NovelToon NovelToon
Mahar Nyawa Untuk Putri Elf

Mahar Nyawa Untuk Putri Elf

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Perperangan / Elf / Action / Budidaya dan Peningkatan / Cinta Murni
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: Tiga Alif

Dibuang ke neraka Red Line dengan martabat yang hancur, Kaelan—seorang budak manusia—berjuang melawan radiasi maut demi sebuah janji. Di atas awan, Putri Lyra menangis darah saat tulang-tulangnya retak akibat resonansi penderitaan sang kekasih. Dengan sumsum tulang yang bermutasi menjadi baja dan sapu tangan Azure yang mengeras jadi senjata, Kaelan menantang takdir. Akankah ia kembali sebagai pahlawan, atau sebagai monster yang akan meruntuhkan langit demi menagih mahar nyawanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Alif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 30: Invasi Naga Laut

Langit Solaria yang biasanya bertabur cahaya kristal kini menyerupai kanvas yang disiram tinta hitam pekat. Hujan tidak lagi membawa kesegaran, melainkan tetesan air laut hitam yang beraroma garam busuk dan energi kematian. Di bawah kaki Kaelan, lantai kaca Aula Dansa yang retak bergetar hebat saat suara raungan infrasonik bergema dari cakrawala, merobek gendang telinga siapa pun yang tidak memiliki pelindung mana.

"Mereka sudah menembus perisai terluar!" teriak Bara, suaranya nyaris tenggelam oleh deru angin badai. Ia menghantamkan perisai besarnya ke lantai, menciptakan gelombang kejut untuk mengusir kabut Void yang mulai masuk melalui jendela-jendela yang pecah.

Kaelan berdiri tegak di tengah kehancuran, meskipun darah dari luka punggungnya kini merembes hingga ke pinggang seragam ksatria peraknya. Ia menatap ke arah pelabuhan langit, di mana bayangan-bayangan raksasa bersisik mulai turun dari lubang dimensi di awan.

"Mina, bawa warga sipil ke ruang evakuasi di bawah kuil!" perintah Kaelan, matanya berpendar perak dengan intensitas yang lebih tajam dari sebelumnya. "Gunakan seluruh stok ramuan alkimia untuk menstabilkan syaraf mereka. Jika mereka panik, energi Void akan melahap mereka lebih cepat."

"Lalu bagaimana denganmu, Komandan?" Mina bertanya sambil merobek kain gaunnya untuk membalut luka seorang bangsawan Elf yang pingsan di dekatnya. "Kau baru saja mencapai evolusi paksa. Jika kau bertarung sekarang, meridianmu bisa meledak!"

"Duniaku sudah meledak sejak aku dibuang ke Garis Merah, Mina," sahut Kaelan dingin. Ia menghunus pedangnya, membiarkan energi Ignition menyelimuti bilah logam itu hingga menciptakan suara mendesis saat bertemu dengan udara yang terkontaminasi. "Sekarang, tugas kita adalah memastikan dunia ini tidak ikut terkubur."

Martabat yang Runtuh

Di balkon Gerbang Azure, High Lord Valerius tampak bersandar pada pilar kristal yang retak. Wajahnya yang dulu angkuh kini dipenuhi guratan keputusasaan. Batuk darah yang ia derita sejak mengakui kesalahannya dua hari lalu kini semakin parah. Ia melihat naga-naga laut itu mulai menghancurkan kapal-kapal pesiar mewah yang menjadi simbol kekayaan Solaria.

"Semuanya berakhir..." gumam Valerius, tangannya gemetar. "Hukum darah tidak bisa menahan tsunami ini."

"Maka berhentilah mengandalkan darah, Ayah," ucap Lyra yang muncul di sampingnya, dibimbing oleh seorang pelayan. Meski matanya masih terbebat sutra tipis, ia berdiri dengan punggung yang lebih tegak daripada ayahnya sendiri. "Kaelan sedang di bawah sana, memimpin pasukan manusia untuk melindungi rakyat kita. Apakah kau akan membiarkan martabat kita mati di kursi ini?"

"Lyra, kau tidak mengerti," Valerius menatap putrinya dengan sedih. "Pilar pelindung kota membutuhkan energi murni dari seorang penguasa untuk aktif kembali. Dan aku... aku sudah tidak memiliki apa pun lagi."

Lyra terdiam sejenak. Ia meraba dadanya, merasakan resonansi penderitaan yang meluap dari Kaelan. Ia bisa merasakan setiap denyut nyeri di punggung pria itu, setiap tetes keringat dingin, dan tekad yang tak tergoyahkan. Resonansi itu memberinya keberanian yang melampaui logika kaum Elf.

"Jika kau tidak bisa, maka aku yang akan melakukannya," tegas Lyra.

"Jangan bodoh! Kau kehilangan penglihatanmu karena Abyss!" bentak Valerius. "Jika kau memaksakan mana milikmu sekarang, sayapmu akan hancur. Kau akan menjadi Elf fana, Lyra! Kau akan kehilangan martabat kebangsawananmu selamanya!"

"Martabat kebangsawanan tidak menyelamatkan nyawa, Ayah," suara Lyra terdengar jernih di tengah badai. "Kaelan mengajariku bahwa martabat sejati adalah tetap berdiri saat semua orang memintamu untuk berlutut. Biarkan aku menjadi fana, selama Solaria tetap hidup."

Kaelan yang berada jauh di bawah, mendadak menghentikan langkahnya. Jantungnya berdenyut kencang, sebuah rasa dingin yang ekstrem mulai merayap di punggungnya—bukan dari lukanya, melainkan dari resonansi jiwa Lyra.

"Lyra? Apa yang kau lakukan?" bisik Kaelan, matanya beralih ke puncak pilar tertinggi di mana cahaya perak mulai berpendar menyakitkan.

Pengorbanan di Atas Awan

Di atas balkon, Lyra melepaskan jubah mewahnya. Sepasang sayap cahaya murni yang transparan dan indah muncul dari punggungnya, mengepak lemah namun penuh tekad. Ia mulai merapal mantra kuno yang hanya diketahui oleh garis keturunan Elviana, sebuah mantra yang menukar esensi kehidupan dengan perlindungan mutlak.

"Berhenti, Lyra!" teriak Kaelan, suaranya parau saat ia mulai berlari menuju arah pilar pusat, mengabaikan naga-naga kecil yang mencoba menghalanginya.

Cahaya putih mulai membakar sayap Lyra. Suara retakan halus terdengar, seolah-olah kristal paling mahal di dunia sedang dihancurkan. Lyra menjerit tertahan, namun tangannya tetap terangkat ke arah langit hitam. Tsunami air laut hitam yang tadinya akan menyapu pelabuhan, tiba-tiba tertahan oleh dinding cahaya yang muncul dari sisa-sisa energi sayapnya.

"Aku bisa merasakannya, Kaelan..." bisik Lyra dalam hati, air mata darah mengalir dari balik perbannya. "Rasa sakitmu, perjuanganmu... biarkan aku memikul sedikit beban ini untukmu."

Sayap itu perlahan meredup, kehilangan kilau abadi mereka, dan akhirnya rontok menjadi serpihan debu cahaya yang tertiup angin. Lyra jatuh berlutut, napasnya tersengal, dan tubuhnya kini tidak lagi memancarkan mana. Ia telah melepaskan keabadiannya demi memberi waktu bagi evakuasi.

Kaelan melihat semua itu melalui mata batin resonansinya. Rasa sesak luar biasa menghantam dadanya. Amarah yang dingin dan murni meledak dari dalam sumsum tulangnya. Energi perak Ignition yang tadinya tenang, kini berubah menjadi kobaran api putih yang menyelimuti seluruh tubuhnya, membentuk lapisan udara padat yang disebut Silent Shield.

"Cukup," geram Kaelan, suaranya bergetar dengan kekuatan yang membuat tanah di bawahnya retak. "Bara! Ambil alih komando evakuasi! Aku akan membantai makhluk-makhluk ini sebelum mereka menyentuh Gerbang Azure!"

"Komandan! Aura itu... kau mencapai Tahap 3?" Bara menatap Kaelan dengan takjub dan ngeri.

Kaelan tidak menjawab. Ia melompat tinggi, melesat ke arah Naga Laut raksasa yang sedang bersiap menyemburkan energi Void ke arah pilar tempat Lyra berada. Pedangnya terangkat, mengumpulkan seluruh resonansi penderitaan dan cinta yang ia rasakan, bersiap untuk memberikan balasan pada kegelapan yang mencoba merenggut segalanya.

Kaelan melesat di udara, membelah hujan air laut hitam seperti kilat perak yang murka. Di bawahnya, Solaria tampak seperti permata yang sedang tenggelam ke dalam lumpur. Saat ia mendekati Naga Laut raksasa yang bertengger di menara pelabuhan, energi Ignition Tahap 3 miliknya menciptakan efek Silent Shield yang begitu padat, hingga setiap tetes air Void yang menyentuh auranya langsung menguap dengan suara mendesis yang tajam.

"Kau merenggut sayapnya," geram Kaelan, suaranya terdengar seperti guntur yang tertahan. "Sekarang, aku akan merenggut eksistensimu."

Naga Laut itu meraung, menyemburkan gumpalan energi hitam yang mampu melelehkan baja. Namun, Kaelan tidak menghindar. Ia menerjang lurus menembus semburan itu, membiarkan kulitnya terbakar oleh suhu ekstrem demi mencapai leher sang monster. Pedangnya, yang kini terbalut cahaya putih pucat yang menyilaukan, menghujam dalam ke celah sisik Naga tersebut.

"Hancur!" teriak Kaelan sambil memutar pedangnya.

Ledakan energi perak terjadi di dalam tubuh Naga itu, merobek daging gelapnya dan memutus aliran mana Void yang menghidupinya. Makhluk raksasa itu menggelepar, jatuh menghantam dermaga dengan suara dentuman yang mengguncang seluruh benua langit. Di tengah debu dan puing, Kaelan berdiri dengan napas memburu, tangannya gemetar karena beban energi yang hampir melampaui kapasitas tubuh manusianya.

Genggaman Nadi yang Menyatu

Tanpa memedulikan Naga-Naga kecil yang masih berputar di angkasa, Kaelan berlari menuju puncak pilar Gerbang Azure. Di sana, Lyra tergeletak lemah di pelukan Valerius yang hanya bisa menangis dalam diam. Punggung Lyra, yang dulunya dihiasi sayap cahaya yang megah, kini tampak kosong dan polos—simbol dari martabat Elf yang telah ia korbankan.

"Lyra!" Kaelan jatuh berlutut di sampingnya, segera menarik tubuh wanita itu ke dalam dekapannya.

Lyra membuka matanya dengan susah payah. Perban sutranya telah lepas, menyingkap mata yang kini tampak pudar namun penuh dengan kedamaian. "Kaelan... kau kembali."

"Kenapa kau melakukannya?" Kaelan menggenggam tangan Lyra erat-erat, menempelkan pergelangan tangan wanita itu ke nadinya sendiri. "Kau membuang keabadianmu untuk kota yang bahkan tidak menghargaimu."

"Aku melakukannya bukan untuk kota ini," bisik Lyra, jemarinya yang dingin meraba rahang Kaelan yang mengeras. "Aku melakukannya agar kau tidak perlu bertarung sendirian. Rasakan ini, Kaelan... nadi kita. Selama mereka berdenyut bersama, tidak ada kegelapan yang benar-benar bisa menang."

Kaelan terdiam, merasakan denyut nadi Lyra yang lemah namun stabil menyatu dengan denyut nadinya yang kuat dan panas. Jangkar emosi ini, kehangatan kulit di tengah badai es, menjadi satu-satunya realitas yang ia pegang. Di saat itulah, Kaelan menyadari bahwa martabat bukanlah tentang sayap atau darah murni, melainkan tentang janji yang dijaga di ambang kehancuran.

"Valerius," Kaelan menoleh ke arah High Lord yang tampak hancur itu dengan tatapan tajam. "Evakuasi sudah siap. Kapal-kapal kargo terakhir milik manusia akan membawa rakyatmu ke Bastion. Solaria tidak bisa lagi dipertahankan."

"Meninggalkan Benua Langit?" Valerius bertanya dengan suara serak. "Pergi ke Terra yang kotor dan penuh debu itu?"

"Ke Terra, di mana rakyatmu akan belajar cara bertahan hidup seperti manusia," jawab Kaelan sambil berdiri, menggendong Lyra dalam dekapan protektifnya. "Atau kau bisa tetap di sini dan tenggelam bersama harga dirimu yang palsu."

Janji di Atas Ombak

Rombongan terakhir penyintas bergerak menuju pelabuhan di bawah perlindungan Silent Shield milik Kaelan. Bara dan Mina telah mengamankan kapal-kapal besar yang biasanya digunakan untuk mengangkut bijih kristal, kini penuh sesak dengan pengungsi Elf yang ketakutan.

Saat kapal pertama mulai lepas landas menuju Benua Rendah, Kaelan berdiri di buritan, menatap Solaria yang perlahan ditelan oleh tsunami air laut hitam. Menara-menara kristal yang indah itu satu per satu runtuh, tenggelam ke dalam pelukan Void yang tak berdasar.

"Duniaku yang lama benar-benar telah hilang," Lyra bergumam, kepalanya bersandar di dada Kaelan.

"Dunia itu memang harus hilang, Lyra," sahut Kaelan, matanya menatap tajam ke arah cakrawala Terra yang mulai terlihat di bawah lapisan awan. "Kita akan membangun dunia baru. Dunia di mana kau tidak perlu sayap untuk terbang tinggi, dan aku tidak perlu belenggu untuk membuktikan kekuatanku."

Kaelan merasakan pendar Ignition Tahap 3 di dalam dirinya mulai mereda, namun ia tahu ini hanyalah awal. Keberhasilan evakuasi ini menandai berakhirnya masa pelariannya sebagai underdog. Sekarang, dengan seluruh rakyat yang tersisa bergantung padanya, ia bukan lagi sekadar ksatria yang difitnah. Ia adalah Komandan bagi mereka yang kehilangan rumah.

Kapal itu berguncang saat menembus lapisan awan bawah. Di kejauhan, lampu-lampu Bastion yang redup dan bersahaja tampak melambai, menyambut mereka dengan aroma debu dan besi. Kaelan mengeratkan pelukannya pada Lyra, menyadari bahwa perjalanan mereka menuju puncak kedaulatan baru saja dimulai di atas tanah yang paling hina.

1
prameswari azka salsabil
ok sip kalau begitu
prameswari azka salsabil
bagus kaelan
prameswari azka salsabil
kaelan semakin kuat💪👍
prameswari azka salsabil
dataran tinggi?
prameswari azka salsabil
lasihan lyrs🤣🤣
prameswari azka salsabil
baguslah kalau begitu👍
prameswari azka salsabil
awal keseruan
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
prameswari azka salsabil
sungguh pengertian
prameswari azka salsabil
kasihan sekali kaelan
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
prameswari azka salsabil
luar biasa
Kartika Candrabuwana: jos pokoknya👍
total 1 replies
prameswari azka salsabil
ujian ilusi
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
prameswari azka salsabil
sesuai namanya
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
prameswari azka salsabil
syukurlah kaelan meningkat
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
prameswari azka salsabil
ada petubahan tradisi?
Kartika Candrabuwana: pergerseran nilai
total 1 replies
prameswari azka salsabil
kaelan bertahanlah
Kartika Candrabuwana: ok. makasih
total 1 replies
prameswari azka salsabil
bertarung dengan bayangan🤣
Indriyati
iya. untuk kehiduoan yang lebih baik
Kartika Candrabuwana: betul sekali
total 1 replies
Indriyati
ayo kaelan tetap semanhat😍
Kartika Candrabuwana: iya. nakasih
total 1 replies
Indriyati
bagus kaelan semakinnkuat👍😍
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
Indriyati
iya..lyra berpikir positif dan yakin👍💪
Kartika Candrabuwana: betul
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!