Kecelakaan yang merenggut istrinya menjadikan Arkana Hendrawan Kusuma tenggelam dalam perasaan kehilangan. Cinta yang besar membuat Arkan tak bisa menghilangkan Charissa Anindya—istrinya—dari hidupnya. Sebagian jiwanya terkubur bersama Charissa, dan sisanya ia jalani untuk putranya, Kean—pria kecil yang Charissa tinggalkan untuk menemaninya.
Dalam larut kenangan yang tak berkesudahan tentang Charissa selama bertahun-tahun, Arkan malah dipertemukan oleh takdir dengan seorang wanita bernama Anin, wanita yang memiliki paras menyerupai Charissa.
Rasa penasaran membawa Arkan menyelidiki Anin. Sebuah kenyataan mengejutkan terkuak. Anin dan Charissa adalah orang yang sama. Arkan bertekad membawa kembali Charissa ke dalam kehidupannya dan Kean. Namun, apakah Arkan mampu saat Charissa sedang dalam keadaan kehilangan semua memori tentang keluarga mereka?
Akankah Arkan berhasil membawa Anin masuk ke kehidupannya untuk kedua kalinya? Semua akan terjawab di novel Bring You Back.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aquilaliza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kean Sakit
Arkan berdiri gelisah sebab sudah hampir lima kali ia menelpon, Anin belum juga mengangkat telponnya. Kean yang duduk di tepi ranjang hanya bisa menatap Papanya dalam diam.
Apa sakit kepalanya kambuh?
Atau mungkin dia sedang istirahat?
Aku telpon Dimas saja.
"Tante Anin mungkin sedang istirahat. Papa akan memastikannya lewat nomor om Dimas." Kean mengangguk pelan.
Arkan segera menghubungi Dimas. Tak menunggu lama, Dimas dengan cepat menjawab telponnya.
"Hallo Pak Arkan?"
"Tidak perlu formal."
"Baiklah. Ada apa kau menelpon? Ingin menanyakan kondisi Anin?"
"Hm."
"Kenapa tidak menelpon ke nomor—"
"Tidak perlu panjang lebar, Dimas."
Dimas terkekeh pelan. "Baiklah. Akan saya panggilkan Anin. Dia sedang di kamar Radit, menemani putra saya belajar bersama istri saya."
"Katakan padanya untuk menjawab telpon saya."
"Akan saya sampaikan."
"Hm."
Panggilan pun berakhir. Dimas segera keluar dari ruang kerjanya dan mencari Anin di kamar sang putra. Sementara itu, Arkan mendudukkan tubuhnya di tepi ranjang bersama Kean sambil menunggu telpon balasan dari Anin.
Dan tak lama, handphonenya berdering. Panggilan masuk dari Anin dan segera dijawabnya.
"Hallo, Pak. Maaf saya tidak menjawab telpon anda. Handphone saya ketinggalan di kamar. Saya—"
"Tidak apa-apa, Anin."
Terdengar helaan nafas lega dari perempuan itu. Membuat Arkan tersenyum tipis.
"Anin?"
"Iya, Pak?"
"Kepala mu sudah tidak sakit lagi?"
Di seberang sana, Anin menjadi gugup mendengar suara lembut Arkan yang bertanya padanya. Jantungnya berdegup dengan kencang, dan pipinya memerah.
"Anin?"
"Hah? I-iya, Pak. Kepala saya sudah tidak sakit lagi."
"Syukurlah." Arkan sangat lega mendengarnya. "Kean ingin bicara dengan mu."
"Kean?"
"Ya." Arkan segera memberikan handphonenya pada Kean dan langsung diraih oleh bocah itu. Dia dengan semangat menyapa Anin, hingga berlanjut pada perbincangan-perbincangan random anak itu.
Anin pun dengan lembut menanggapi celotehan anak itu. Hingga tanpa sadar, Kean tertidur dengan panggilan telpon yang masih tersambung.
"Hallo, Anin?"
"Iya, Pak?"
"Kean sudah tertidur."
"Maaf, Pak. Saya tidak tahu."
"Terima kasih sudah mau mendengarkan celotehan nya. Dia memang senang sekali berbicara."
"Sama-sama, Pak. Saya senang berinteraksi dengan Kean. Maaf sudah merepotkan Anda tadi. Saya sudah banyak merepotkan Anda. Jika Anda membutuhkan sesuatu dan saya bisa melakukannya, katakan saja, Pak. Saya akan berusaha sebaik mungkin membantu."
Arkan tersenyum. Istrinya memang tak pernah berubah. Selalu baik pada siapa pun.
"Ya. Suatu saat, jika saya membutuhkan bantuanmu, akan saya katakan."
"Kalau begitu, saya tutup telponnya, Pak."
"Ya."
"Selamat malam."
"Selamat malam, Anin."
"Aku mencintai mu," gumam Arkan pelan setelah panggilan tersebut terputus.
***
Keesokan harinya, Anin bekerja seperti biasa. Tapi, mimpi-mimpi yang mendatangi dirinya setiap malam membuat nya terus berpikir. Kenapa mimpi itu terus datang? Siapa orang-orang dalam mimpi itu?
"Anin?"
"Hah? Iya, Pak?" Terkejut. Perempuan itu menatap Arkan dengan perasaan bersalah. Tidak sepantasnya dia melamun saat bekerja.
"Maaf, Pak. Saya—"
"Kau melamun. Apa ada sesuatu yang terjadi?"
"Tidak. Tidak ada, Pak. Saya minta maaf. Tidak akan saya ulangi lagi."
"Hm. Lanjutkan pekerjaanmu."
"Baik, Pak."
Arkan pun meninggalkan Anin menuju ruangannya. Sedikit senyum tipis terukir di bibirnya sebelum ia mendorong pintu ruangan. Raut terkejut Anin tadi, sangat menggemaskan.
Sementara itu, Anin merutuki dirinya yang tak fokus bekerja. "Jika kau terus begitu, sudah pasti kau akan dipecat, Anin," gumam perempuan itu pada dirinya sendiri.
Anin menarik nafasnya. "Sudahlah. Sekarang lanjutkan pekerjaan mu, dan fokus!"
Mengabaikan segala macam hal yang mengusik pikiran nya, Anin mulai fokus melakukan pekerjaan nya.
Hingga beberapa saat kemudian, jam pulang kantor pun tiba. Seperti biasa, Anin menunggu taksi pesanannya dan berharap Arkan tidak datang dan memaksa mengantarnya.
Dan Anin merasa cukup lega ketika taksinya tiba sebelum mobil Arkan muncul. Namun, Anin tak sadar jika Arkan sengaja membiarkannya dan mengikutinya diam-diam.
***
Arkan berjalan perlahan memasuki kediamannya. Tak ada sambutan dari Kean. Putranya itu tak terlihat, tidak seperti biasanya.
"Bi, dimana Kean?"
"Tuan muda ada di kamarnya, Tuan."
Arkan mengangguk. Langkahnya langsung menuju kamar Kean. Ia mengetuk lalu mendorong pelan pintu kamar putranya tersebut.
"Papa." Kean yang sedang berlatih membaca langsung mengalihkan tatapannya. Ia tersenyum tipis, tak seceria biasanya.
"Tumben sekali kau tidak menyambut Papa?" Arkan berdiri bersandar di kusen pintu.
"Kean terlalu serius belajar, Papa. Kean tidak dengar suara mobil Papa."
Arkan mengangguk pelan. "Kalau begitu lanjutkan. Papa mau ke kamar dulu."
Arkan berlalu meninggalkan Kean menuju kamarnya. Lelaki itu langsung membersihkan diri dan berpakaian, kemudian kembali ke kamar Kean untuk mengajak putranya itu makan malam.
Namun, ketika ia sampai disana, Kean sudah tertidur di ranjangnya. Arkan mendekat, lalu membungkukkan tubuhnya untuk sekedar mengecup kening sang putra. Tapi, saat bibirnya menyentuh kening Kean, ia merasakan kening anak itu panas. Arkan lalu menempelkan telapaknya tepat di kening dan pipi Arkan.
"Panas. Dia demam."
"Emmhh ... Papa .... Tante cantik ...." Suara Kean parau. Matanya perlahan terbuka, menatap sang Papa.
"Kau sakit. Papa akan panggilkan dokter."
Anak itu menggeleng lemah. "Kean tidak mau dokter Papa .... Kean mau Tante Cantik ...."
Arkan terdiam. Ini sudah malam, Anin juga baru saja pulang kerja. Tidak seharusnya dia mengganggu waktu istirahat perempuan itu. Tapi, bagaimana pun juga, Kean adalah putra Anin. Pasti anak itu menginginkan pelukan ibunya di saat-saat seperti ini.
"Papa ...."
"Iya, Sayang?"
"Gendong ...."
Arkan segera menggendong putranya tersebut. Sekarang ia bisa rasakan panas di sekujur tubuh putranya.
"Tante cantik, Kean mau tante cantik, Papa...."
"Sabar, Papa telpon Tante Anin dulu." Arkan berjalan keluar kamar Kean sambil menggendong anak itu menuju kamarnya. Handphonenya sengaja ia tinggalkan karena sedang mengisi daya.
Arkan segera mendial nomor Anin setelah mendapatkan handphonenya. Tak butuh waktu lama, Anin segera menjawabnya.
"Hallo, Pak?" Sapa Anin sopan.
"Hallo, Anin. Saya bisa minta tolong?"
"Ada apa, Pak?"
"Kean sakit. Dia terus memanggil nama mu. Kau bisa datang?"
"Ke-Kean sakit?"
"Iya. Dia tidak mau diperiksa dokter. Dia hanya ingin kau, Anin."
"Baik, Pak."
"Minta tolong Dimas mengantarmu. Dia tahu alamat tempat tinggal saya."
Panggilan usai setelah Anin mengiyakan nya. Sementara di kediaman Anin, perempuan itu dengan cepat meraih tasnya dan langsung turun ke lantai bawah menemui keluarganya.
Raut wajahnya terlihat khawatir. Perasaannya tak biasa. Dia sangat khawatir pada anak itu. Entah ikatan seperti apa ini, dia sungguh tak paham.
"Ibu, aku minta izin. Pak Arkan menelpon jika Kean sedang sakit. Dia ingin bertemu denganku dan tidak mau diperiksa dokter."
"Ya Tuhan, kasian sekali. Cepatlah kau ke sana."
"Iya. Kasian Kean. Dia pasti membutuhkan sosok Ibu." Anya menimpali.
"Terima kasih, Bu." Anin menoleh pada Dimas yang sedang duduk. Belum sempat ia memberitahu Kakaknya tersebut, Dimas sudah meraih kunci mobil. Lelaki itu sudah mendapat pesan yang dikirimkan Arkan.
"Ayo, Aku antar." Anin mengangguk.
Dua adik kakak itu segera berlalu. Dimas mengendarai mobil nya sedikit lebih cepat dari biasanya. Dan setelah beberapa saat perjalanan, Anin dan Dimas tiba di kediaman Arkan.
Anin mengetuk pintu dan langsung dibukakan oleh Bi Asti.
"Ny-nyonya ...." Bi Asti bergumam lirih setelah melihat Anin yang begitu mirip dengan mendiang sang Nyonya nya. Anin pun bingung.
"Bi, dimana Arkan dan Kean?" Bi Asti melirik Dimas yang berada di sebelah Anin.
"Tuan dan Tuan Muda di kamar," jawab Bi Asti, masih diliputi rasa terkejut dan bingung.
"Bisa antar kami?" Anin bertanya lembut dan lekas di angguki Bi Asti. Wanita itu lantas mengantar Anin dan Dimas menuju kamar Arkan.
Pintu kamar diketuk. Ketika mendapatkan izin dari pemilik kamar, Bi Asti mendorong pelan pintu kamar dan membiarkan Anin masuk. Sementara Dimas, dia masih berdiri di ambang pintu bersama Bi Asti.
Pertama kali menginjak rumah Arkan, Anin mulai merasakan perasaan tak asing. Dan tepat saat ia memasuki kamar Arkan, ia merasakan perasaan familiar yang teramat mengusiknya. Semua yang ada di ruangan itu, dia merasa pernah berada di sana.
Namun, semua perasaan itu ia tepis dan fokus pada Kean.