hening memenuhi ruang kabin, hanya suara lembut musik klasik dari radio yang terdengar samar.
Arlena menatap pemandangan di luar jendela.
Jemarinya menggenggam erat tepi dudukannya.
Banyak yang ingin ia katakan, tapi berat rasanya membuka suara. Sampai akhirnya, tanpa sadar ia mulai bicara pelan dan ragu.
“Aku... diusir dari rumah.”
Aldric tidak menoleh. Tapi ekor matanya sempat melirik sebentar, lalu kembali fokus ke jalan.
“Mereka... ingin aku menikah dengan pilihan keluarga. Lelaki kaya yang lebih tua tiga puluh tahun dariku. Katanya demi menyelamatkan bisnis kakak pertamaku yang hampir bangkrut.”
Suara Arlena gemetar. “Aku menolak. Aku pikir... setidaknya ayah atau ibu akan memihakku. Tapi tidak. Justru mereka semua marah. Katanya aku tidak tahu diri. Egois. Malu-maluin keluarga.”
Ia menarik napas dalam. “Mereka usir aku malam itu juga. Tanpa makanan, tanpa uang, hanya baju di badanku.”
Matanya berkaca-kaca, tapi ia paksa senyum.
“Lucu ya… keluarga sendiri bisa tega begitu. Padahal aku selalu patuh. Selalu membantu. Selalu berusaha jadi anak yang baik.”
Aldric tetap diam. Wajahnya sulit ditebak. Ia tidak menanggapi, tidak memberikan simpati lewat kata-kata. Tapi genggaman tangannya di setir sedikit mengencang.
Arlena menatapnya dari samping. “Maaf… aku terlalu banyak bicara.”
Aldric masih diam, tapi kali ini ia menoleh sebentar. Matanya tajam, tapi ada sesuatu di sana… seperti rasa marah yang ditahan.
“Jangan pernah minta maaf untuk kebenaran,” ucapnya singkat.
Arlena terdiam. Hatinya perlahan hangat meski ekspresinya dingin, tapi sikap Aldric seperti benteng pelindung yang kokoh.
Dan meski Aldric tak mengucapkan simpati atau pelukan… diamnya adalah bentuk kemarahan untuk apa yang telah dunia lakukan padanya.
Arlena berdiri terpaku di depan meja dapur, memandangi belanjaan yang tadi mereka bawa dari supermarket.
Berbagai makanan, buah, susu, dan kebutuhan lain tertata rapi dalam kantong-kantong besar. Jumlahnya jauh lebih banyak dari yang pernah ia miliki seumur hidupnya.
Tangannya gemetar saat ia mengeluarkan satu per satu isi kantong. Ia tak tahu harus mulai dari mana. Di rumah sebelumnya, ia tak pernah diberi kesempatan memilih makanan sendiri apalagi sebanyak ini.
Langkah kaki terdengar dari arah lorong.
“Jangan kau bereskan sendiri,” suara Aldric terdengar tegas namun tenang. “Aku sudah menyuruh orang membantumu.”
Arlena menoleh cepat. “T-tidak perlu, aku bisa—”
Aldric mengangkat tangan, menghentikan bantahan itu.
“Kau pelayan pribadiku, bukan pembantu rumah tangga. Ingat itu.”
Belum sempat Arlena menjawab, bel pintu apartemen berbunyi.
Seorang pria dan wanita berseragam hitam masuk dengan sopan setelah diberi izin.
Mereka langsung mulai membantu menyusun makanan ke lemari es, mengatur rak bumbu, dan menata buah di meja dapur seperti profesional.
Arlena hanya berdiri bingung, merasa tak berguna di tengah mereka.
Aldric menatapnya sejenak dari kejauhan, lalu berjalan mendekat.
“Kau akan mulai bekerja besok pagi. Hari ini, istirahat. Jangan buat dirimu jatuh sakit.”
Arlena mengangguk pelan. “Terima kasih... untuk semuanya.”
Aldric hanya mengangguk singkat, lalu kembali ke ruang kerjanya tanpa berkata lebih.
Dan untuk kesekian kalinya hari itu, Arlena menatap punggungnya sambil bergumam dalam hati—
“Dia pria paling dingin yang pernah kutemui… tapi kenapa dinginnya justru membuatku merasa aman?”
*****
Matahari pagi mengintip dari balik tirai ketika Arlena membuka matanya.
Ini hari pertamanya resmi bekerja sebagai pelayan pribadi Aldric.
Ia bangkit dengan cepat, mengenakan seragam yang kemarin diberikan, lalu berdiri di depan cermin menenangkan detak jantungnya yang gugup.
Setelah memastikan penampilannya rapi, ia melangkah ke kamar Aldric, membawa setelan jas, dasi, dan kemeja yang sudah ia siapkan sejak malam.
Ia meletakkannya di gantungan khusus di dekat pintu kamar pria itu, lalu berbalik menuju dapur.
Dengan tangan cekatan, ia mulai memasak sarapan. Telur orak-arik, roti panggang,dan secangkir kopi hitam seperti yang tertulis di catatan kecil dari salah satu asisten Aldric kemarin.
Wangi kopi memenuhi ruangan ketika langkah berat terdengar mendekat.
Aldric muncul di ambang pintu, rambutnya masih sedikit basah, hanya mengenakan kaus hitam dan celana training.
Matanya menatap meja makan yang sudah tersaji rapi.
“Pakaian kerja anda ada di tempat biasa,” ucap Arlena pelan, menunduk sopan.
Aldric hanya mengangguk, lalu duduk dan mulai menyentuh makanannya.
Arlena berdiri di dekat dapur, menunggu apakah akan ada komentar.
Tapi Aldric terus makan tanpa bicara, hingga akhirnya ia meletakkan sendok dan menatapnya sebentar.
“Kopinya pas. Tidak terlalu pahit.”
Itu saja.
Tapi bagi Arlena, kalimat itu lebih berarti daripada pujian panjang. Ia tersenyum kecil, menunduk dalam.
“Terima kasih.”
Hari itu, tugasnya resmi dimulai. Bukan sebagai orang yang dimanfaatkan, tapi sebagai seseorang yang diperlakukan dengan batas, aturan, dan—anehnya harga diri.
Setelah sarapan selesai, Arlena segera membereskan meja makan.
Gerakannya rapi dan cepat, memastikan semuanya bersih seperti yang ia pelajari dari kebiasaan keluarga dulu meski di sana semua hanya berujung tuntutan, bukan penghargaan.
Aldric keluar dari kamarnya sudah berpakaian rapi, setelan jas abu tua dan dasi perak yang ia pilihkan.
Ia tampak elegan seperti biasa, aura CEO nya begitu kuat hingga membuat Arlena gugup hanya dengan melihatnya.
“Jam sembilan aku ada rapat,” ucap Aldric sambil mengenakan jam tangan. “Pastikan mobil sudah disiapkan pukul delapan empat puluh lima.”
Arlena mengangguk cepat. “Baik.”
Ia mengikuti dari belakang, mencatat dalam hati detail kecil dari rutinitas pria itu.
Sepatunya harus dipoles bersih, dasinya disimpan di kotak khusus, dan jadwal paginya tidak boleh ada celah.
Saat Aldric berdiri di depan cermin ruang tengah, mengecek penampilannya, ia sempat menoleh pada Arlena.
“Kau tak perlu berdiri seperti patung. Duduk jika lelah,” katanya datar.
Arlena terkejut, lalu pelan-pelan duduk di ujung sofa.
“Saya hanya ingin melakukan pekerjaan saya dengan baik,” gumamnya pelan.
Aldric menatapnya sekilas, lalu mengambil jasnya dan melangkah menuju pintu.
Sebelum keluar, ia sempat berkata tanpa menoleh,
“Siapkan makan malam jam tujuh malam. Aku akan pulang terlambat.”
Pintu tertutup.
Dan Arlena terdiam di ruang tamu, napasnya pelan.
Hari pertamaku… berjalan tanpa teriakan, tanpa cacian. Hanya tugas, dan penghargaan atas pekerjaan sederhana.
Ia memandang sekeliling apartemen luas itu. Masih sulit baginya mempercayai semua ini nyata. Tapi dalam hatinya perlahan tumbuh satu hal:
Arlena baru saja mengambil sapu dari gudang kecil di dekat dapur.
Lantai ruang tengah memang sudah bersih, tapi ia ingin memastikan tak ada debu yang tertinggal.
Ia tahu betul bagaimana hidup dalam rumah yang selalu menuntut kesempurnaan.
Baru saja ia mulai menyapu sudut ruangan, ponselnya yang ia letakkan di meja dapur berdering pelan.
Nama pemanggilnya muncul di layar : Aldric.
Dengan cepat ia mengangkat, gugup. “Halo, Tuan—”
“Letakkan sapunya.”
Suara Aldric terdengar datar namun jelas dari seberang sana.
Arlena menoleh ke arah sapu di tangannya, lalu ke ponsel, bingung.
“Aku… hanya ingin—”
“Jangan lakukan tugas lain seperti menyapu, mencuci piring, atau bersih-bersih rumah,” potong Aldric tegas.
“Tugasmu hanya satu: melayaniku secara pribadi. Mulai dari pakaian, makanan, dan apapun yang berhubungan langsung denganku. Selebihnya, biar tim kebersihan yang urus.”
Arlena terdiam. Ia menggenggam gagang sapu lebih erat.
“Tapi… aku tidak ingin hanya diam dan—”
“Ini bukan soal keinginanmu,” ucap Aldric, lebih lembut tapi tetap tegas. “Ini soal posisimu. Jangan menganggap dirimu lebih rendah dari yang sudah kutetapkan.”
Lalu telepon ditutup begitu saja.
Arlena menatap ponsel itu beberapa saat, lalu menunduk perlahan, meletakkan sapu ke tempat semula.
Ia menarik napas panjang. “Melayaninya saja sudah lebih dari cukup, ya…” bisiknya lirih.
Tapi jauh di dalam hati, ada perasaan aneh yang tumbuh perasaan bahwa Aldric, dalam caranya yang dingin, sedang berusaha... menjaga harga dirinya.