NovelToon NovelToon
MERRIED WITH YOUNG BOY

MERRIED WITH YOUNG BOY

Status: sedang berlangsung
Genre:Dijodohkan Orang Tua / Nikahmuda / CEO / Berondong
Popularitas:3.9k
Nilai: 5
Nama Author: LaruArun

"Kenapa harus aku yang menikah dengannya?”


Ava Estella tak pernah membayangkan hidupnya akan berubah sedrastis ini. Setelah kehilangan kekasihnya—putra sulung keluarga Alder—ia hanya ingin berduka dengan tenang. Namun keluarga Alder terlanjur menaruh rasa sayang padanya; bagi mereka, Ava adalah calon menantu ideal yang tak boleh dilepaskan begitu saja.

Demi menjaga nama baik keluarga dan masa depan Ava, mereka mengambil keputusan sepihak: menjodohkannya dengan Arash, putra kedua yang terkenal keras kepala, sulit diatur, dan jauh dari kata lembut.

Arash, yang tak pernah suka diatur, menanggapi keputusan itu dengan dingin.
“Kalau begitu, akan kubuat dia meminta cerai sebelum satu bulan.”

Dua pribadi yang sama sekali berbeda kini dipaksa berada dalam satu ikatan.

Apakah pernikahan ini akan membawa mereka pada jalan yang diharapkan keluarga Alder?
Atau justru membuka luka, rahasia, dan perasaan yang tak pernah mereka duga sebelumnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 30 SERANGAN TIBA-TIBA

Arash membuka matanya perlahan, seolah kelopak matanya terasa jauh lebih berat dari biasanya. Cahaya lampu yang terlalu terang menusuk langsung ke bola matanya, memaksanya mengerjap berulang kali hingga pandangannya tidak lagi buram. Nafasnya masih berat, dadanya naik turun pelan seperti tubuh yang baru dipaksa keluar dari mimpi panjang. Ia sadar, ini bukan kamarnya.

Ia mengangkat tubuhnya dengan hati-hati, punggungnya bersandar pada divan yang terasa asing di kulitnya. Saat pandangannya benar-benar jernih, matanya mulai menyapu ruangan yang dipenuhi nuansa peach lembut—warna yang tidak pernah ia miliki dalam ingatan mana pun tentang rumahnya sendiri. Ruangan itu tidak luas, namun terasa padat oleh benda-benda yang memberi kesan hidup yang pernah berlangsung di sana.

Sebuah lemari pakaian berdiri di sudut, pintunya tertutup rapat. Di sisi lain, sebuah rak dipenuhi boneka dan patung Barbie dengan gaun-gaun mungil berwarna pastel, beberapa tampak sudah usang di bagian ujung renda. Nakas kecil berdiri di samping divan, menjadi satu-satunya benda yang tampak “dewasa” di antara sisa-sisa dunia masa kecil itu.

Tangannya tanpa sadar terulur ke sebuah pigura kecil. Jarinya menggenggam ujung bingkai perlahan, seolah takut merusak sesuatu yang rapuh. Di dalamnya, dua orang dewasa tersenyum hangat, memangku seorang anak perempuan di tengah mereka. Rambut anak itu diikat dua, matanya menyipit karena tawa yang terlalu lebar untuk ditampung wajah kecilnya. Mulutnya terbuka tanpa malu, memperlihatkan kebahagiaan yang polos.

“Dia… anak tunggal?” gumam Arash lirih.

Ia mengembalikan pigura itu ke tempat semula, namun bayangan perempuan dalam foto—yang kini ia tahu sebagai ibu Ava—terus mengusik pikirannya. Ada ruang kosong dalam pikirannya yang tidak bisa diabaikan.

“Ke mana ibunya…?” bisiknya.

Lamunannya patah saat terdengar gesekan halus dari samping. Ava masih terlelap di bawah selimut yang ditarik hingga ke leher. Wajahnya tampak damai, begitu kontras dengan ingatannya tentang mata yang sering tampak lelah. Di bawah cahaya lampu yang terlalu terang untuk orang tidur, kulit Ava terlihat hangat. Rambut cokelat madunya berantakan, beberapa helai menempel acak di pipinya dan meninggalkan garis-garis tipis.

Arash melirik jam di ponselnya yang menampilkan angka enam lewat sepuluh menit. Biasanya, pada jam segini, Ava telah terbangun. Denting air dari kamar mandi akan menjadi suara pertamanya setiap pagi. Namun pagi ini, Ava tertidur begitu pulas, seolah kasur itu telah menjadi satu-satunya tempat yang memberinya rasa aman.

Tatapannya kembali ke wajah Ava. Bulu matanya tampak lentik meski tipis, tahi lalat kecil bertengger manis di batang hidungnya. Bibirnya sedikit terbuka, tampak lembap dalam nafas teratur.

Tanpa sadar, jari Arash terangkat. Ia menyentuh bibir Ava dengan sentuhan yang nyaris tak terasa—sentuhan yang seharusnya tidak pernah ada, namun tetap terjadi seolah tubuhnya bergerak mendahului pikirannya.

Keheningan seketika menjadi berat. Namun sentuhan singkat itu seolah menyalakan api kecil di dalam tubuhnya. Panas halus menjalar dari ujung jarinya, menyusup ke dadanya, membuat detak jantungnya tiba-tiba memukul tulang rusuk dengan irama tak teratur. Nafasnya tercekat, seolah dirinya baru menyadari betapa dekat batas yang baru saja ia lewati.

Ia menarik ibu jarinya secepat kilat. Dadanya terasa sesak. “Apa… yang kulakukan?” gumam Arash lirih.

Tangannya refleks menepuk pipinya, satu kali, lalu satu kali lagi, seolah ingin membangunkan dirinya dari pikiran yang salah arah. “Sadar, Arash!” bisiknya pada diri sendiri. “Ini sudah minggu ketiga… seharusnya kau sudah bercerai dengannya.”

Kata-kata itu seperti palu yang jatuh di kepalanya sendiri. Bukan karena keras, tapi karena menyakitkan. Karena ia tahu, yang salah bukan hanya sentuhan tadi—melainkan kenyataan bahwa dirinya masih berdiri sedekat ini. Dan di saat itulah suara kecil itu terdengar. “Hmmm…”

Ava bergerak di balik selimut. Tubuhnya bergeser sedikit, seperti seseorang yang sedang melayang di antara mimpi dan terjaga. Mulutnya terbuka sedikit, napasnya tak lagi teratur. Ada jeda-jeda kecil di antara hembusannya, seperti napas yang tertahan sebelum seseorang bersin.

Namun yang keluar bukan bersin. Melainkan suara hembusan yang samar. Tak disengaja. Tak sadar. Tapi cukup membuat otot Arash menegang. Ia menelan ludah. Bukan karena nafsu—melainkan karena panik.

Ia berdiri dari divan dengan gerakan kaku, menjauh setengah langkah, lalu memunggungi ranjang. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Ini salah. Semua ini salah.

Ia menarik napas panjang, memejamkan mata sesaat, mencoba menenggelamkan getaran dalam dadanya. Di belakangnya, napas Ava kembali teratur perlahan, tenggelam lagi dalam tidurnya.

Namun bagi Arash, tubuhnya tak lagi setenang ruangan itu. Dan pagi itu, yang seharusnya biasa, mulai terasa seperti ujung dari sesuatu yang tak lagi bisa ia kendalikan.

...----------------...

Pagi itu terasa lebih hangat dari biasanya, karena kehadiran anak dan juga menantunya. Cahaya matahari masuk melalui jendela besar ruang makan, memantul lembut di atas meja kayu yang telah tertata rapi. Aroma kopi hitam dan roti panggang memenuhi udara, bercampur dengan wangi mentega yang masih hangat.

“Arash, di mana Ava?” tanya Luis pelan begitu mereka duduk berhadap-hadapan di meja makan. Tangannya terangkat, meraih cangkir kopi yang telah disiapkan oleh Bi Amy—seperti ritual yang tak pernah berubah.

“Ava masih di kamar mandi, Yah,” jawab Arash sambil tersenyum sopan. Ia mengangkat cangkir kopinya sendiri, jari-jarinya mengusap pinggirannya yang hangat. “Dia menyuruh Arash sarapan duluan.”

Luis mengangguk pelan, lalu menatap Arash. Tatapan itu tidak mengandung tuntutan atau kecurigaan—melainkan hangat, seperti seorang ayah yang ingin memastikan putrinya berada di tangan yang tepat.

“Bagaimana hubunganmu dengan Ava?” tanyanya akhirnya.

Arash terdiam sepersekian detik. Nama itu… selalu seperti memiliki gema di dadanya. “Ava…” Ia menghela napas kecil, lalu tersenyum. “Sangat baik, Ayah.”

Luis mengangguk, seolah beban kecil terangkat dari pundaknya. “Baguslah.”

“Apa yang bagus?” Suara itu datang dengan langkah cepat. Ava muncul begitu saja, seolah membawa udara lain ke dalam ruangan. Rambutnya masih sedikit lembap, helai-helai tipis jatuh di sisi wajahnya. Ia duduk di samping Arash tanpa ragu, mengambil sepotong roti, lalu mulai mengoleskan selai di atasnya.

“Ava!” tegur Luis dengan suara lebih keras.

Ava berhenti sejenak, roti masih menggantung di bibirnya. Ia menoleh, matanya bertemu tatap ayahnya.

“Ayah dan suamimu menunggumu, dan kau makan tanpa permisi?” lanjut Luis. “Di mana sopan santunmu?”

Ada sesuatu di wajah Ava—bukan marah, bukan pula tersinggung. Lebih seperti rasa bersalah kecil yang cepat menyelinap.

Ia menarik kembali rotinya dari mulut, meletakkannya perlahan di piring, lalu mengambil dua lembar roti baru. Tangannya bergerak pelan saat mengoleskan selai, dengan gerakan yang nyaris bersifat ritual.

“Ini untuk Ayah,” katanya lembut, menyerahkan roti itu pada Luis.

Lalu ia beralih ke Arash.

“Dan ini untuk… suamiku.” Kata terakhir itu tidak ia ucapkan sembarangan. Ia menatap Arash sedikit lebih lama, bibirnya membentuk senyum kecil—senyum yang terlalu dekat, terlalu hangat untuk bersifat formal.

Arash menerimanya dengan jari yang sedikit kaku. “Terima kasih,” katanya, senyum yang muncul di wajahnya terasa… dipaksakan. Atau mungkin ia hanya merasa tersinggung dengan perlakuan itu.

Belum sempat Ava memakan roti barunya, ponselnya bergetar di atas meja. Nada dering itu terdengar terlalu nyaring di tengah pagi yang tenang.

“Iya?” Ava mengangkat telepon. “Kenapa?”

“Aku sudah di depan rumahmu. Cepatlah!” suara Bella terdengar dari balik sambungan.

Ava bangkit setengah berdiri, menoleh ke arah jendela. “Benarkah?” Ia mengintip ke luar. “Baiklah, aku berangkat sekarang.” panggilan pun berakhir.

“Ayah, Ava harus berangkat sekarang,” ujarnya buru-buru, mengambil tasnya.

“Tidak berangkat dengan suamimu?” tanya Luis, alisnya sedikit terangkat.

“Hari ini tidak bisa,” jawab Ava. Seolah Setiap hari mereka selalu berangkat bersama. “Bella sudah menunggu di depan.”

Ia melangkah mendekati Luis lebih dulu, mengecup pipi ayahnya dengan cepat—hangat, spontan. Saat ia hendak berbalik, tangan Luis menahannya.

“Ada apa, Yah?” tanya Ava, lembut.

“Kau tidak pamit kepada suamimu?” Luis melirik Arash, membuat Arash hampir tersedak oleh kopi yang baru saja ia minum.

“Tentu saja Ava pamit,” jawab Ava setelah beberapa detik terdiam.

Lalu tanpa memberi waktu pada Arash untuk bersiap, Ava melangkah lebih dekat. Dan mencium pipinya. Segalanya terjadi begitu cepat—hangat, lembap, ringan. Tapi efeknya… tidak seringan itu.

“Aku berangkat duluan, ya,” kata Ava pelan. Lalu ia berbalik dan berlari kecil menuju pintu, suara langkahnya makin menjauh, hingga pintu tertutup dan rumah kembali sunyi.

Luis menghembuskan napas kecil. “Dia selalu lupa segalanya kalau sudah menyangkut pekerjaannya,” gumamnya. “Apa dia begitu juga padamu? Selalu mendahulukan pekerjaan dibanding dirimu?”

Arash tidak langsung menjawab. Pipinya masih terasa hangat. Bahkan setelah Ava pergi. Seolah bekas ciuman itu tidak tinggal di kulit—melainkan turun ke dadanya.

“Arash?” panggil Luis.

“Iya, Yah?”

“Apa putri ayah sering seperti tadi? Meninggalkanmu… mengutamakan pekerjaan?”

Arash menggeleng pelan. “Tidak,” jawabnya jujur. “Ava selalu menyiapkan kebutuhan Arash dulu… baru memikirkan pekerjaannya.”

Luis tersenyum kecil. “Kalau dia macam-macam padamu, bilang pada Ayah.”

Arash menunduk, menatap cangkir kopinya yang sudah dingin. Macam-macam… Ia hampir tertawa. Kalau Ayah tahu apa yang sebenarnya terjadi, mungkin bukan Ava yang disalahkan. Tapi aku..

.

.

.

.

.

.

.

.

.

📌Jangan lupa like dan komen yaaa😉

1
Sri Peni
ceritanya bagus aq lebih tertarik pd diksinya.
Sri Peni
updatenya jgn lama2
Sri Peni
apakah ini novel terjmahan? krn diksinya benar2 pas bagiku. . benar2 bahasa sastra. maaf baru kali ini aq bc , cerita yg bhsnya bagus .. sulitdibahas dgn tertulis
Ig ; LaruArun: Bukan ka, ini bukan novel terjemahan. cerita ini pure isi kepala aku. btw, terimakasih banyak karena udah mampir dan mohon dukungannya 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!