"Kehilangan terbesar adalah kehilangan yang terjadi lagi setelah kehilangan yang sebelumnya. Karena itu menandakan kita selalu kehilangan lagi, lagi dan lagi."
Season : I ....
જ⁀➴୨ৎ જ⁀➴
“Kamu udah nyerah satu tahun yang lalu!” gertak Ernest.
“Itu dulu, sekarang beda!” Kakiku pun mengetuk lantai, dan kami berdiri saling berhadapan.
“Terserah! Aku enggak mau harga diriku kamu injak-injak!”
“Kamu masih sayang sama aku kan, Ernest?”
Dia enggak berkedip sedikitpun. “Tandatangani aja suratnya, Lavinia!!!”
“Gimana kalau kita buat kesepakatan?”
“Enggak ada kesepakatan. Tandatangani!!”
“Mama kasih aku dua bulan di sini. Aku janji, dua bulan lagi ... apa pun yang terjadi ... mau ingatan aku pulih atau enggak ... kalau kamu masih pingin cerai, aku bakal tandatangani! Tapi please ba—”
“Udah, lah!! Aku jemput kamu jam sembilan, Sabtu pagi!” dengusnya sambil membanting pintu.
Aku ambil surat cerai itu, lalu membuangnya ke tempat sampah.
Aku enggak akan tanda tangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
I. Java Jamboree
...୨ৎ L A V I N I A જ⁀➴...
Aku keluar ke halaman depan untuk menelepon Mama, sambil berharap pemandangan indah yang ada di depan mataku ini bisa membantuku untuk tetap tenang saat aku bilang ke Mama kalau aku balikan lagi sama Ernest.
Aku, sih enggak suka kalau semua orang ikut campur urusanku, tapi yang pasti, rahasia ini enggak bakal bertahan lama. Kalau sampai Mama mendengarnya dari orang lain, bisa-bisa dia marah besar.
Dia angkat di dering ketiga. Itu tandanya dia lagi sibuk. Biasanya, sih Mama langsung angkat dalam sekali dering, kadang setengah dering saja sudah diangkatnya, karena dia sebegitu over-nya sama aku.
“Lavinia?” jawabnya, seperti menyangka orang lain yang menelepon dari HP-ku.
“Hey, Ma.”
“Kamu gimana? Udah ingat-ingat lagi?”
Aku diam sebentar, “Aku ingat pernikahanku.”
“Bagus,” jawabnya datar banget.
“Iya … dan ada berita lain juga.”
“Oh?”
Nada dia itu sok enggak peduli. Seolah-olah enggak mau dengar kabar dariku. Tapi aku sudah cukup hafal dengan gaya dia dari dulu. Sikap acuhnya malah bikin aku makin kesal.
“Aku balikan lagi sama Ernest.”
"...."
Hening.
“Ma?”
“Mama dengar,” katanya.
Aku tarik napas panjang sambil melihat pohon-pohon dan pegunungan di depan. Berharap bisa menemukan ketenangan. “Kita mutusin buat jalanin ini sama-sama, walaupun memoriku belum balik sepenuhnya.”
“Hmm.”
“Ma ... bisa enggak, sih ngomong yang benar dikit?” Aku sampai memutar mata. Kelakuan Mama benar-benar kayak anak kecil.
Butuh satu menit baru dia menjawab. “Terus kalau nanti ingatan kamu balik dan kamu ingat kenapa dulu ninggalin dia, kamu bakal ngapain? Kabur lagi?”
“Enggak.” Aku geleng-geleng kepala, “Aku bakal tetap di sini. Apa pun alasannya dulu, itu udah terjadi. sekarang kita sepakat buat jujur satu sama lain. Kalau pun nanti ada masalah, kita bakal selesain bareng.”
“Gimana kamu tahu itu enggak bakal jadi masalah besar buat kamu nantinya?”
Aku mau jawab, tapi sempat bengong, “Kayaknya Mama udah tahu, deh alasannya.”
Dia tertawa kecil. “Gimana Mama bisa tahu, Lavinia? Kamu aja enggak pernah cerita apa-apa. Mama cuma ngingatin, ya ... kamu dulu punya alasan buat ninggalin dia, dan bisa aja itu kejadian lagi.” Suara Mama mulai naik.
“Kita saling cinta, Ma!”
“Ya ampun, Lavinia!”
Kita diam lama banget. Aku menahan diri biar enggak bicara kasar. Aku ingin semua berbeda kali ini.
“Ya udah, lah. Semoga sukses. Semoga benaran berhasil.”
“Kayaknya Mama emang enggak pernah peduli, deh.”
“Kamu mau Mama bilang apa? Ini, nih alasan kenapa Mama enggak pingin kamu balik ke Palomino. Mereka tuh gampang banget racunin otak kamu, dan tahu-tahu kamu udah dibikin mabuk kayak gini sama keluarga Sastrowardoyo!” teriaknya.
Burung-burung beterbangan dari pohon di dekatku. Dan jujur, aku ingin bisa ikut terbang bersama mereka juga.
“Mereka semua sayang sama aku. Dan oh, iya … aku ninggalin kalung di Jogja enggak, ya?” Aku pegang leherku yang kosong. Sampai sekarang kalung itu belum ketemu, tapi aku yakin pasti ada di suatu tempat.
“Kalung? Enggak.”
“Terus ... buku diary aku? Mama nemuin, enggak?”
Aku yakin banget, enggak mungkin aku menghancurkan itu. Enggak mungkin aku menyakiti Ernest sampai sebegitunya, menghancurkan benda warisan dari almarhum Mamanya.
“Enggak ada, Lavinia. Kamu dari dulu enggak pernah terbuka sama Mama.”
Aku sampai menggenggam HP kuat-kuat. “Mama yang bikin Lavinia ngerasa kayak gini. Mama juga enggak pernah datang ke pernikahan kita.”
“Mama enggak setuju kamu nikah sama keluarga itu!”
“Ma .…” Aku mengelus dada. “Mama enggak ngerti, ya? Keluarga Sastrowardoyo itu baik. Emangnya mereka pernah ngelakuin apa , sih ke Mama sampai Mama benci banget gitu?”
"...."
Sunyi lagi.
Aku sampai memutar mata.
“Papamu di sini,” katanya.
“Lavinia ....” Suara Papa masuk. “Kamu tahu, kan pendapat Mamamu soal ini. Dan itu enggak akan bisa berubah.”
“Mungkin udah waktunya buat berubah. Mungkin kalian harus coba buat mengenali orang dulu sebelum nge-judge orang itu.”
“Jangan kurang ajar Lavinia!” tegas Papa mulai serius. “Mamamu tuh udah jungkir balik ngurus kamu tiga bulan terakhir. Terus kamu malah tinggalin dia dan balik ke sana, ke orang-orang itu, padahal Mama hampir kehilangan kerjaannya demi rawat kamu, ngerti? Satu hal lagi, Lavinia! Kamu beruntung berhasil lepas dari keluarga itu. Dan sekarang, jangan pernah lagi balik ke keluarga berengsek itu! Ingat baik-baik!”
Aku telan rasa bersalah karena ada yang harus mengorbankan hidupnya gara-gara aku. “Lavinia minta maaf soal itu. Tapi Lavinia cinta sama Ernest. Dia suami aku. Titik.”
“Laviniaaaaa!!!! Jangan mulai cari perkara lagi, deh!” Mama menyambar lagi.
Aku tekan tombol 'Akhiri Panggilan’ dan ayunkan tangan buat melempar HP jauh-jauh ke hutan, tapi jari-jariku malah menahannya. Aku tarik HP itu kembali, terus teriak sekencang-kencangnya sampai menggema ke seluruh hutan.
Aku tarik napas dan bilang ke diri sendiri, “Tenang, Lavinia ... Saatnya ubah energi ini jadi sesuatu yang lebih baik.”
Orang tuaku enggak mengerti apa-apa. Tapi mereka pintar banget judge. Dan aku sempat ragu, soalnya sekarang aku berpikir, bagaimana kalau semuanya terjadi lagi?
Enggak.
Aku merasa kalau tempat ini memang ditakdirkan buat aku.
...જ⁀➴୨ৎ જ⁀➴...
Sorenya, aku pesan Grabcar ke pusat kota. Cepat atau lambat aku harus punya mobil sendiri, sih. Soalnya mengambil SUV aku di Jogja, sekarang jelas bukan pilihan terbaik. Lagi pula, aku ingin mulai lagi dari nol. Aku enggak mau kalau nanti Ernest melihatku menyetir mobil itu terus teringat dengan aku yang dulu.
Grabnya menurunkanku di alun-alun kota, dan mataku langsung menemukan caffe, Java Jamboree.
Sebenarnya, aku sudah lama ingin mampir ke sini, bertemu Rerre juga. Aku teringat dia saat minggu lalu ketika enggak sengaja melihat Ernest sedang minum kopi di situ, dan sekilas bayangan Rerre dan tokonya muncul lagi di kepalaku.
Aku pun masuk ke sana untuk mencoba beberapa jenis kopi.
“Lavinia!” serunya saat aku membuka pintu. Dia langsung meninggalkan pelanggan yang sedang dia layani, lari mengelilingi meja kasir dan kasih aku pelukan paling hangat.
“Hei.” Aku balas pelukannya.
Bagaimana bisa Papa-Mamaku enggak cinta sama kota ini?
Rerre mundur sedikit, tangannya masih di lenganku. “Kamu kudu dijewer deh, baru mampir sekarang!”
“Maaf ya. Benaran, aku lagi sibuk banget akhir-akhir ini. Dan aku enggak punya mobil, jadi ya aku jarang keluar.”
“Ya, udah yang penting kamu udah sampai sini. Aku ambilin pesenanmu—”
“Eh, tunggu!” Aku buru-buru memotongnya sebelum dia menyebutkan pesanan favoritku.
Belakangan ini Ernest sudah mulai berpikir aku aneh karena selalu mencoba makanan dan minuman baru, tapi jujur saja, ini bikin aku merasa punya kendali atas hidupku, yang sudah lama banget enggak bisa kurasakan sejak kecelakaan.
“Boleh enggak aku cobain yang lain? Aku lagi nyoba cari tahu sebenarnya sekarang tuh aku suka apa.”
Dia senyum dan kedipkan mata. “Ngerti aku ... Duduk aja, aku buatin.”
Aku jalan ke meja kasir, stafnya Rerre sedang melayani cowok yang tadi dia tinggal. “Aku lebih suka ngobrol sambil kamu buatin, enggak apa-apa kan?”
“Enggak masalah sama sekali.” Dia langsung sibuk mengoperasikan mesin-mesin yang terlihat seperti dari planet lain.
“Ada kabar baru enggak?”
“Hmm ... enggak juga sih.” Aku gigit bibir sambil mencoba enggak terlihat menyimpan rahasia.
“Oh, please. Gimana Ernest? Kalian udah ngobrolin semuanya?”
“Aku mulai sadar sih, selama ini aku agak egois di hubungan kita.”
Dia menyeringai sambil mengelus dada. “Siapa yang bilang gitu? Cowok-cowok, tuh udah seharusnya nyembah di kaki istri mereka. Makanya ada istilah ‘istri bahagia, hidup pun bahagia’.”
Dia enggak langsung bantah soal kepribadian lamaku, jadi makin yakin, deh kalau aku memang seperti itu dulunya.
“Tempat ini gimana?” Aku lihat-lihat ruangan yang hampir penuh sambil senyum.
Rerre dulu membuka Java Jamboree bersama Mama kandungnya Ernest, tapi setelah meninggal, sekarang tempat ini murni punya Rerre.
“Lancar banget. Aku sekarang punya Cake Girl.” Dia menunjuk ke arah kotak kaca di depan. “Pilih aja satu. Enak-enak semua.”
“Cake Girl?” Aku memperhatikan deretan kue di sana.
“Iya. Suatu hari nanti dia bakal terkenal dan ninggalin aku,” katanya sambil merendah. “Tapi sumpah, enak banget. Untuk sekarang sih, dia masih jadi Koki Pastry di sini.”
Aku tertawa melihat gaya lebay Rerre. Aku enggak pernah kenal dekat sama Mamanya Ernest, sih. Cuma sempat lihat saat aku masi kecil, dan beliau kelihatan ramah banget, selalu senyum. Sepertinya kalau beliau punya teman seperti Rerre, pasti beliau pun juga orang yang seru.
Tiba-tiba telepon berdering, dan Rerre melirik ke stafnya yang masih menjelaskan bedanya espresso sama kopi biasa.
“Udah deh, kamu duduk santai aja dulu. Nanti aku ke meja kamu.” Rerre mengangkat telepon, “Java Jamboree, halo.”
Aku menemukan meja di pojokan yang menghadap ke arah Liquor Lounge & The Book Worm.
Spanduk besar pengumuman tentang pertunangan Silas Sastrowardoyo dan Rosemary Eleanor masih berdiri di antara dua toko itu. Mereka cocok sih. Senang melihat Silas akhirnya menemukan pasangan.
Aku cuek terhadap tatapan beberapa orang. Ada yang senyum sambil lanjut mengobrol, ada juga yang enggak. Aku lihat Rerre masih di telepon, dia lambaikan tangan saat aku mau mengambil kopi, tapi dia langsung mendorongku kembali duduk.
Satu menit kemudian, dia datang bawa lima gelas kecil. “Nih. Kita mulai dari yang dasar. Ada cappuccino, latte, mocha, americano, sama kopi hitam. Aku penasaran kamu lebih suka yang mana. Jadi, kasih tahu ya, Lavinia versi baru ini sukanya yang mana. Tapi …” Dia menyentuh tanganku. “Lavinia yang dulu juga luar biasa, lho.”
“Makasih ya, Rerre.” Aku condongkan badan buat cium aroma kopi satu-satu. Wangi banget.
Aku ambil kopi hitam dulu, cium aromanya, terus menyeruputnya sedikit. Setelah itu aku mencoba yang lain. Ada yang aku coba dua kali, ada yang tiga bahkan empat. Bingung sih, karena semuanya enak. Tapi yang paling aku suka ternyata cappuccino.
Rerre datang saat suasana sudah agak sepi. “Mau coba bolunya si Cake Girl aku?”
Aku menggeleng. “Enggak, tapi kayaknya aku mau cappuccino, deh?”
“Cus!” Dia baru mau balik ke mesin, tapi tiba-tiba berhenti, melihat sesuatu di luar jendela. Terus pintu Java Jamboree terbuka.
“Oh gawat, tahan napasmu, masalah datang!” gumamnya pelan.
Nenek Hattie bersama Joanna masuk ke caffe, dan mata mereka langsung mengunci ke arahku.