Di Surabaya, berdiri Sebuah pesantren megah pesantren Al - Ikhlas, sebuah lembaga pendidikan Islam yg dikenal dgn tradisi kuat dan menghasilkan santri" yg berprestasi. cerita ini mengikuti perjalanan 5.285 santriwan dan santriwati pesantren Al - ikhlas. ada banyak santri yg berjuang meraih keinginan orang tua dan menggapai mimpi mimpinya. namun terkadang menimbulkan pro dan kontra akibat persaingan di balik semua perjuangan para santri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blue_era, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29. Ngidam di Mega Mart: Adab Santri Diuji
Seiring berjalannya waktu, satu bulan kemudian, kondisi Ning Aza berangsur-angsur membaik. Rasa mual dan pusingnya sudah hilang, dan badannya kembali terasa segar. Kandungannya pun semakin membesar, memasuki usia 8 bulan.
Gus Arga sangat bersyukur atas kesembuhan Ning Aza. Ia selalu berusaha untuk menjaga kesehatan istrinya dengan memberikan makanan yang bergizi, mengajak berolahraga ringan, dan memberikan perhatian yang cukup.
Pada suatu sore, Ning Aza mengajak Gus Arga untuk berkeliling pondok. Ia ingin melihat-lihat suasana pondok dan menyapa para santri. Gus Arga dengan senang hati menemani istrinya berjalan-jalan.
Mereka berdua berjalan menyusuri halaman pondok, melewati masjid, madrasah, dan asrama santri. Para santri menyambut mereka dengan senyum ramah dan salam hormat.
"Assalamualaikum, Gus! Ning!" sapa para santri dengan sopan.
"Waalaikumsalam, santri-santriku. Bagaimana kabarnya hari ini?" jawab Gus Arga dengan senyum hangat.
"Alhamdulillah baik, Gus. Kami semua sehat," jawab para santri serentak.
Setelah berkeliling pondok, Ning Aza tiba-tiba merasa ingin makan nasi pecel lele. Ia sudah lama ngidam makanan khas Jawa Timur itu.
"Gus, Ning Aza pengen nasi pecel lele deh," kata Ning Aza dengan nada manja.
"Wah, kebetulan sekali. Di Mega Mart pondok putra kan ada yang jual nasi pecel lele. Kita ke sana yuk," ajak Gus Arga dengan semangat.
Mega Mart adalah koperasi pondok yang menyediakan berbagai macam kebutuhan santri, termasuk makanan dan minuman. Tempat ini selalu ramai dikunjungi oleh para santri, terutama saat jam istirahat.
Sesampainya di Mega Mart, Ning Aza dan Gus Arga langsung menuju ke bagian makanan. Benar saja, di sana terdapat warung nasi pecel lele yang antriannya sangat panjang. Para santri berdesakan untuk mendapatkan seporsi nasi pecel lele.
"Wah, antriannya panjang sekali ya, Gus," kata Ning Aza dengan nada kecewa.
"Iya, Ning. Tapi nggak apa-apa, kita antri saja ya. Demi Ning Aza, Gus rela antri sampai kapan pun," jawab Gus Arga sambil tersenyum.
Ning Aza pun setuju untuk mengantri. Ia duduk di kursi yang tersedia sambil menunggu gilirannya. Gus Arga berdiri di sampingnya sambil mengawasi antrian.
Namun, saat sedang menunggu, Ning Aza merasa tidak nyaman. Beberapa santri junior terus menerus menyerobot antriannya. Mereka seolah-olah tidak tahu menahu tentang adab dan sopan santun.
"Maaf, Dek. Ini kan antrian. Seharusnya antri dari belakang," tegur Ning Aza dengan lembut kepada salah seorang santri junior yang menyerobot antriannya.
"Oh, maaf Ning. Saya nggak tahu," jawab santri tersebut dengan nada cuek. Ia kemudian tetap berdiri di depan Ning Aza seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Ning Aza merasa kesal dengan sikap santri junior tersebut. Ia berpikir bahwa para santri zaman sekarang kurang memiliki adab dan sopan santun terhadap orang yang lebih tua. Padahal, sebagai seorang santri, mereka seharusnya belajar adab kepada guru, kyai, apalagi ini Gus dan Ning yang merupakan keluarga pengasuh pondok.
Gus Arga yang melihat kejadian tersebut juga merasa prihatin. Ia tahu bahwa masalah adab dan sopan santun di kalangan santri memang menjadi perhatian serius di pondok pesantrennya. Ia berjanji akan segera mengambil tindakan untuk mengatasi masalah tersebut.
Ning Aza menghela napas pelan sambil mengelus perutnya yang semakin membesar. Duh, Gusti, ngidam kok ya pas antrian panjang begini. Pengen banget nasi pecel lele, tapi kok ya malah diserobot terus, batin Ning Aza dengan nada sedikit kesal.
Ia menatap santri-santri junior yang dengan santainya menyerobot antrian di depannya. Ya Allah, dek, antri itu ya antri. Nggak lihat apa ini ada ibu hamil lagi ngidam? gerutunya dalam hati.
Ning Aza sebenarnya tidak terlalu mempermasalahkan jika hanya sekali atau dua kali diserobot. Tapi ini sudah berkali-kali, dan para santri junior itu seolah tidak punya rasa bersalah sama sekali.
Duh, dek, dek. Kalian ini santri, lho. Kok ya nggak ada adabnya sama sekali? Apa nggak diajarin sopan santun sama ustadz di madrasah? pikir Ning Aza sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Ia teringat dengan pesan Abahnya dulu, bahwa seorang santri itu harus memiliki akhlak yang mulia. Santri tidak hanya dituntut untuk pintar dalam ilmu agama, tetapi juga harus memiliki adab yang baik terhadap sesama, terutama kepada guru, kyai, dan orang yang lebih tua.
Ini kalau Abah tahu, pasti beliau kecewa banget. Santri kok ya malah nggak punya adab sama sekali. Padahal, adab itu lebih penting daripada ilmu, batin Ning Aza dengan nada prihatin.
Ia melirik Gus Arga yang berdiri di sampingnya sambil memasang wajah sabar. Ning Aza tahu bahwa suaminya itu juga merasa tidak nyaman dengan situasi ini.
Gus Arga pasti kecewa banget sama santri-santri ini. Beliau kan selalu menekankan pentingnya adab dalam setiap kesempatan. Tapi kok ya malah dilanggar sama santri-santrinya sendiri, pikir Ning Aza sambil merasa bersalah.
Ia merasa tidak enak hati kepada Gus Arga karena telah mengajaknya ke Mega Mart dan membuatnya harus menyaksikan pemandangan yang kurang mengenakkan ini.
Ya Allah, semoga Gus Arga tidak terlalu kecewa. Aku janji deh, lain kali kalau ngidam, mending masak sendiri aja di ndalem. Nggak usah repot-repot ke Mega Mart, janji Ning Aza dalam hati.