NovelToon NovelToon
Luka Yang Mengajarkan Pulang

Luka Yang Mengajarkan Pulang

Status: sedang berlangsung
Genre:Cerai / Penyesalan Suami
Popularitas:910
Nilai: 5
Nama Author: RARESKA

Novel ini menceritakan tentang perjalanan seorang anak perempuan sulung yang baru menikah karena perjodohan. Ketika ia baru saja merasakan masa awal pernikahan tiba-tiba ia dihantam badai besar. Perceraian kedua orang tuanya setelah 30 tahun bersama, kematian keponakan yang baru 8 bulan dalam kandungan, serta pernikahan kembali Ibunya hanya 7 bulan setelah perceraian. Di tengah luka, ia berusaha membangun rumah tangganya sendiri yang masih rapuh. Hingga akhirnya, di usia 2 tahun pernikahannya, ia diberi rezeki yaitu kehamilan yang mengubah seluruh cara pandangnya tentang keluarga,takdir dan kesembuhan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RARESKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Rumah Kontrakan Kecil

Aku masih ingat jelas hari itu hari ketika kami resmi memindahkan sisa hidup kami ke sebuah rumah kontrakan kecil di pinggir kota. Tidak besar. Bahkan jauh dari kata layak jika dibandingkan dengan rumah orang tuaku dulu. Tapi entah kenapa, langkah kakiku terasa lebih ringan saat memasuki halaman sempit yang hanya cukup untuk satu motor dan sepetak pot bunga plastik yang warnanya mulai pudar.

Atap sengnya sedikit berkarat. Dindingnya belum sepenuhnya dicat rapi. Pintu depannya terbuat dari kayu tipis, yang akan berbunyi nyaring jika tertiup angin kencang. Namun di sanalah aku berdiri, menggenggam kunci kecil berwarna perak kunci kehidupan baru kami.

“Ini rumah kita sekarang,” ucap suamiku pelan.

Aku menoleh padanya. Wajahnya tak sepenuhnya datar seperti dulu. Ada sesuatu di sorot matanya hari itu—bukan hangat sepenuhnya, tapi juga tak sedingin sebelumnya. Seperti seseorang yang sedang belajar merasakan hal baru, tapi belum tahu harus menamainya apa.

Aku mengangguk pelan.

“Iya… rumah kita.”

Kata kita terasa asing di lidahku. Selama ini, pernikahan kami memang lebih banyak diisi oleh jarak yang halus tapi nyata. Kami hidup berdampingan, tapi jarang benar-benar beriringan. Namun rumah ini meskipun kecil entah kenapa memberiku perasaan berbeda. Seolah ada lembar baru yang sedang dibuka, perlahan tapi pasti.

Kami masuk bersama. Lantainya masih dingin, sedikit berdebu. Ruang tamunya sempit, hanya cukup untuk satu sofa kecil dan meja rendah. Di sisi kiri ada satu pintu menuju kamar. Di kanan, dapur mungil yang hampir menyatu dengan ruang makan.

“Maaf… belum banyak yang bisa aku sediakan,” katanya pelan, seolah menimbang setiap kata.

Aku menoleh cepat. Ada rasa canggung di wajahnya. Untuk pertama kalinya sejak menikah, dia terlihat tidak percaya diri di hadapanku.

“Aku nggak butuh rumah besar,” jawabku pelan. “Aku cuma mau rumah yang tenang.”

Kalimat itu meluncur begitu saja, tanpa aku rencanakan. Dan entah mengapa, dia terdiam cukup lama setelahnya.

Kami mulai menurunkan barang sedikit demi sedikit. Kardus-kardus berisi pakaian, buku, peralatan dapur sederhana. Tidak banyak memang, karena sejak awal aku sudah menyiapkan diriku untuk hidup yang lebih sederhana. Hidup yang tak penuh tuntutan, tak penuh sorot mata orang lain, tak penuh ekspektasi keluarga.

Aku menyapu lantai sementara dia merakit rak kecil di sudut ruang tamu. Tak ada percakapan berarti. Hanya suara gesekan sapu, bunyi paku, dan sesekali desahan napas lelah. Anehnya, suasana itu tidak terasa canggung. Justru tenang. Hening yang tidak menekan.

Saat matahari mulai condong ke barat, cahaya jingga masuk melalui jendela kecil di dapur. Aku berhenti menyapu sejenak, memandangi sinarnya yang jatuh tepat di lantai. Hangat. Lembut. Seperti harapan kecil yang diam-diam diselipkan Tuhan di sela hidupku yang penuh luka.

“Aku bikinin teh,” kataku.

Dia menoleh, sedikit terkejut.

“Oh… iya.”

Aku menyiapkan dua gelas dari rak kayu yang baru saja kami pasang. Teh celup murah, gula dua sendok, air panas mendidih. Tidak istimewa. Tapi saat kami duduk berhadapan di lantai, menyandarkan punggung ke dinding, rasanya seperti pertama kali kami benar-benar berada dalam satu ruang yang sama bukan sebagai dua orang asing yang dipaksa bersama, tapi sebagai dua manusia yang sama-sama lelah.

“Kamu capek?” tanyanya tiba-tiba.

Aku tersenyum kecil.

“Capek itu pasti. Tapi yang lebih capek itu… hati.”

Dia terdiam. Aku bisa melihat jelas dia menunduk, menatap permukaan teh yang masih mengepul. Tak ada tanggapan. Tapi aku tahu, kata-kataku sampai.

Malam itu, kami tidur di kasur tipis yang diletakkan langsung di lantai. Tanpa ranjang. Tanpa lemari besar. Hanya kipas angin kecil yang berderit pelan di sudut kamar. Aku memandang langit-langit yang bernoda lembap, lalu menghela napas panjang.

Di luar, suara motor sesekali lewat. Jauh dari keramaian kota. Jauh dari rumah orang tuaku yang penuh kenangan pahit. Jauh dari semua pertengkaran, air mata, dan sidang yang merobek keluargaku sedikit demi sedikit.

Dan untuk pertama kalinya sejak sekian lama, aku tidur tanpa tangis tertahan di dada.

Rumah ini kecil. Tapi mungkin… dari tempat sekecil inilah sesuatu yang besar pelan-pelan akan tumbuh.

Dan aku tidak tahu saat itu bahwa salah satunya adalah perasaan yang selama ini kupikir tak akan pernah hadir di antara kami.

Pagi datang dengan cara yang sederhana di rumah kontrakan itu. Cahaya matahari masuk dari sela jendela kecil, menyelinap pelan di antara tirai tipis berwarna krem yang mulai menguning. Angin membawa suara pedagang sayur yang lewat di depan gang, memecah sunyi yang selama ini selalu menemani tidur kami.

Aku terbangun lebih dulu.

Sejenak aku lupa di mana aku berada. Bukan di kamar lamaku di rumah orang tua, bukan pula di rumah besar yang penuh luka itu. Aku mengedarkan pandang ke sekeliling, melihat dinding yang masih polos, kipas angin kecil yang berputar pelan, dan tubuh suamiku yang masih terlelap di sebelahku.

Rumah kecil ini.

Aku bangkit perlahan, takut membangunkannya. Kakiku melangkah ke arah dapur mungil. Aku mencuci muka, menyingsingkan lengan baju, lalu mulai memasak dengan bahan seadanya. Hanya nasi, telur, dan sedikit sayur yang kubeli semalam dari warung depan gang.

Bunyi wajan beradu pelan dengan spatula. Aroma telur goreng mulai memenuhi ruangan sempit itu. Ada rasa asing di dadaku rasa yang lama tak singgah: rasa sedang menunggu seseorang untuk bangun.

Tak lama kemudian, langkah kaki terdengar dari arah kamar.

“Kamu sudah bangun?” suaranya sedikit serak karena baru bangun tidur.

“Iya,” jawabku sambil membalik telur. “Aku masak seadanya.”

Dia berdiri di ambang pintu dapur, masih memakai kaus polos dan celana rumah. Rambutnya sedikit acak-acakan. Untuk pertama kalinya aku melihatnya dalam keadaan yang begitu… manusiawi. Bukan sebagai suami dari perjodohan. Bukan sebagai lelaki penuh jarak. Tapi sebagai seseorang yang baru bangun tidur di pagi hari yang biasa.

“Kamu nggak perlu repot,” katanya.

Aku tersenyum kecil tanpa menoleh.

“Kalau nggak repot, berarti bukan aku.”

Suasana hening sesaat, lalu terdengar helaan napasnya yang tipis. Bukan napas kesal. Lebih seperti napas yang sedang menahan sesuatu di dalam dada.

Kami makan berhadapan di lantai. Piring kecil, gelas plastik, sendok yang sudah sedikit bengkok. Sesekali ia mencuri pandang ke arahku, lalu pura-pura menatap nasi di piringnya lagi.

“Makanannya simple…” katanya pelan.

“Tapi hangat,” sahutku.

Dia mengangguk pelan. Tak ada komentar lagi. Namun aku melihat, piringnya habis tanpa sisa.

Hari-hari berikutnya berjalan dengan pola baru. Aku mulai membereskan rumah kecil itu setiap pagi. Menyapu lantai, mencuci piring, menata barang agar tak terasa terlalu sempit. Ia pergi bekerja seperti biasa, pulang sore dengan wajah lelah yang selalu berusaha ia sembunyikan dariku.

Suatu sore, hujan turun tiba-tiba. Atap seng berderik dipukul tetes air. Aku duduk di ruang tamu sempit sambil melipat pakaian. Tak lama kemudian, pintu terbuka.

Dia masuk dengan baju sedikit basah.

“Hujan deras,” katanya singkat.

“Iya… aku dengar dari dalam,” jawabku sambil bangkit. Aku mengambil handuk kecil, lalu menyerahkannya tanpa banyak bicara.

Dia sedikit terdiam saat menerima handuk itu.

“Makasih.”

Kata sederhana itu entah kenapa terasa jauh lebih dalam dari sebelumnya.

Malam itu, listrik sempat padam. Kami duduk di ruang tamu hanya dengan penerangan dari lilin kecil. Bayangan kami bergoyang di dinding, memanjang dan memendek mengikuti nyala api.

“Kamu kangen rumah orang tuamu?” tanyanya tiba-tiba.

Pertanyaan itu datang tanpa aba-aba. Aku terdiam cukup lama sebelum menjawab.

“Kangen… tapi lebih banyak takutnya.”

Dia terdiam.

“Aku juga,” katanya pelan. “Aku sebenarnya takut… tapi nggak tahu harus bilang ke siapa.”

Aku menoleh. Untuk pertama kalinya, dia tidak menyembunyikan itu dariku. Ada kelelahan yang sangat jujur di wajahnya.

Malam itu, kami tidak bicara banyak lagi. Tapi jarak di antara kami terasa… berkurang satu langkah.

Hari demi hari berlalu. Rumah kecil itu mulai terasa hidup. Ada tawa kecil yang kadang terselip saat kami berebut remote TV. Ada adu diam yang berakhir dengan aku menyuguhkan teh tanpa diminta. Ada kebiasaan-kebiasaan kecil yang mulai tumbuh tanpa kami sadari.

Aku mulai mengenali caranya meletakkan sepatu. Ia mulai hafal bagaimana aku menyukai nasi agak kering. Hal-hal sepele itu pelan-pelan merajut benang yang selama ini putus.

Suatu malam, saat kami duduk berdampingan di depan televisi, ia berkata pelan,

“Mungkin… rumah ini kecil. Tapi aku merasa… di sini aku bisa bernapas.”

Dadaku memanas.

“Aku juga.”

Kami tidak saling menatap. Tapi untuk pertama kalinya, kata-kata itu terasa benar-benar sampai.

Dan tanpa aku sadari, rumah kontrakan kecil ini bukan lagi sekadar tempat singgah. Ia mulai menjadi tempat pulang. Tempat luka-luka belajar pelan-pelan dijahit kembali. Tempat dua orang asing yang terikat perjodohan mulai belajar menjadi pasangan sungguhan.

Bukan karena takdir yang tiba-tiba menjadi indah. Tapi karena kami akhirnya mau saling bertahan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!