Hidup Jema berubah sejak ayahnya menikah lagi saat ia kelas 6 SD. Sejak itu, ia tinggal bersama ibu tiri yang semena-mena dan semuanya makin memburuk ketika ayahnya meninggal.
Saat SMA, ibu tirinya menikah dengan seorang duda kaya raya yang punya tiga putra tampan. Jema berharap hidupnya membaik… sampai ia melihat salah satu dari mereka: Nathan.
Musuh bebuyutannya di sekolah.
Cowok arogan yang selalu membuat hidupnya kacau.
Dan sekarang, jadi saudara tirinya.
Tinggal serumah membuat semuanya jadi lebih rumit. Pertengkaran mereka semakin intens, tetapi begitu pula perhatian-perhatian kecil yang muncul tanpa sengaja.
Di antara benci, cemburu, dan konflik keluarga perasaan lain tumbuh.
Perasaan yang tidak seharusnya ada.
Perasaan yang justru membuat Jema sulit bernapas setiap kali Nathan menatapnya lebih lama daripada seharusnya.
Jema tahu ini salah.
Nathan tahu ini berbahaya.
Tapi hati tetap memilh bahkan ketika logika menolak.
Karena siapa sangka, musuh bisa menjadi cinta pertama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Izzmi yuwandira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masih utuh
Nathan menunggu Bik Diah menyiapkan makanan untuknya. Ia duduk di ranjang, kakinya menjuntai, matanya sesekali melirik ke arah rantang.
“Berarti Bibik bohong ya sama aku…” gumamnya.
“Bohong opo toh?” sahut Bik Diah sambil menuangkan sup ke mangkuk.
“Katanya ini buat perempuan itu,” lanjut Nathan. “Ternyata khusus buat aku.”
Bik Diah hanya tersenyum kecil. Ia mendorong mangkuk ke arah Nathan. Uap hangat mengepul, aroma sup ayam memenuhi kamar. Nathan langsung menyendoknya.
“Nikmat…” gumamnya puas.
Ia makan dengan lahap, terlalu cepat bahkan.
“Pelan-pelan makannya,” tegur Bik Diah. “Ga ada yang minta.”
Nathan nyengir sambil tetap menyendok.
Saat mereka tengah bercanda, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu yang tidak sabaran. Sebelum Bik Diah sempat membuka, pintu sudah didorong dari luar.
Tian dan Raka langsung masuk.
“NATHAN!” teriak Tian histeris.
Nathan terlonjak kaget, sendoknya hampir jatuh.
“Kenapa keadaan lo jadi kayak gini sih…” lanjut Tian dengan wajah penuh kepanikan palsu.
“Lo kenapa sih anjir?” gerutu Nathan. “Ga ngenakin orang makan tau ga?”
“Ya Tuhan…” Tian menatap mangkuk di tangan Nathan. “Bahkan sekarang lo ga bisa nelan bubur ini…”
Nathan melotot.
“Ini sup ayam, bukan bubur, dongo. Lo buta?”
“ASTAGA!” Tian menepuk dada. “Sekarang mata lo udah ga bisa lihat lagi, Than??”
Nathan menahan diri supaya tidak melempar sendok.
Di luar kamar, Pamela mendengar semua percakapan itu. Tangannya meremas jemarinya sendiri.
Apa separah itu? batinnya.
“Aduh gimana ini?? Gue takut"
“Gue ga sanggup lihat Nathan kayak gitu,” lanjut Pamela, suaranya gemetar.
“Gue balik aja…”
Pamela hendak berbalik ketika suara Tian dan Raka terdengar dari dalam.
“Pamela?” teriak Tian. “Kenapa lo ga masuk?”
Pamela refleks menjawab, “Gue tiba-tiba ada urusan, Tian…”
Belum sempat ia melangkah, Tian menarik lengannya. Bersamaan dengan itu, Jema dan Jesika yang baru datang ikut mendorong Pamela masuk ke dalam kamar.
“Aduh—”
Pamela menutup matanya dan berteriak histeris.
“AAAAAA—”
Jema dan Jesika langsung menutup mulut Pamela.
“Gue mau pulang, please…” rengeknya.
Nathan akhirnya menghentikan makannya. Ia benar-benar muak melihat tingkah teman-temannya.
“Gue ga bisa ketemu Nathan sekarang…” gumam Pamela ketakutan.
“Lo udah sampai sini,” kata Raka. “Masa mau pulang sih?”
“Ya ampun, Nathan…” Tian kembali bersuara dramatis. “Gue ga tega lihat lo kayak gitu.”
Sementara itu, Nathan melanjutkan makannya dengan santai dan menyendok supnya.
Raka malah duduk di samping Nathan, ikut menyendok dari mangkuk lain.
“Sup lo enak juga,” komentar Raka.
Nathan menoleh. “Makan aja sekalian ranjang gue juga lo dudukin, sekalian nginep.”
“Gue mau pulang, lepasin gue…” rengek Pamela panik.
“Lo berisik banget sih?” omel Nathan dingin.
Pamela langsung terdiam. Matanya masih terpejam rapat, napasnya naik turun.
“Kalian ngapain sih?” lanjut Nathan. “Gue lagi istirahat.”
Perlahan, Pamela membuka matanya.
Dan seketika itu juga ia membeku.
Nathan duduk bersila santai di atas ranjang. Wajahnya utuh, hidungnya masih mancung, rahangnya tegas, bahkan terlihat… terlalu tampan untuk ukuran orang yang katanya cacat parah. Tidak ada selang, tidak ada perban aneh, tidak ada wajah bonyok. Kaki kanannya memang sedikit dibebat, tapi jelas—bukan kaki orang yang mau diamputasi.
“Baby…?” suara Pamela melemah.
“Kamu… gapapa?”
Pamela langsung menghampiri Nathan, tangannya refleks menyentuh wajah pria itu, memastikan dengan jari-jarinya sendiri.
Nathan menepis pelan.
“Lo ngapain sih? Gue lagi makan.”
Bik Diah yang berdiri di dekat meja hanya terkekeh, geleng-geleng kepala melihat kelakuan anak-anak itu.
“Lo bohongin gue berarti?!” Pamela berteriak sambil menoleh ke arah Tian.
“Dasar lo ya!”
Pamela langsung memukuli Tian tanpa ampun. Tian berteriak sambil tertawa dan berlari mengitari kamar, Pamela mengejarnya dengan emosi campur malu.
“LO JAHAT!”
“HAHAHA—sabar Mel, ini demi hiburan!”
Nathan sama sekali tidak peduli. Ia tetap menyendok supnya dengan tenang. Raka justru duduk di sampingnya dan ikut makan.
“Bik, mau lagi ayamnya,” kata Raka santai.
Nathan langsung melotot.
“Ini punya gue, kok jadi lo yang makan?”
“Enak, Than,” jawab Raka tanpa dosa.
Jesika dan Pamela hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan dua manusia aneh itu.
Bik Diah mendekat ke Jema sambil tersenyum lembut.
“Nak Jema, kalau mau pulang bareng Bibik ya…”
“Iya, Bik,” jawab Jema pelan.
Pamela berhenti mengejar Tian. Ia kembali menatap Nathan—kali ini dengan perasaan campur aduk. Malu, kesal, lega… dan sedikit gemetar.
Nathan tidak kehilangan apapun.
Masih utuh.
Dan masih menyebalkan seperti biasa.
Namun begitu mendengar Bik Diah mengajak Jema pulang bareng, Pamela langsung merasa ada yang janggal. Ia tahu betul—Bik Diah adalah asisten di rumah Nathan. Otaknya langsung bekerja, curiga.
“Kok Bibik pulang bareng Jema?” tanya Pamela, dahi berkerut. “Kenapa?”
Tian terkekeh kecil.
“Lo nggak tau?”
Pamela menggeleng pelan.
Tian makin geli sendiri. Berita sepenting itu sudah beredar ke mana-mana, tapi Pamela justru ketinggalan.
“Jema sama Nathan sekarang satu rumah,” ucap Raka santai sambil meneguk kuah sup.
Nathan menatap Raka dengan sorot tajam, sendoknya berhenti di udara.
“Hah? Satu rumah?” Pamela membelalak. “Maksud lo apa?”
Jema menunduk, memilih diam. Tangannya saling meremas, jelas tidak nyaman dengan topik itu.
“Mending lo semua pulang,” kata Nathan ketus. “Gue mau istirahat.”
“Jawab dulu!” Pamela mendesak. “Kenapa kamu satu rumah sama Jema? Kenapa?”
“Itu Raka asal ngomong,” potong Nathan cepat.
Raka langsung menggaruk kepalanya canggung.
“Eh… iya, iya… gue cuma ngawur, ga usah Lo anggap serius.”
Melihat situasi makin nggak enak, Tian berdiri.
“Oke, mending kita keluar semua. Nathan emang perlu istirahat.”
Jema, Jesika, dan Bik Diah pun beranjak keluar lebih dulu. Sebelum Jema melangkah pergi, Nathan bersuara pelan tapi tegas.
“Jem… titip Bik Diah.”
Jema menoleh sebentar, lalu mengangguk kecil.
Mereka bertiga keluar dari ruangan. Tak lama kemudian, Tian dan Raka ikut menarik Pamela untuk keluar juga, meski Pamela masih menoleh ke belakang, pikirannya penuh tanda tanya.
Pintu kamar tertutup.
Nathan menghela napas panjang, akhirnya kamar itu kembali sunyi—namun pikirannya justru semakin ramai.