Sebuah kota dilanda teror pembunuh berantai yang misterius.
Dante Connor, seorang pria tampan dan cerdas, menyembunyikan rahasia gelap: dia adalah salah satu dari pembunuh berantai itu.
Tapi, Dante hanya membunuh para pendosa yang lolos dari hukum.
Sementara itu, adiknya, Nadia Connor, seorang detektif cantik dan pintar, ditugaskan untuk menyelidiki kasus pembunuh berantai ini.
Nadia semakin dekat dengan kebenaran.
Ketika Nadia menemukan petunjuk yang mengarah ke Dante, dia harus memilih: menangkap Dante atau membiarkannya terus membunuh para pendosa...
Tapi, ada satu hal yang tidak diketahui Nadia: pembunuh berantai sebenarnya sedang berusaha menculiknya untuk dijadikan salah satu korbannya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dev_riel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nadia Akan Menangkap Dante!!!
"Bagaimana, Dante?" Tuntutnya minta penjelasan. Aku tidak bisa bilang tidak setuju, karena aku juga penasaran.
"Tidak terlalu buruk, kamu?" Jawabku bercanda.
Nad menendang kursi sampai jatuh.
"Berengsek, Dante! Jangan bercanda lagi! Jelaskan padaku. Bilang kalau itu bukan kamu!"
Aku diam.
"Tidak mau jawab ya? Kalau begitu bilang bahwa itu memang kamu! Jawab, Dante! Bilang SESUATU! Apa saja!"
Aku menggeleng, tidak tau harus menjelaskan apa. "Aku... aku cukup yakin itu bukan aku. Maksudku, rasanya tidak."
"Apa maksud kamu, 'cukup yakin'?" Desak Nad. "Maksud kamu tidak yakin? Kalau memang mungkin kamu yang terekam di gambar itu?"
"Eh. Mungkin. Entahlah." Aku termenung, berusaha menjawab secerdas mungkin.
"Dengan kamu bilang 'tidak tau' itu apakah maksudnya tidak tau harus memberi penjelasan padaku atau kamu beneran tidak yakin apakah lelaki di rekaman itu kamu atau bukan?"
"Aku cukup yakin itu bukan aku, Nadia. Tapi aku sendiri tidak yakin. Memang mirip aku kan?"
"Berengsek! Gimana mungkin kamu tidak tau!" Nad menendang kursi yang tadi jatuh.
"Agak sulit menjelaskan."
"Cobalah!"
Aku membuka mulut, tapi untuk pertama kali dalam hidup tidak tau harus bilang bagaimana. Gawat benar. Sudah terjepit, mendadak bodoh pula.
"Aku... beberapa hari ini aku dapat... mimpi aneh, tapi... aduh, Nad, beneran aku tidak tau bagaimana harus menjelaskannya," jawabku meracau.
"Berengsek, Berengsek, BERENGSEK!" Jerit Nadia. Disusul tendangan demi tendangan ke kursi malang yang tidak tau apa-apa.
Nad melampiaskan frustasi berkali-kali ke kursi malang yang makin terpuruk di kolong meja, lalu berdiri tegak.
"Baiklah, begini, kamu sodaraku, Dante," Dia berkata. Aku yakin bukan itu sebenarnya yang ingin dia katakan.
"Tidak akan ada yang menyalahkan kamu, Nad," Aku menjawab.
"Kamu saudara laki-lakiku, Dante!" Geramnya. Emosi yang terkandung menohok mengejutkan begitu kuat.
"Entah ada apa sebenarnya antara kamu dan ayah, dulu. Bisik-bisik rahasia yang tidak pernah kalian jelaskan pada siapapun. Tapi aku tetap tau apa yang akan ayah lakukan dalam situasi begini."
"Menangkapku," Aku menjawab.
Nadia mengangguk. Matanya berkilat basah. "Cuma kamu keluargaku satu-satunya, Dante."
"Kenyataan yang tidak terlalu enak buat kamu, ya?"
Nad menatap langit. Air mata berlinang di kedua matanya begitu jelas sekarang. Lama dia tidak berbuat apa pun selain menatapku. Air mata menggenang turun dari mata kiri sampai ke pipi. Nad menyekanya, meluruskan sikap, menghela napas berat, sekali lagi melongok jendela.
"Benar, Ayah pasti akan menangkap dan menyerahkan kamu ke tangan hukum. Itu yang akan aku lakukan," dia berkata.
Tatapannya makin jauh menerawang menembus jendela.
"Aku harus menuntaskan wawancara saksi dulu, aku tinggalkan kamu disini. Terserah kebijaksanaan kamu untuk menentukan relevan atau tidaknya barang bukti rekaman ini. Bawa pulang dan periksa dengan komputer dirumah. Pastikan dan cari tau semaksimal mungkin. Aku menyusul setelah selesai dengan tugas di sini, sebelum kembali ke kantor, aku ingin mendengar penjelasan kamu. Jam delapan malam ini. Kalau saat itu aku memang harus menangkapmu, akan aku lakukan." Lirih Nad capek, dia kembali menatapku lama, lalu pergi.
Entah berapa lama aku berdiri diam, namun akhirnya sadar bahwa jawabannya tidak ada di luar sana. Satu-satunya petunjuk, meski sedikit, berada di dalam komputer Carter.
Aku beralih ke meja. Di laci Kudapati sekotak CD-R untuk merekam data. Kuambil satu untuk menyalin seluruh rekaman, lalu kutimang-timang di telapak tangan.
Di perjalanan keluar, para polisi Blackwood tidak menghentikan langkah, atau bahkan berkomentar. Meski sesekali menatap curiga, tapi tidak peduli.
Yang aku tau, aku sekarang memegang barang bukti CD berisi rekaman gambar.
Pasti ada penjelasan rasional yang tidak melibatkan kemungkinan bahwa aku berkendara dengan truk keliling Shadowfall City dalam kondisi lelap.
Sama sekali bukan jenis orang yang mau capek-capek keliling kota untuk membunuh dalam kondisi tidak sadar.
Tidak, justru aku jenis orang yang sangat ingin sadar secara penuh untuk menikmati momen itu. Lagi pula, kalau mau melihat fakta, aku harus mempertimbangkan peristiwa kejar-kejaran di jalan tol malam itu.
Coba dipikir, apakah aku yang melempar potongan kepala itu ke mobil sendiri? Tidak mungkin!
Kecuali aku mendadak yakin bisa berada di dua tempat sekaligus, baru masuk akal. Itu pun dengan syarat bahwa pada saat kejar-kejaran itu, aku yakin sedang duduk di mobil, menonton seseorang melempar kepala ke arahku dari dalam truk es, padahal aku sendiri yang melempar kepala itu dan kemudian...
Pasti ada penjelasan lain yang lebih simpel dan logis. Akan kutemukan, bagaimana pun caranya.
"Pasti ada penjelasan lain yang lebih sederhana dan logis, tidak ada yang aneh-aneh." Ujarku pada diri sendiri.
Selain kejanggalan yang kualami di alam mimpi setiap kali tidur, hal-hal lain tetap masuk akal. Fakta bahwa ada orang lain melempar potongan kepala ke arahku di jalan tol, meninggalkan potongan boneka barbie di apartemenku, plus penyusunan mayat korban dalam posisi yang seolah meninggalkan pesan.
Itu semua kerjaan orang lain. Bukan aku. Dan kini seseorang itu akhirnya tertangkap di rekaman gambar yang sekarang sedang ku pegang. Begitulah, akan kubongkar barang bukti ini dan membuktikan pada dunia bahwa...
Bahwa sangat boleh jadi si pembunuh itu sebenarnya aku sendiri?
Aku tiba di apartemen, mengintip ke dalam dengan hati-hati. Tidak ada yang menungguku dalam gelap atau apa. Tapi kesadaran bahwa musuh bebuyutan yang kini meneror seluruh kota tau tempat tinggalku, memang cukup meresahkan.
Telah dibuktikan dengan telak bahwa dia adalah jenis monster yang mampu melakukan apa pun. Mungkin saja dia bakal meninggalkan lebih banyak potongan boneka kapan saja? Khususnya terhadapku.
Tapi, pasti tidak demikian. Gambar dalam CD ini akan memberi petunjuk dan bukti, meski kecil, bahwa kemiripan antara kami hanya kebetulan dan fakta ketertarikanku pada tindak pembunuhan juga pasti kebetulan.
Aku duduk di kursi. Setelah beberapa menit, ketenangan dan pikiran logis kembali datang.
Kunyalakan komputer, meletakkan CD di CD drive, lalu mengkaji gambar itu lebih dalam. Kubesar kecilkan ukurannya berkali-kali, mengerahkan segenap teknik yang aku tau agar gambar lebih bersih.
Sekian lama berkutat, aku tidak lebih maju dari ketika awal memulai. Resolusi gambarnya memang payah dan tidak mungkin diutak atik lebih jauh agar wajah lelaki sialan itu bisa lebih jelas.
Aku coba melihat dari bermacam posisi dan sudut, kucetak dan kuangkat ke dekat lampu. Usaha meniru ini cukup memuaskan secara batin, tapi tetap tidak menyingkap apa pun selain fakta bahwa orang dalam gambar itu memang mirip aku.
Pencitraan impresi fisiknya, baik perawakan atau bahkan baju, tidak ada yang jelas. Hanya tampak bahwa dia mengenakan kemeja yang mungkin berwarna putih, atau cokelat, eh kuning? Atau biru pucat?
Ditambah keburaman resolusi, sungguh tidak mungkin menyingkap lebih dari itu. Secara keseluruhan merupakan pakaian standar yang bisa dipakai siapa saja, termasuk aku.
Bagaimana pun aku berhasil memperbesar gambar bagian samping truk, cukup untuk mengenali ada huruf "A" dan di bawahnya huruf "B", diikuti "R" dan yang ini entah "C" atau "O". Truknya di posisi jauh dari kamera. Jadi sulit.
Tidak ada apa pun di gambar ini yang bisa memberi petunjuk. Kuputar rekaman itu sekali lagi, sosok lelaki menghilang, muncul lagi lalu mobil itu lenyap. Tidak ada sudut yang baik, tidak dapat nomor polisinya dan yang terpenting, tidak cukup alasan menyatakan bahwa orang itu memang aku atau bukan.
Saat akhirnya melepas pandangan dari komputer, malam menjelang dan hari sudah gelap. Tidak ada lagi yang bisa aku lakukan selain menunggu Nadia.
Terpaksa pasrah membiarkan adik tersayang menyeretku ke penjara. Bagaimana pun juga, aku memang bersalah. Patut dipenjara. Mungkin berbagi sel dengan Henry Early.
Dengan pikiran itu aku melakukan satu tindakan indah.
Aku ketiduran.